Percaya bahwa Tuhan telah menyediakan masa depan yang cerah bagi anak - anakNya.
Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2
Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow di salah satu gereja dengan tema "Sandwich Generation". Tema yang menarik karena relate dengan kehidupan saya.
Ya! Menurut saya pribadi, saya temasuk dalam sandwich generation karena harus bekerja membiayai hidup saya dan mama saya sejak papa saya meninggal 16 tahun silam. Lulus SMA, saya mengubur keinginan saya untuk bisa melanjutkan kuliah. Karena kondisi tidak memungkinkan itu terjadi. Fokus bekerja, mencari uang untuk melanjutkan hidup pemberian Tuhan. Tentunya Tuhan akan selalu pimpin dan sertai saya. Meski terkadang sulit dan merasa jika hidup tidak adil. Mengapa kehidupan begitu sulit bagi saya? Dan, nampaknya begitu mudah bagi orang lain? Mengeluh dan mempertanyakan hidup ini selalu jadi makanan setiap hari kala itu. Namun seiring berjalannya waktu, saya menyadari walau mungkin hidup saya tidak mudah, tapi tidak juga terlalu sulit untuk dijalani.
Image on Lembaga Demografi
Sandwich generation
Istilah ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 1981 oleh seorang Profesor sekaligus direktur praktikum University Kentucky, Lexington, Amerika Serikat bernama Dorothy A. Miller. Generasi sandwich merupakan generasi orang dewasa yang harus menanggung hidup 3 generasi yaitu orang tuanya, diri sendiri, dan anaknya.
Kondisi tersebut dianalogikan seperti sandwich dimana sepotong daging terhimpit oleh 2 buah roti. Roti tersebut diibaratkan sebagai orang tua (generasi atas) dan anak (generasi bawah), sedangkan isi utama sandwich berupa daging, mayonnaise, dan saus yang terhimpit oleh roti diibaratkan bagai diri sendiri.
https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/Article/20570
Jika dikaitkan dengan kehidupan saya. Saya barulah sandwich two layer.
Layer 1 yaitu roti (generasi atas/orang tua) dan isi utama sandwich berupa daging, mayonnaise, dan saus (saya sendiri). Lalu, dimanakah roti yang seharusnya ada di bawah sandwich tersebut? Belum ada, karena saya masih single. Lalu, apakah saya termasuk ke dalam sandwich generation?
Pertanyaan itu muncul di benak saya saat mengikuti talkshow tersebut. Namun, saya menyimpannya dalam hati dan tidak berani bertanya. Ada berbagai pertanyaan muncul dalam sesi tanya jawab. Dan, hampir semua yang bertanya sudah menikah, memiliki anak, membiayai orang tua, dan bahkan membiayai mertuanya juga.
“Astaga! Susah sekali hidup mereka” gumam saya dalam hati.
Di satu sisi saya merasa “lega” karena ternyata ada yang lebih susah daripada saya, tapi di sisi lain saya “iba” pada mereka dan “kuatir” akan masa depan saya. Bagaimana kelak jika menikah, punya anak, masih harus membiayai orang tua dan mertua. Sanggupkah?
Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian? Matius 6:25
Teringat ayat diatas. Ayat yang begitu populer dan mudah dihafalkan, tapi sulit untuk dilakukan. Masih berusaha mempraktikkan ayat tersebut dalam kehidupan sehari-hari dengan mengingat juga ayat berikutnya.
Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya? Matius 6:27
Kuatir hanya membuat hidup lebih susah. Lebih susah daripada hidup yang sesungguhnya. Hidup yang sesungguhnya biasa saja, hanya memang harus berjuang lebih lagi supaya bisa melanjutkannya.
Kembali pada talkshow yang saya ikuti. Dalam hati, saya sempat berpikir ingin keluar dari ruangan itu dan pulang karena saya rasa percuma saja saya ada disitu dan tidak paham dengan apa yang sedang dibahas. Hampir semua pembicaraan mengarah ke hubungan suami, istri, anak, orang tua, mertua.
“Ah! Membosankan!” bisik saya dalam hati.
Moderator kala itu sepertinya tahu apa yang saya pikirkan kemudian ia melontarkan pertanyaan kepada narasumber.
“Bagaimana jika ada seseorang yang masih single, anak tunggal, harus membiayai orang tua sementara ia juga punya harapan dan rencana untuk masa depannya, bagaimana ia harus menata kehidupannya mulai dari segi finansial, psikologis dan lain sebagainya. Karena tentunya ia juga berharap kelak akan menikah.”
Lalu, narasumber itu menjawab “Yang pertama financial management dan menyiapkan mental lebih kuat jika kelak menikah dan yang pasti cari pasangan hidup yang bisa mengerti dan memahami kondisi saat ini”.
“Ah! Ini dia jawabannya!” kata saya dalam hati sambil tersenyum.
Tidak ada yang sia - sia. Ketika kita berusaha menjadi orang yang lebih baik lagi dalam melanjutkan perjalanan hidup ini. Saya mengikuti talkshow tersebut karena tertarik dengan temanya dan saya juga ingin mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang saya simpan dalam hati dan tenggelam karena mendengar pertanyaan-pertanyaan orang lain yang ternyata tidak relate dengan kehidupan saya. Tapi, Tuhan menjawab pertanyaan itu melalui moderator yang melontarkan pertanyaan yang sama persis dengan apa yang ada di benak saya.
Malam itu, talkshow ditutup dengan menyanyikan lagu bersama. Lagu ini menyentuh hati saya. Mengingatkan saya, begitu luar biasa dan baiknya Tuhan itu. Sayang sekali jika hidup ini hanya diisi dengan kekuatiran akan masa depan.
Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang. Amsal 23:18
Akan selalu ada masa depan dan harapan bagi kita anak - anakNya. Percaya pada penyertaan-Nya.
Esok Kan Kujelang
Lagu : Amos Cahyadi
Saat mataku memandang
Keajaiban karyaMu
Sungguh siapakah aku ini
Yang Engkau hargai
Dan cintai selalu
Dan saat kupikirkan kebaikanMu
Tak pernah ‘ku kekurangan
Dan saat kurenungkan kesetiaanMu
Esok kan kujelang
Tanpa keraguan
Surya kan terus ada
https://open.spotify.com/track/3dvcVeAX5E6IPDJv94KfSQ?si=3Nru3s3KR2GRaztoPCt7ag
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: