GEREJA: Status atau Peran?

Best Regards, Live Through This, 19 August 2019
Hidupmu kitab terbuka, dibaca sesamamu. Apakah tiap pembacanya melihat Yesus dalammu?

Aku muak dengan para manusia suci yang hanya peduli pada dirinya sendiri.

Malahan aku kagum dengan kaum biasa yang benar berempati dan memiliki hati.


Kita pasti sering mendengar tentang kisah satu ini. Orang-orang yang berperilaku manis di dalam gereja ternyata bisa berubah drastis saat keluar dari sana—entah itu sindiran lewat cerita fiksi atau memang benar dialami oleh sang pengkhotbah. Padahal tidak jarang pula kita mendengar berbagai pandangan lain terhadap orang Kristen; misalnya, “Orang Kristen itu baik, ya. Siapapun ditolong meskipun beda keyakinan,” atau, “Orang Kristen hebat, ya... bisa memaafkan dan malah membantu orang yang menghina agama dan kepercayaan mereka."


Tapi, apa benar bahwa semua “orang Kristen” itu baik dan terpuji? Atau malah seperti yang diceritakan di awal paragraf ini?


Sebenarnya, baik-buruknya setiap orang bukan dinilai dari Kristen ataupun non-Kristennya, bukan pula dari seberapa rajin ke gereja dan pelayanan setiap minggu maupun ‘"udah berangkat ke gereja aja udah bagus’"-nya. Kita tidak bisa berekspektasi terhadap orang yang kita labeli; misalnya, ”Aku mau coba deket sama si ini, ah. Dia kan rajin ke gereja dan pelayanan, cakep lagi. Pasti anaknya baik,” atau memandang orang sebelah mata karena pemahaman kita sendiri—alias menilai si ono yang jarang terlihat di gereja sebagai anak Tuhan yang ‘musiman’. Padahal di luar, si ono memang memiliki kerinduan untuk membantu pelayanan ibadah di rumah panti sehingga tidak bisa selalu beribadah di gerejanya.


Photo by Charles 🇵🇭 on Unsplash 

Saya pernah berdiskusi dengan seorang teman tentang suka-duka mengambil peran dalam kepengurusan organisasi di gereja. Pelajaran dan pengalaman yang didapat memang banyak sekali, tapi tidak semuanya manis. Meski berada dalam satu visi-misi yang sama, namun tidak semua orang di organisasi tersebut memiliki pemikiran yang seirama. Tidak jarang pula terjadi gesekan-gesekan saat bekerja sama dengan rekan seiman di dalamnya. Mereka semua juga manusia kok, bukan malaikat. Semua orang pasti punya rasa lelah, kesal dan egoisnya masing-masing, kan? Tapi jika demikian terus-menerus, bagaimana satu sama lain bisa saling memahami, membangun dan mendukung untuk dapat bertumbuh dan mewujudkan tujuan yang sama?


Saya pernah melakukan kesalahan di dalam kelas yang sedang saya ajar saat itu dan saya meminta maaf kepada murid-murid saya. Salah satu dari mereka bertanya, “Kok, Kak Nia minta maaf, sih? Kak Nia kan, gurunya. Guruku di sekolah nggak pernah minta maaf walaupun melakukan kesalahan... malahan kita, muridnya, yang selalu kena marah.” Mendengar hal itu diucapkan oleh seorang anak kelas 5 SD, saya sungguh kaget sekaligus bingung bagaimana harus menanggapinya. Pelan-pelan saya jelaskan kalau meminta maaf bukanlah hal yang buruk, tapi justru hal baik karena kita berani mengakui kesalahan yang sudah dilakukan dan sebisa mungkin tidak akan mengulanginya lagi. Kalau guru di sekolah selalu marah saat melakukan kesalahan, mungkin sang guru tidak tahu kalau dia bersalah, ataupun belum berani mengakui kesalahannya. Saya juga menambahkan bahwa kita bisa memulainya dari diri sendiri—kita harus berani meminta maaf kalau melakukan kesalahan. Mungkin dengan seperti itu, sang guru bisa belajar dari murid-murid untuk berani mengakui kesalahan. Yah, karena belajar tidak harus dari guru ke murid, tapi juga bisa dari murid ke guru.

Kisah di atas dapat pula kita refleksikan ke dalam kehidupan bergereja. Sang guru di sekolah tidak mengambil perannya sebagai guru—yang mengajarkan muridnya untuk berani mengakui kesalahan, tapi hanya menggunakan status guru-nya untuk marah-marah di kelas. Apakah setiap kita sudah mengambil peran sebagai gereja di dalam kehidupan keseharian kita? Atau kita hanya menyandang status sebagai anak Raja yang telah diampuni dan diselamatkan—sehingga kita merasa aman dengan hidup individu kita yang selama ini baik-baik saja?


Photo by 和 平 on Unsplash 

Saya sangat tertarik dengan budaya kehidupan di Tibet. Setiap anak konglomerat di Tibet akan mendapatkan pendidikan yang sangat keras di masa kecilnya, berbeda dengan anak-anak dari masyarakat biasa yang memiliki masa kecil bahagia seperti kehidupan anak-anak yang penuh dengan permainan dan canda tawa. Alasan dari budaya yang tidak biasa ini adalah karena nantinya ketika dewasa, anak konglomerat akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya dengan baik yang ditunjang dengan pemenuhan pendidikan dan fasilitas yang ia dapatkan. Lain halnya dengan masyarakat biasa, mereka harus bekerja jauh lebih berat pada masa dewasanya hanya untuk bertahan hidup memenuhi kebutuhan primernya.  Hal ini juga bertujuan untuk membentuk kepribadian kaum konglomerat Tibet untuk tidak memandang orang dengan sebelah mata, karena setiap mereka pernah mengalami dan mengerti beratnya berjuang hidup.


Bukankah hal ini sangat menarik bagi kita, umat pilihan Raja Segala Raja, untuk mengambil peran sebagai orang yang berdampak baik bagi sesama? Kita dipanggil bukan untuk menonjolkan status kebanggaan yang tersemat sebagai umat pilihan Allah yang telah diselamatkan.  Seperti salah satu penggalan lirik dalam NKB 204 yang berbunyi:

Hidupmu kitab terbuka, dibaca sesamanya. Apakah tiap pembacanya melihat Yesus dalammu?


Mari menjalankan peran kita sebagai terang di dunia yang penuh cemar ini! Meski tidak mudah dan akan dipenuhi dengan berbagai tantangan, Bapa telah membekali kita satu hal yang dapat menaklukkan apapun di dunia ini, yaitu kasih. Ingatlah, teman: Gereja bukanlah gedungnya dan bukan pula menaranya. Gereja adalah aku, kamu, kita semua. Sampaikan Firman dengan hati teguh, nyatakan Yesus dalammu.

LATEST POST

 

Akhir Oktober biasanya identik dengan satu event, yaitu Halloween. Namun, tidak bagi saya. Bagi saya...
by Immanuel Elson | 31 Oct 2024

Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2 Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow&n...
by Kartika Setyanie | 28 Oct 2024

Kalimat pada judul yang merupakan bahasa latin tersebut berasal dari slogan sebuah klub sepak bola t...
by Jonathan Joel Krisnawan | 27 Oct 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER