Memaknai Keugaharian Natal Dalam Khazanah Sufisme

All About GKI, Behind The Scene, 22 December 2020
“Men, inside themselves, exist love, pain, miss, and will. Even a hundred thousand world is theirs, they never feel satisfied and quiet.” – Jalalaluddin Rumi, sufi besar pada abad ke-13 dan sepanjang sejarah. Rumi, sebagai seorang darwis yang digelari sebagai “Raushan Damir”, yaitu orang yang memiliki penglihatan rohani yang tajam sehingga mampu membaca rahasia hati dunia dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang tersembunyi.

NATAL DI TENGAH PANDEMI

Hadir dalam betapapun riak, guncangan dan keterdesakan, barangkali Natal tetaplah Natal dengan segala perjumpaan, ingatan dan peristiwanya – lebenswelt – yang tak terhindarkan. Bak menjadi gerbang perayaan terakhir menuju pembukaan tahun yang baru, Natal tak pernah apkir dalam daftar hidup. Yang bahkan, dalam situasi keterhimpitan dan rongrongan pandemi ini tetap hendak dirayakan dalam beberapa hitungan hari kedepan. Keadaan ini tentu memaksa kita untuk memaknai perayaan Natal dengan forma yang berbeda dari biasanya, atau yang positifnya bahkan dapat membawa kita kembali pada makna awal kesederhanaan dan keugaharian Natal itu sendiri. 

Belajar dari peristiwa kelahiran Yesus Kristus, di mana dalam kepapaan justru Sang Ilahi hadir, barangkali keadaan tersebut sulit untuk kita rengkuh maknanya di tengah hingar bingar dan gelombang distorsi ruang hidup masa kini. 

Peristiwa Natal dalam arena post-modernitas dan kapitalisme kontemporer telah tereduksi makna "kesederhanaan" di dalamnya, atau yang lebih dalam lagi, "keugaharian". Gemerlap dan gegap gempita manufaktur hingga aneka iklan perusahaan nasional maupun internasional dapat kita jumpai dalam ruang publik. Natal seolah menjadi peristiwa komodifikasi dan perlombaan reifikasi terhadap pola hidup glamor maupun konsumerisme. 

Berangkat dari presuposisi seperti inilah, saya yang kemudian juga berjumpa dan jatuh cinta dengan wacana keugaharian Sufisme pada sebuah mata kuliah dalam studi teologi yang saya tempuh saat ini, hendak mengajak kita sekalian memahfumi Natal dalam perspektif yang mungkin terkesan asing atau baru bagi pemahaman Kristianitas ini.


SEKILAS TENTANG SUFISME

Hadir sebagai dimensi esoteris dalam Islam, Sufisme seringkali tidak muncul dalam permukaan dan kerap kali dikenal sebagai ‘mistik’. Ajaran kebijaksanaan tentang sufi ini konon tidak dapat dijabarkan secara komprehensif mengingat keluasan dan kedalaman intisari maknanya. Pengkajian tentang Sufisme tidak dapat didefinisikan sebagai makna tunggal dan dari perspektif tunggal, sebab di dalamnya tersirat sebuat sistem mistikal yang tersembunyi. Sufisme atau tasawuf juga menjadi salah satu pendekatan penting dalam sejarah perjumpaan Islam dengan Nusantara.

Sufisme menekankan laku hidup ugahari, pemurnian diri (shafa) dan pemusatan diri kepada Allah. Disini, makna pemurnian diri tidak bisa direduksi dan diartikan secara superfisial sebagai tindakan asketis saja. Mengingat ajaran-ajaran ini bukannya hadir dalam batasan preskriptif atau normatif saja, melainkan sudah mencapai level kedalaman "laku hidup keseharian". 

Dengan demikian Sufisme memusatkan adanya proses pengembalian diri kepada fitra atau kondisi asali dimana manusia berada di dalam Allah. Hal ini juga tidak bisa diterjemahkan sebagai penyatuan entitas manusia dengan kedudukan Allah, melainkan dimahfumi sebagai kondisi manusia yang mampu otonom dari kedhaifan dan kefanaan kehidupan dunia (zuhud) sehingga terjadi persekutuan pribadi yang sejati dengan Allah sampai pada tahap merasakan bahwa subjektivitasnya telah larut dalam rengkuhan Allah. 

Lalu bagaimana dengan implementasi dalam realitas kehidupan? Sufisme juga menghadirkan ajaran cinta (mahabba) dan pencapaian pengetahuan (makrifat sufiyah) sebagai manifestasi landasan relasi dengan Allah yang nantinya juga mendasar pada relasi antar subjek dalam realitas kehidupan. Sehingga unsur-unsur perjumpaan kehidupan di dunia tidak bisa dinihilkan. Sufisme mengajak kita bahwa upaya penemuan kedamaian dan paripurna di dalam Allah dapat hadir dalam penciptaan harmoni dalam relasi antar sesama makhluk-Nya.


NATAL SEBAGAI UPAYA UGAHARI DIRI 

Di sini bukan berarti saya hendak meng-oposisi-kan secara biner antara Natal sebagai momen yang monumental itu dengan pemisahan kehidupan yang seolah terdengar asketis tersebut. Namun, kiranya wacana kebajikan dan kebijaksanaan Sufisme yang mungkin terkesan baru dalam kalangan Kristianitas ini menjadi sebuah tepian kesadaran dalam gejolak kenisbian kehidupan yang seakan melesap terlalu cepat dan menggerus otentisitas relasi kita dengan Tuhan terlebih dengan sesama. 

Natal musti menjadi titik landasan kita dalam memaknai keugaharian dalam diri setelah melihat segala lelah pencapaian-pencapaian kita, upaya-upaya kita dan tindakan-tindakan kita merengkuh materi yang seolah telah kita yakini sebagai pusat pemenuhan diri dalam hidup. Dengan menjadikan Natal sebagai momen kebersamaan dengan orang-orang yang kita cintai, mengingat situasi pandemi mungkin dapat menjadi momen refleksi pula selepas model perayaan-perayaan Natal yang pernah kita rasakan sebelumnya. Cinta menjadi dasar yang utama dalam perayaan ugahari terhadap wujud kasih Tuhan pada dunia ini sehingga ia menghadirkan Sang Empunya cinta kasih sejati yakni Yesus Kristus sebagai Juruselamat hidup kita.

Selamat Natal.

 

LATEST POST

 

Respons terhadap Progresive ChristianityIstilah progresive Christianity terdengar belakangan ini. Ha...
by Immanuel Elson | 19 May 2024

 “…. terpujilah kebijakanmu dan terpujilah engkau sendiri, bahwa engkau pada hari...
by Rivaldi Anjar | 10 May 2024

Tanpa malu, tanpa raguTanpa filter, tanpa suntinganTiada yang terselubung antara aku dan BapaApa ada...
by Ms. Maya | 09 May 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER