Terkadang, Netflix 'menjauhkan' saya dari Tuhan; terkadang, saya 'menemukan' Tuhan di program Netflix paling tak terduga. Sampai saya sadar, ini bukan soal Netflix sama sekali.
Saya mengikuti beberapa reality show di Netflix, dari Skin Decision yang dipandu oleh dokter bedah plastik dan pemilik klinik kecantikan, hingga Queer Eye yang dipandu oleh tim Fab5 yang terdiri dari: Koki, fashion stylist, arsitek, penata rambut dan konselor. Jika Skin Decision mengubah tampilan peserta dengan teknologi perawatan dan medis tercanggih, Queer Eye mendefinisikan shownya "more than just a makeover" karena tim Fab5 hadir dengan kepakarannya masing-masing untuk mentransformasi hidup pesertanya. Tan memberikan advice fashion dan baju-baju terbaru, Karamo membangun pola pikir yang sehat, Bobby sang arsitek merenovasi rumahnya, Jonathan melakukan grooming dari sisi rambut dan kuku, Antoni sang koki mengajarkan peserta memasak hidangan yang baik untuknya.
Queer Eye memenangkan sejumlah penghargaan bergengsi seperti Emmy Awards; ia menyentuh hati banyak orang karena selalu hadir dengan narasi positif yang disesuaikan dengan keresahan hidup manusia sekarang. Para pakar hadir mengubah hidup peserta reality show dan mentransformasi sosok mereka ke dalam versi terbaiknya. Seakan-akan, mereka lahir baru.
Saya sangat menyukai serial tersebut karena pesan inklusifnya yang kuat dan di tiap episode, tim yang disebut Fab5 itu selalu menekankan bahwa pada dasarnya kekuatan untuk bertransformasi jadi manusia yang lebih baik itu sudah ada di dalam diri tiap orang, kehadiran mereka hanya sekadar ‘memancing’.
Episode demi episode, season demi season. Saya terseret sukacita para peserta reality show yang seperti mendapat kesempatan kedua dalam hidup. Juga suntikan kata-kata motivasi yang berulang:
“Kamu bisa, kuncinya ada di dalam dirimu!”
“Versi dirimu yang lebih baik, sudah ada di dalam kamu!”
“Kamu bisa jadi apapun yang kamu mau!”
Kalimat motivasi yang indah bukan? Namun tahu-tahu saja, pesan motivasi yang didengungkan di show ini membuat saya bertanya balik: Sudah demikian majunya kah humanity, sampai-sampai semua kuncinya sudah ada dalam diri kita? Hari demi hari, saya menyaksikan orang-orang dalam reality show ini berhasil upgrade hidupnya - cukup dengan dipandu oleh tim Fab5 selama seminggu.
Hingga satu episode membuat saya tercengang. Peserta yang beruntung hari itu adalah Mommy Tammye, seorang ibu paruh baya, aktivis gereja, yang dinominasikan oleh teman-temannya. Namun dengan sangat besar hati, ia malah mempersilakan tim Fab5 untuk melakukan makeover bukan pada rumahnya, bajunya, rambutnya...melainkan pada gerejanya saja.
Dinamika unik mulai terjadi. Salah satu anggota Fab5 ternyata kebetulan punya kepahitan pada gereja, karena pernah ditolak. Ia sudah pernah bersumpah, dirinya tidak akan menginjakkan kaki ke dalam gereja lagi - padahal ia adalah arsitek yang harus mengubah tata ruangnya. Ia pun 'ngambek' dan bersikukuh tidak masuk ke dalam gedung gereja.
Akhirnya, ia mengajak Mommy Tammye bicara empat mata, mengenai rasa tertolaknya pada gereja. Mata sang ibu terbelalak, dan dengan penuh ketulusan yang jarang saya lihat di reality show, ia berkata “But Bobby, you are a son of GOD!”
Wow, kalimat itu ternyata perlu saya dengar. Komentar itu menjadi katalis dari pertanyaan-pertanyaan mengambang di benak saya belakangan. Kita sudah punya penerbangan swasta ke luar angkasa, thanks to Space X. Kita sudah berhasil membuat teknologi komunikasi yang seamless. Kita sudah punya vaksin COVID19. Orang bisa ganti gender, kalau mau. Manusia abad ini hebat sekali. Namun entah mengapa saya digelisahkan dengan narasi-narasi hari ini, yang pesan tunggalnya berat pada peran penting manusia dalam menjadi juruselamat dirinya sendiri.
Kita adalah anak-anak Tuhan. Seberapa sering dalam sehari, kita ingat fakta ini? Masalahnya, tindakan ‘beragama’ makin lama bukan aksi yang percaya diri kita lakukan di luar circle gereja, bukan? Orang ‘beragama’, karena satu dan lain hal, terkena citra sebagai kaum dengan pemikiran sempit, tidak rasional, lemah, kuno. Orang yang apa-apa larinya pada Tuhan, dicap lemah dan nggak punya solusi yang lebih ‘masuk akal’.
Padahal... kita anak-anak Tuhan. Coba kita bayangkan relasi anak-orang tua pada umumnya. Kalau kita mengunjungi orang tua kita, bertanya minta petunjuk pada orang tua kita, jarang ada komentar: “Lemah banget, ngapain tanya ke orang tua.” atau “Kenapa ke orang tua, memangnya nggak ada solusi yang lebih masuk akal?”
Reality show Queer Eye, tanpa disengaja, mengingatkan saya akan sebuah identitas yang kadang terlupa di sela segala peran yang harus dijalankan sehari-hari: Seorang kawan, seorang anak, seorang pekerja, seorang kekasih, bahkan - seorang penatua. Saya sibuk menjalankan begitu banyak peran, hingga terlupa pada identitas ini. Saya bisa menjalankan tugas pelayanan gerejawi, tanpa mengingat kalau saya, dan teman-teman sepelayanan lainnya, sama-sama anak Tuhan.
Bagaimana saya tahu, kalau saya sudah lupa sama identitas ini? Saya merasakannya ketika berusaha keras ‘memperbaiki diri’ dengan usaha saya, berharap pada kemampuan saya pribadi untuk menghasilkan hal-hal baik, namun justru dihadapkan pada hasil yang tidak sesuai harapan. Betapa sulitnya untuk menerima diri yang sangat lemah dan bercacat cela, kalau tidak ingat bahwa mungkin memang yang sempurna itu hanyalah sang Bapak.
Dengan mengingat identitas yang meneguhkan itu, ketika saya berhasil meraih sesuatu, saya sadar kalau itu bukan karena ‘mesin’ diri saya yang berhasil digas - tetapi karena diri saya dimampukan oleh pencipta saya, Sang Mekanik Sejati. Dan ketika tiba pada kesadaran itu, saya justru merasa lebih empowered, ketimbang berusaha memaknai bahwa diri sayalah yang berhasil melakukan semuanya.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: