Toxic Guilt: Apakah Salah Bila Saya Merasa Bersalah?

Best Regards, Live Through This, 19 September 2020
Bila Allah adalah Pribadi Yang Maha Mengampuni, mengapa kita justru menjadi manusia yang maha mengungkit?

Bagaimana jika sebenarnya selama ini kita sedang tenggelam dalam perasaan bersalah yang keliru? Bagaimana jika perasaan menyesal yang kita miliki dalam berbagai keadaan dan kejadian justru membuat kita semakin menjauh dari Tuhan dan merasa tidak perlu lagi berusaha untuk dekat dengan-Nya? Bagaimana bila merasa bersalah justru adalah suatu kesalahan? Bagaimana bisa hal itu terjadi?

Dewasa ini berkembang banyak terminologi yang semakin umum dikenal masyarakat, di mana terminologi tersebut disandingkan dengan istilah toxic. Contohnya adalah toxic relationship, toxic masculinity, toxic friends, toxic parents dan sebagainya. Penambahan istilah toxic sebelum suatu kata tertentu sebenarnya ingin menegaskan negasi keadaan dari kata yang tengah diangkat. Dalam praktiknya, unsur-unsur negatif dari kata yang disandingkan dengan toxic itu sendiri yang menjadi perhatian. Toxic relationship misalnya, menggambarkan suatu pola relasi yang tidak sehat dan merugikan sebagian atau seluruh pihak. Contoh toxic relationship itu sendiri adalah kontrol seseorang atas pasangannya, sehingga pasangannya seolah kehilangan keputusan bebasnya. 

Suatu ketika, saat bergaul bersama sekelompok anak muda dan saling berbagi kisah hidup, terlintas satu istilah dalam benak saya: toxic guilt! Hah? Perasaan bersalah yang tidak sehat? Bukannya merasa bersalah itu baik ya? Sebelum itu, ketika memikirkan istilah tersebut, saya mencurigai bahwa istilah ini bukanlah sesuatu yang baru, dan seharusnya sudah ada sebelumnya. Kecurigaan saya tersebut tampaknya benar. Belakangan saya temui bahwa istilah itu sudah ada dan muncul di mesin pencarian daring (baca: google.com).

Dari sejumlah pembacaan yang saya lakukan, toxic guilt diartikan sebagai suatu perasaan bersalah berlebih atas sesuatu yang sudah berada di luar kendali kita. Mungkin masih banyak definisi lain yang dipakai untuk menjelaskan istilah ini. Hanya saja, kita terlebih dahulu harus memahami bahwa guilt atau perasaan bersalah itu sendiri merupakan bagian wajar dari kehidupan sebagai manusia. Justru, apabila kita kehilangan rasa bersalah akan suatu kesalahan, itu berbahaya. Karenanya, bukan suatu hal yang keliru dan aneh bila kita memiliki rasa bersalah akan suatu hal atau kejadian. Merasa bersalah dan menyesal adalah hal yang penting, khususnya dalam perjalanan sebagai orang Kristen yang berlimpah dosa, sebagai suatu bagian dari proses pertobatan. Maka dari itu, sebenarnya merasa bersalah adalah suatu kesempatan yang baik untuk berubah. 

Istilah toxic guilt sendiri ingin menegaskan bahwa ada perasaan bersalah yang justru tidak sehat dan membuat kita tidak produktif. Sadar atau tidak, dalam relasi dengan Tuhan, tidak jarang kita malah tenggelam dalam rasa bersalah yang seperti ini. Keadaan ini bukannya membuat kita semakin berusaha dekat dengan Tuhan, malah membuat kita menjauh dari-Nya. Mana mungkin? Apa contohnya?

Merasa bersalah atas dosa dan kesalahan yang kita lakukan adalah penting, sangat penting. Bahkan, meratapi kesalahan dan keadaan kita yang tak kunjung sempurna adalah keniscayaan. Hanya saja, di balik rasa bersalah itu, banyak kita cenderung tenggelam dalam asumsi bahwa sudah tidak ada lagi harapan untuk berbalik! Bahkan Tuhan sendiri, Sang Sumber Pengharapan, kita pandang tak cukup untuk mengisi bejana-bejana pengharapan kita tentang hidup yang berkenan di hadapan-Nya. Biar saya perjelas hal ini; kita merasa diri terlalu berdosa sampai-sampai melihat dan menganggap bahwa Tuhan, Sang Pribadi Yang Maha Mengampuni sudah lupa caranya mengampuni kita yang bersalah ini. Apakah ini sehat?

Photo by Kevin Jesus Horacio on Unsplash 

Kesalahan yang sudah kita lakukan adalah masa lalu, bukan? Lalu, apakah kita memiliki kuasa untuk mengubah masa lalu? Tentu tidak! Bila melihat kembali esensi toxic guilt yang dijelaskan sebelumnya, bahwa suatu perasaan bersalah terjadi dan menghantui karena dan/atau atas hal-hal yang sudah terlepas dari kontrol kita, apakah sehat bila kita terus merasa bersalah atas kesalahan yang adalah masa lalu? Bukankah masa lalu sudah berada di luar kontrol kita?

Saya pribadi sangat familier dengan sebuah fragmen dalam cerita hidup manusia, dan saya kira banyak orang pun sangat familier dengan keadaan tersebut. Ingatkah Saudara tentang kisah seseorang yang tidak mau lagi berdoa, tidak ingin bertemu Tuhan, atau setidaknya menunda berdoa dan beribadah serta merenungkan firman karena merasa sudah terlalu banyak berdosa? Tentu ingat, karena itu adalah saya dan Saudara! Fragmen ini menjadi bagian dari banyak hidup orang Kristen. Kita mengambinghitamkan kekudusan Tuhan sebagai alasan kita untuk tidak mau bertemu dengan-Nya! Betapa arogan!

Kita agaknya perlu untuk kembali memahami bahwa Allah adalah Pribadi Yang Maha Pengampun, ya, Maha Pengampun. Berbuat salah adalah sesuatu yang buruk. Melukai hati Allah adalah kebodohan. Benar, memang begitu. Kita bodoh dan dungu. Merasa bersalah dan meratapi keadaan itu adalah penting untuk membuat kita kunjung berubah. Tanpa melewati fase merasa bersalah karena suatu dosa atau kesalahan, sebenarnya kita belum berubah. Jelas demikian karena kita masih belum menyadari kesalahan itu.

Di balik semua kesalahan dan rasa bersalah itu, kita harus belajar untuk menerima bahwa Ia adalah Allah yang akan mengampuni dosa-dosa kita dan melupakannya! Seperti lirik dari sebuah lagu dangdut berkata, “masa lalu, biarlah masa lalu!”, demikianlah kita harus belajar menerima fakta bahwa kesalahan yang sudah terjadi, biarlah berlalu. Allah yang mengampuni dan melupakan kiranya menjadi alasan kita untuk move on dan melupakan masa lalu yang penuh cela dan menjelang masa depan yang penuh harapan. Di balik kebodohan kita, justru kita semakin membutuhkan Tuhan!

Yang perlu kita lakukan adalah memohon pengampunan-Nya dan kemudian berusaha untuk tidak lagi melakukan dosa yang sama. “Tapi, bagaimana bila jatuh lagi?” Bertobat lagi, Kawan. “Ah,  rasanya itu hanya kemunafikan belaka!” Saudaraku, kita harus mengerti apa esensi toleran dan kompromi. Dalam perjuangan melawan kodrat dosa, sebisa mungkin kita tidak berkompromi dengan diri sendiri dan membiarkan diri sendiri ini jatuh kembali ke dalam lubang yang sama. 

Hanya saja, dalam hidup yang mengusahakan untuk menyenangkan hati Tuhan, tidak jarang kita temui diri kita jatuh kembali dalam kesalahan yang sama, bukan? Nah, di titik itu kita perlu bersikap toleran dengan diri sendiri. Kita lemah. Bila sudah berjuang tapi masih jatuh lagi, ya tidak apa-apa, kita perlu bertoleransi dengan diri kita. Saya paham bahwa ‘toleran’ adalah istilah yang cukup berbahaya. Tapi, kembali lagi, apa yang bisa kita lakukan dengan masa lalu dan kesalahan yang berlalu bersamanya? Tidak ada. Karenanya, kita tidak perlu tenggelam dalam self-blaming yang berlebih dan merasa seolah tidak ada lagi pengharapan untuk bertobat.

Photo by Akshar Dave on Unsplash 

Selama nafas masih berhembus, dan selama kita masih melihat diri kita berusaha dan berjuang, dalam anugerah-Nya, untuk hidup berkenan di hadapan-Nya, maka masih ada harapan! Kita memang berdosa dan bahkan terus jatuh dalam dosa. Kita harus berjuang untuk kian hari kian bertobat dan tidak jatuh dalam kesalahan yang sama. Namun, bila terlanjur, sadarlah bahwa itu adalah kesalahan dan memohon ampunlah kepada Tuhan. Ia melupakan dosa kita. Bukankah lebih sehat dan benar bila kita juga turut melupakan dosa kita? Sulit memang, tapi hidup di balik bayang-bayang dosa yang sudah berlalu bukanlah “jalan ninja” kita sebagai orang Kristen. Kita tidak berhak untuk mengingat apa yang sudah Allah lupakan. 

Akhir kata, perasaan bersalah adalah penting. Namun, mari berdamai dengan perasaan bersalah yang tidak sehat. Pandanglah Salib-Nya, Ia sudah mengampuni dosa kita yang dulu, sekarang, dan nanti. Tetap berjuang wahai sobat misqueenku seperjuangan dalam Tuhan! Maranatha!

LATEST POST

 

Akhir Oktober biasanya identik dengan satu event, yaitu Halloween. Namun, tidak bagi saya. Bagi saya...
by Immanuel Elson | 31 Oct 2024

Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2 Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow&n...
by Kartika Setyanie | 28 Oct 2024

Kalimat pada judul yang merupakan bahasa latin tersebut berasal dari slogan sebuah klub sepak bola t...
by Jonathan Joel Krisnawan | 27 Oct 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER