Jadi bagaimana menyatukan perbedaan-perbedaan agar tidak menjadi sebab muncul perpecahan? Caranya ada dua: temukan persamaan dan ciptakan musuh bersama yang sama.
“Gak bisa gitu! Kamu anak baru, tahu apa, sih? Saya Koordinator Sie. Persekutuan di sini!”
“Tapi usulannya bagus juga, lho. Saya setuju. Sebagai Ketua Komisi saya mendukung usul itu.”
“Cuma ide ini baru banget... Gak sesuai tradisi kita selama ini. Aku Pembina Komisi ini, udah lebih lama daripada kamu bergereja di sini.”
“Saya dukung Pak Ketua Komisi. Usulan orang baru itu harus diakomodasi. Saya rasa sebagai Penatua Pendamping Komisi, saya lebih berhak buat keputusan daripada Kakak Pembina.”
“Oo... tunggu, Bu Penatua. Ini harus dimasukkan dalam agenda rapat pleno BPMJ dulu. Gak bisa diputuskan satu orang saja meskipun Penatua Pendamping Komisinya. Sebagai Pendeta Jemaat, saya harus memikirkan masak-masak dulu usulan baru ini dari sisi teologi.”
“Halo semua...,” tiba-tiba Tuhan Yesus masuk ke ruang rapat. “Ini ada apa ya, ribut-ribut di sini?”
“Ini lho, Tuhan. Anak baru ini bikin usulan di luar tradisi gereja sini,” sahut si Pembina Komisi.
“Tapi kan, usulannya bagus, patut kita coba,” timpal Bu Penatua tidak mau kalah.
“Sisi teologisnya mesti dipikirkan dulu. Saya lebih tahu apa kehendak Tuhan, bagaimana Tuhan hendak disembah. Bukan begitu, Tuhan?” kali ini Pendeta yang angkat suara.
Tuhan Yesus tersenyum, lalu berujar, “Memang kenapa kalau menambah instrumen tamborin dalam pujian di persekutuan? Bukankah lebih baik jika persekutuan itu mengutamakan kesatuan hati satu dengan yang lainnya, ketimbang berselisih hanya karena alat-alat musiknya?”
“Ya itu kan, jenis alat musik bisa mengundang setan!” sanggah Koordinator Sie Persekutuan.
“Iya, Tuhan. Pokoknya kami yang lebih tahu pujian dan penyembahan yang berkenan bagi-Mu. Tradisi gereja ini gak pernah salah,” dukung si Pembina Komisi.
“Oh, baiklah kalau begitu. Saya undur diri dulu.” Tuhan Yesus pamit dan berjalan menuju pintu ruangan.
“Baik, Tuhan. Percayakan saja pada hamba-Mu ini yang sudah bertahun-tahun melayani-Mu. Jika kegiatan di gereja ini berjalan sesuai persetujuan saya, pasti akan menyenangkan-Mu juga,” kata Pendeta sebelum Tuhan Yesus keluar ruangan.
********/*******
Karangan cerita tadi sering muncul di imajinasi saya di kala ikut beberapa rapat di ruang-ruang gereja, khususnya di GKI (yeah, GKI). Beberapa aktivis gereja—apalagi yang menganggap dirinya senior dan punya peranan penting di gereja—sering berbantahan dengan para aktivis lainnya. Belum lagi jika kemudian melibatkan para “pejabat” gereja lainnya, obrolan pun jadi semakin seru dan ramai—dalam artian negatif, tentunya. Si A bawa massa agar mendukungnya. Si X suka mengingatkan yang lainnya mengenai peran vitalnya di gereja. Si M sering menyebutkan berulang-ulang jabatannya di organisasi gereja (sebagai pembina... atau, sebagai majelis..., dsb.), seolah-olah ingin berkata, “Saya lebih punya kuasa.”
Mungkin kalau imajinasi ini diterjemahkan dalam karya visual, adegan ribut-ribut di ruang rapat gereja (atau di luar rapat di gereja) ini mirip seperti adegan di kapal induk SHIELD di film Avengers yang pertama—sebelum kapal induk itu diserang dan hampir dijatuhkan oleh para anak buah Loki. Ketika semua superhero terlibat adu mulut meributkan siapa yang lebih hebat dan kuat di antara mereka, Loki—yang melihat melalui Tesseract—tertawa bahagia karena idenya berjalan dengan sempurna: Memecah belah Avengers agar misinya menguasai Bumi bisa terlaksana. Ya... pasti Iblis juga tertawa melihat anak-anak Tuhan saling adu mulut, berselisih, kemudian tercerai-berai dalam ideologinya masing-masing—sehingga kegiatan-kegiatan gereja seperti pelayanan, persekutuan, komsel, hingga ibadah, tidak bisa berjalan dengan kesatuan hati di antara pelayan-pelayannya.
“Paduan suara itu paling penting...”
“Enggak, dongg. Tanpa Pemimpin Liturgi bagaimana ibadah bisa jalan?”
“Pemusiklah yang paling penting. Mana bisa jemaat bernyanyi tanpa musik?”
“Tapi kalau gak ada tim multimedia, ibadah juga gak bisa berjalan, lho... baik di dalam maupun di luar ruang ibadah utama.”
“Kalau gak ada kotbah, apa bisa disebut ibadah?”
Aku. Aku. Semua tentang aku. Tidak ada kita.
Bisakah sebuah gereja berjalan tanpa kesatuan hati para pelayan & hamba-Nya?
Bisa.
Ironisnya, makin banyak gereja seperti ini di sekitar kita.
Bisakah sebuah gereja bertumbuh tanpa kesatuan hati para pelayan dan hamba-Nya? Tidak bisa. Tapi ironisnya, makin banyak gereja menutupi hal ini dengan membangun makin banyak “kastil” dalam kerajaan-Nya. Karena tidak ada kesatuan hati, masing-masing tim/komisi/bidang atau bahkan di lingkup antargereja justru lebih fokus menajamkan keunggulannya, mempercantik kastilnya, berebut tuaian baru untuk masuk ke dalam kastilnya... sampai lupa kalau kastil-kastil itu adalah bagian dari kerajaan-Nya—yang berarti Sang Raja bisa sewaktu-waktu merobohkan atau menghancurkan kastil-kastil di wilayah kekuasaan-Nya yang dianggap tidak lagi berguna.
Jadi bagaimana menyatukan perbedaan-perbedaan agar tidak menjadi sebab muncul perpecahan? Caranya ada dua: Temukan persamaan dan ciptakan musuh bersama yang sama. Bukankah misi gereja itu sama-sama melakukan pekerjaan Tuhan di dunia? Juga bukankah semua gereja itu punya musuh yang sama yakni sang Iblis, si penguasa dunia?
Dari sini kita bisa renungkan kembali apa tujuan pelayanan kita: Melayani Tuhan atau ego kita? Lalu jika para pelayan dan hamba Tuhan malah terpecah-belah, bukankah itu berarti tanda bahwa sang Iblis berhasil melakukan misinya di dunia? Apalagi jika kemudian manusia malah menjadikan sesamanya sebagai musuh utama!
Dengan kesadaran ini, masihkah kita melihat jabatan dan peran dalam organisasi gereja sebagai alat pemenuhan ego pribadi? Sudahkah kita juga menyadari bahwa satu-satunya musuh yang patut kita benci dan perangi adalah Iblis yang jago memanipulasi?
“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” —Yohanes 13:34-35
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: