“I wanted a perfect ending. Now I’ve learned, the hard way, that some poems don’t rhyme, and some stories don’t have a clear beginning, middle, and end. Life is about not knowing, having to change, taking the moment and making the best of it, without knowing what’s going to happen next. Delicious ambiguity.”
GKI Masa Kini
Gereja Kristen Indonesia (GKI). Bagi banyak orang, mungkin sinode ini dilihat sebagai gereja yang “sukses”. Bagaimana tidak? Ketika gereja-gereja saling memisahkan diri, ketiga GKI (GKI Jabar, GKI Jateng, dan GKI Jatim) menyatukan diri pada tahun 1988. Sinode GKI yang menaungi Ignite GKI ini juga dipuja-puji untuk organisasinya. Dengan Talak dan Tagernya, gereja kita bisa dibilang teratur dan sistematis.
Tidak hanya persoalan internal, di luar sana, kiprah GKI juga tidak kalah mentereng. Gereja kita banyak terlibat dalam urusan pendidikan dan sosial. Bisa dilihat dari sederet lembaga pendidikan dan kesehatan yang ada (baik di bawah maupun di dalam) di lingkup GKI. Entah berapa banyak rupiah yang Tuhan percayakan melalui gereja kita yang dipergunakan untuk pendidikan (lembaga pendidikan, beasiswa, dll), kesehatan (klinik, RS, bantuan alat medis, bantuan dana untuk yang sakit, dll), sosial (panti asuhan, panti jompo, bantuan pembangunan ke luar pulau jawa, dll).
Banyak dari anggota jemaat dan pendeta GKI yang tidak alergi untuk bermain di panggung luar gereja. Mulai dari hubungan ekumenis dengan gereja-gereja lain di Indonesia hingga hubungan lintas agama. Tidak jarang anggota GKI yang jadi pemrakarsa berbagai kegiatan tersebut. Beberapa tokoh nasional juga lahir dari gereja kita, sebut saja T.B. Simatupang, Yap Thiam Hien, juga Eka Darmaputera.
GKI Masa Lalu
Melihat dari paparan prestasi gemilang di atas, mungkin kita beranggapan bahwa GKI melangkah dengan ajeg. Namun nyatanya, perjalanan GKI tidaklah semulus yang kita kira. Ada masa-masa ketika gereja kita bergerak tidak, berhentipun tidak. Kita mau melangkah, tetapi tidak ada tenaga untuk melangkah. Sampai-sampai A. Pekerti pada tahun 1973 menantang para pimpinan jemaat dengan:
Beranikah pimpinan-pimpinan jemaat keluar dari kepastian diri yang kini dimiliki dan melangkah ke masa depan yang penuh ketidakpastian, seperti Musa?
Pertemuan Raya 1975 juga mencatat bahwa kita menghadapi hambatan berupa warga jemaat GKI yang:
terlampau mementingkan diri sendiri dan rasa superiority complex, sehingga tidak bisa melihat misi dan panggilan gereja di tengah dunia yang lebih luas. Dan mengingat cakup tugas yang begitu luas, perlu Kerjasama dengan instansi-instansi lain.
cenderung untuk tidak melibatkan diri, karena latar belakang kebudayaan, yang diperkuat oleh Pietisme (penekanan pada hal rohani saja dan hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan, tetapi kurang dalam hal yang horizontal antara manusia dan sesama).
penghayatan kasih Kristus yang bersedia berkurban demi kepentingan umat manusia keseluruhan yang masih miskin.
kurang motivasi yang benar dan pembinaan yang intensif, terencana dan terarah. Motivasi yang sering muncul adalah: cari nama, sekedar untuk mencapai suatu laporan atau target, kepuasan dan keamanan diri, nafsu bersaing, hanya mau menyumbangkan uang dan tak mau terlibat langsung (tidak mau repot).
memiliki hambatan-hambatan komunikasi di berbagai segi kehidupan gereja kita
tidak ada keselarasan gerak dalam tubuh gereja.
masih dihinggapi mental pamrih untuk sekedar menyenangkan diri sendiri dan juga perasaan takut, karena situasi politis dan berada sebagai kelompok minoritas.
Eka Darmaputera pada tahun yang sama juga menyampaikan bahwa gereja sering mengartikan Yesus terlampau verbalistis, religius, dan terlampau moralistis. Terlampau verbalistis karena terbatas pada pengulangan pengucapan slogan-slogan dan kode-kode tanpa melaksanakan kehendak-Nya. Yang perlu kita lakukan bukan sekedar menghafal ulang katekismus Heidelberg, tetapi mengaku Kristus secara baru.
Terlampau religius berarti memperdebatkan isu-isu teologis yang tidak relevan dan tidak bermanfaat, seperti, mungkinkah orang diselamatkan di luar Kristus? Perdebatan macam ini hanya akan menambah banyak abstraksi yang tidak bermanfaat tanpa melihat dengan jelas peranan kita dan makna kehadiran kita di tengah-tengah pergolakan di sekitar kita di dalam terang Yesus Kristus.
Terlampau moralistis berarti pendekatan-pendekatan kita menjadi terlampau individualistis. Jika selera-selera pribadi, masalah-masalah pribadi, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi yang menjadi titik tumpu keprihatinan gereja, maka ini adalah pekerjaan yang terus membuat gereja berputar-putar dalam lingkaran yang tak kunjung selesai dan tak kunjung bergerak maju. Gereja juga tanpa sadar semakin tenggelam menjadi introvert. Antara individu dan struktur memang jangan dipertentangkan, tetapi juga jangan hanya memilih salah satu dari kedua hal tersebut.
GKI Dalam Ketidakpastian
Ternyata, gambaran masa kini dan masa lalu GKI begitu berbeda. Apa “ketidakpastian” yang disebutkan oleh A. Pekerti di tahun 1971? Mengapa “ketidakpastian” tersebut mempengaruhi warga GKI sehingga mereka menutup diri? Dan hal apa pula yang merubah mereka menjadi seperti sekarang ini?
GKI sendiri tidak langsung berdiri seperti sekarang, semua dimulai dari pembentukan Sinode Am GKI pada tahun 1962 dan kemudian menjadi Sinode GKI pada 1988. Sinode Am GKI lebih kepada lembaga yang menaungi tiga gereja berbeda yaitu GKI Jabar, GKI Jateng, dan GKI Jatim. Baru akhirnya pada 1988 ketiga GKI benar-benar menjadi satu gereja.
Para Pendiri Sinode Am GKI - GKI Jabar Kelinci 1962
Sidang Sinode Am I 1962 dan II 1964 menunjukkan semangat dan harapan Sinode Am dalam bergereja. Namun sayang, peristiwa G30S 1965 dengan pergolakan isu sosial, politik, dan ekonominya secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi langkah Sinode Am GKI. Belum lagi di akhir tahun 60an, Sinode Am GKI kehilangan Ketum dan Sekjen Sinode. Dr. Pouw Ketua Moderamen untuk memenuhi tugas baru di Sekolah Theologia Ching Mei-Thailand. Baru saja mencoba stabil, Sekretaris Jendral Moderamen, Pdt. Tan King Hien meninggal. Hal ini menyebabkan Sinode Am GKI menjadi vakum dan tidak melakukan pergerakan yang berarti dari tahun 1964-1971. Bahkan Sidang Sinode ketiga yang direncanakan diadakan pada tahun 1966 tertunda hingga tahun 1971.
Pergolakan sosial, politik, dan ekonomi kemudian berkembang menjadi sentimen dan kekerasan anti tionghoa yang tentunya sedikit banyak mempengaruhi sebagian besar warga gereja Sinode AM GKI yang mayoritas adalah WNI keturunan Tionghoa. Secara sosial dan politik warga Tionghoa dipersalahkan karena: i. Sebagian WNI keturunan Tionghoa memiliki pandangan kiri dan dianggap berpihak kepada PKI; ii. Tiongkok melalui surat kabar dan radio mengecam berbagai tindakan yang dilakukan oleh Indonesia kepada PKI. Secara ekonomi, WNI keturunan Tionghoa memiliki keunggulan dan dituduh memainkan harga. Inflasi yang mencapai 635% pada tahun 1966, harga beras yang melejit dari Rp17.5, pada September 1967 menjadi Rp30, dan meningkat menjadi sekitar Rp90 pada Februari 1968 membuat warga panik dan sebagian dari mereka menyalahkan WNI keturunan Tionghoa.
Karikatur yang menggambarkan seorang Cina gemuk (tangannya melambangkan harga) yang sedang mencekik seorang Indonesia yang kurus (lambang: rakyat). Lihat Mingguan Trisakti, 25 Mei 1966. |
Sentimen Menjadi Persekusi
Prasangka dan sentimen berkembang menjadi kekerasan. Beberapa kekerasan dan diskriminasi yang terjadi pada masa ini antara lain terjadi di Makassar, Medan, Jakarta, Kalimantan Barat, Sukabumi, dan Aceh. Di Makassar Ribuan perusuh mengamuk dan menyasar gedung dan milik orang Tionghoa dibandingkan orangnya sendiri. Menurut nota protes kedutaan besar Tiongkok, toko dan rumah dari 2.000 lebih keluarga Tionghoa mengalami kerusakan dalam berbagai tingkat, dan hampir 1,000 keluarga mengalami kebangkrutan.
Di Medan pada 10 Desember 1965 para demonstran “mengamuk ke seluruh kota, menyeret orang Tionghoa dari becak dan sepeda motor, menikam mereka dengan pisau panjang, menjarah kios-kios mereka di Pasar Pusat, membunuh atau melukai semua yang melawan.” Jumlah korban jiwa diperkirakan ratusan.
Pada 8 Mei 1966, komandan militer Aceh, Brigadir Jenderal Ishak Djuarsa, mengumumkan agar semua orang Tionghoa asing meninggalkan aceh sebelum 17 Agustus. Setidaknya 10,000 pengungsi Tionghoa bergerak ke selatan dari Aceh, ke Medan dan daerah sekitarnya. Setidaknya, berdasarkan laporan Peking Review, keluarga-keluarga Tionghoa di sana diusir keluar dari rumah dan dijemur di bawah terik matahari selama lebih dari lima jam. “Para penjahat itu memaksa orang laki-laki untuk menanggalkan baju mereka, menuangkan berbagai cat berwarna di atas tubuh mereka memulas badan mereka dengan slogan-slogan anti Tionghoa dan memukuli mereka ….”.
Warga Tionghoa Sukabumi mendapat tekanan untuk mengganti nama mereka. Penggantian nama ini bertujuan untuk mempercepat proses asimilasi dan memperkuat rasa persatuannya dengan Indonesia. Pada 1 Juni 1966, kira-kira 6,662 WNI keturunan Tionghoa di Sukabumi (hampir seluruh penduduk WNI keuturunan Tionghoa di kota itu) mengganti nama mereka. Namun, meskipun telah mengganti nama, mereka masih bisa dituduh bahwa penggantian nama dilakukan karena takut atau oportunisme. Bahkan komandan distrik militer Sukabumi menyatakan: “asimilasi biologis (kawin campur) merupakan bentuk asimilasi yang paling ‘konsekwen’, tetapi kalau bekas minoritas itu (orang Tionghoa) tidak bersedia melakukannya, maka jawaban terletak di tangan rakyat (massa) sendiri.
Cerita komik ini merupakan contoh ekstrim dari kecenderungan luas pers untuk menggambarkan orang Tionghoa (biasanya tidak selalu dimaksud orang Tionghoa asing). Nada rasialis yang tampak adalah penggambaran ciri fisik Tionghoa (khususnya mata sipit) dan penggunaan ejaan untuk menunjukkan logat Tionghoa, misal le-le-te merujuk Republik Rakyat Tiongkok. Lihat Harian Udjana, Minggu ketiga Mei 1966. |
Pada 31 Desember 1966, Mayjen Soemitro di Jawa Timur mengeluarkan empat keputusan baru yang ditujukan kepada orang Tionghoa asing (termasuk orang Tionghoa tanpa kewarganegaraan maupun warga negara RRT) tanpa sepengetahuan Jakarta. Pertama, pemberlakuan larangan terhadap orang Tionghoa asing untuk melakukan perdagangan besar di kota-kota lain di Jawa Timur selain Surabaya. kedua, pelarangan orang Tionghoa asing berpindah tempat tinggal dalam propinsi Jawa Timur. Ketiga, pengenaan pajak kepala sebesar Rp 2,500 (waktu itu bernilai kira-kira 25$) kepada orang Tionghoa asing yang tinggal di Jawa Timur. Keempat, pelarangan penggunaan huruf dan bahasa Tionghoa dalam perekonomian, keuangan, administrasi, atau telekomunikasi.
GKI Dalam Persimpangan
Kita melihat bagaimana Sinode Am GKI yang baru ditinggalkan dua orang pemimpin harus bernavigasi di dalam pergolakan sosial, politik, dan ekonomi. Pergolakan tersebut menimbulkan diskriminasi yang dilakukan oleh golongan pribumi yang terancam kedudukannya kepada non-pribumi. Diskriminasi berupa pembedaan hak-hak dan kesempatan pendidikan serta jabatan. Sebaliknya hal ini menimbulkan efek frustasi yang dibarengi dengan sikap menutup diri dan hanya berorientasi ke dalam, kepada golongan sendiri saja. Hingga pada awal tahun 70an berbagai pertemuan dilakukan dan warga GKI ditantang untuk melakukan perubahan.
A. Pekerti, dalam Pertemuan Raya 1973 memaparkan dua pilihan jalan untuk GKI pada masa kini:
Mempertahankan identitas etnis dan berfungsi sebagai kelompok tempat orang-orang keturunan Tionghoa mencari kepastian diri dalam pasang surutnya masalah minoritas di Indonesia
GKI memainkan peranan yang lebih aktif dan kreatif dalam turut membina keesaan Gereja dan kesatuan bangsa. Untuk memainkan peran ini, GKI harus mengubah orientasi kegiatan-kegiatannya yang self serving menjadi kegiatan-kegiatan missioner yang lebih luas cakupannya dari pada batas-batas masyarakat keturunan Tionghoa.
T.B. Simatupang pada Pertemuan Raya II 1975 juga menantang warga GKI untuk memikirkan dua hal berikut:
Bukankah sudah waktunya bagi GKI untuk dalam rangka keesaan gereja-gereja bersikap lebih terbuka, lebih berorientasi kepada gereja-gereja lain, dan kepada masyarakat? Menyadari eksistensinya sebagai golongan non pribumi di tengah-tengah masyarakat dan gereja dan mencari sumbangsih-sumbangsih apa yang dapat diberikan oleh GKI dalam rangka mempersatukan gereja?
Dan bukankah sekarang waktunya bahwa GKI melihat tugas dan panggilan Kristus, di tengah-tengah ketidakadilan sosial ekonomi, hukum dsb yang ada dalam masyarakat, untuk mengurangi dan bahkan membebaskan manusia-manusia dari ketidakadilan sosial tersebut yang dialami oleh mayoritas Indonesia?
GKI Memilih Ketidakpastian
Persimpangan jalan penuh ketidakpastian inilah yang dihadapi oleh GKI. Bagaimana dengan sentimen, diskriminasi, dan persekusi yang mungkin dihadapi? GKI memilih menjadi gereja yang terbuka baik terhadap kesempatan yang ada maupun terhadap risiko yang sangat mungkin terjadi.
Di sini, setidaknya kita mendapatkan dua hal mengenai ketidakpastian.
Pertama, hidup ini penuh dengan ketidakpastian. Pada satu waktu, kita merasa begitu yakin dengan masa depan, namun kita disambut dengan kejutan-kejutan. Baru saja tiga tahun membentuk Sinode Am GKI, kita dikejutkan dengan gejolak sosial, politik, dan ekonomi yang menghambat langkah kita. Baru saja merencanakan kegiatan tahun 2020, kita dikejutkan dengan pandemi Covid yang merubah cara hidup sebagian besar dari kita. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi, dan terkadang kita terpaksa untuk berubah atau menyesuaikan diri.
“I wanted a perfect ending. Now I’ve learned, the hard way, that some poems don’t rhyme, and some stories don’t have a clear beginning, middle, and end. Life is about not knowing, having to change, taking the moment and making the best of it, without knowing what’s going to happen next. Delicious Ambiguity.” ~Gilda Radner
Kedua, dalam segala ketidakpastian dan perubahan yang terjadi, kita bisa dengan yakin berkata bahwa Allah memegang kendali dan kita berserah penuh kepada-Nya. Mencari kehendak-Nya menjadi istilah yang cukup sering digaungkan dalam pengambilan-pengambilan keputusan GKI. Meskipun kehendak-Nya membawa kita kepada ketidakpastian dan jalan yang sepi, Ia akan menyertai kita. 1965-2022, Allah sudah dan terus menyertai dan memampukan GKI untuk menjalankan tugas dan panggilan-Nya di dunia ini di tengah berbagai ketidakpastian.
I discovered something attractive about uncertainty. It was the knowledge that God was in control and that I was depending on him every moment. — Yilda B. Rivera
Daftar Pustaka
Abednego, B.A. “Quo Vadis Sinode Am GKI.” Dalam Konven Pendeta Sinode AM Gereja Kristen Indonesia, 2–11, 1987.
———. Sekapur Sirih Seputar: Sinode Am GKI. Malang: Prisma, 1988.
Akta Sidang Sinode AM GKI I, 1962.
Akta Sidang Sinode AM GKI II, 1964.
Contenay, Jean. “Ali Baba in Atjeh.” Far Eastern Economic Review, 9 November 1967.
Coppel, Charles A. Indonesian Chinese in crisis. Southeast Asia publications series, no. 8. Kuala Lumpur ; New York: Oxford University Press, 1983.
Darmaputera, Eka. “Mengaku Kristus, Membina Keesaan Gereja dan Kesatuan Bangsa.” Dalam Laporan Pertemuan Raya II, 28–40, 1975.
Harian Udjana, Minggu ketiga Mei 1966.
Handoyo, Lukito. “Sinode Am GKI - Bagaimana Kini dan Hari Depannya?” Pelita, 1967.
Laporan Pertemuan Raya I, 1973.
Laporan Pertemuan Raya II, 1975.
Mingguan Trisakti, 25 Mei 1966
Pekerti, A. “Pengantar Diskusi: Peranan GKI dalam Keesaan Gereja dan Kesatuan Bangsa.” Dalam Laporan Pertemuan Raya I, 29–31, 1973.
Simatupang, T.B. “Yesus Kristus Membebaskan dan Mempersatukan.” Dalam Laporan Pertemuan Raya II, 19–28, 1975.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: