Ini Kisahku Berdamai dengan Ketidaksempurnaan Figur Ayah Sebelum Akhirnya Dapat Memanggil-Nya ‘Bapa’

Best Regards, Live Through This, 28 June 2019
Mungkin saya selama ini tidak membuka mata saya dengan benar. Mungkin saya salah fokus akan bahasa kasih seorang papa. Dibandingkan mensyukuri potongan donat mengenyangkan, saya justru-bersikukuh protes-tentang-lubang di tengah itu.

Dalam kadar yang cukup tinggi, saya dulu punya kebencian untuk papa saya. Itu jelas bukan sebuah statement positif yang inspirasional dan layak dibanggakan. Setidaknya tidak untuk kategori tulisan yang harusnya memberi dampak baik bagi orang lain. Anggap saja saya khilaf dan tolong tetap lanjutkan membaca.

Kenyataannya, yang saya ingat dari figur papa semasa kecil adalah: kegalakannya. Dari dibentak di muka umum sampai dihukum fisik—senjatanya beragam seperti sapu atau kemoceng.

Ibarat makan donat, saya hanya melihat lubang di tengah donat berbentuk cincin itu. Dan alih-alih bersyukur untuk bagian yang saya kunyah-dan-telan, saya marah kenapa kue itu dicipta dengan lobang di bagian tengah.

Saya salah menerjemahkan ketegasan papa. Disiplin yang dulu diterapkannya di rumah membuat pandangan saya terhadap sosok imam di keluarga menjadi kabur. Setidaknya sampai masa remaja tiba.

Hadir rasa jengkel-campur-heran ketika ada kolega gereja yang berkata, "Papa kamu itu lucu, yah." Atau, saya bakal menolak otomatis (dalam hati) terhadap komentar, "Pak Iwan (nama papa saya) itu orangnya gaul." Parahnya ada yang bahkan tega membandingkan kami hanya karena saya kaku dan less friendly than my dad—well, memang kesan pertama yang umum buat saya adalah arogan dan (sangat) pendiam.

Disrespect dan dislike tersebut begitu berdampak pada pemahaman saya terhadap pribadi Allah yang mau dipanggil Bapa. Somehow saya enggan menyebut Dia sebagai ‘Bapa’, karena terlebih dulu gagal melihat kasih seorang bapak untuk anaknya. Jaman remaja, saya protes dengan lagu "S’perti Bapa Sayang Anaknya". Selain itu, sementara mulut ini menyanyi (dengan fals) lagu "Bapa, Engkau Sungguh Baik" sambil menikmati harmoninya, hati memberontak ketika ingat sosok papa di rumah.

 

TITIK BALIK

Sampai suatu malam, dalam tidur, saya terbangun, alias ngelilir. Udara malam itu memang dingin, dan dalam keadaan setengah sadar, saya merasa ada orang yang memasang selimut ke badan saya. Saya tahu persis siapa yang membetulkan posisi selimut saya. Kejadian sederhana ini cukup drastis mengubah pemikiran saya.

Saya sadar dan mengingat kenapa ketika saya bangun setiap pagi, selimut sudah terlempar ke sana ke mari. Iya, saya memang jago kungfu dalam tidur: tendang sana, tendang sini—sampai sekarang.

Di kesempatan berikutnya, peristiwa lain makin menggugah saya secara pribadi. Suatu kali saya ikut try-out ujian di kota dan surprisingly berakhir dengan skor tertinggi. Saya sumringah untuk membagi berita itu ke papa-mama saya, dan dia dengan santai berkomentar, "Papa dan mama juga ikut dukung doa, loh."

Masih banyak kejadian lain, misalnya bagaimana papa yang telaten antar ke dokter ketika saya langganan sakit mual-muntah. Tak elak, dia dengan sabar membelikan obat dan membersihkan ember berisi (maaf, kalau ada yang sedang baca sambil makan) muntahan saya di rumah.

Saya kemudian sadar, mungkin saya selama ini tidak membuka mata saya dengan benar. Mungkin saya salah fokus akan bahasa kasih seorang papa. Dibandingkan mensyukuri potongan donat mengenyangkan, saya justru-bersikukuh protes-tentang-lubang di tengah itu.

 

MELIHAT DONAT YANG UTUH`

Ayah saya begitu mengasihi saya, anaknya. Hanya, saya terlalu menyoroti kedisiplinan dan keadilan yang ia kerjakan, hingga lupa melihat sisi lain ayah saya: kasih. Kalaupun dia sedang mendisiplinkan, saya tahu itu untuk kebaikan saya. Kalaupun dia terpaksa marah-marah, saya tahu itu karena keegoisan saya yang kerap menyelinap di usia yang belum cukup dewasa. Sekarang, kami malah jadi teman diskusi yang cukup asik, apalagi ngerumpiin dapurnya gereja--secara beliau adalah majelis.

Dua lagu yang saya sebutkan di atas, jadi terasa lebih nyata, relevan, dan personal. Saya makin mawas bahwa Bapa di Sorga juga menghajar anak-anak yang dikasihi-Nya (Ibrani 12:6).

"Bapa kami yang di Surga …."

Bersyukur kita punya Allah, Tuhan, yang mau dekat sampai dipanggil ‘Bapa(k)’. Yesus sendiri mengajar kita memanggil Allah dengan sebutan ‘Abba’ (Markus 14:36); dalam Bahasa Inggris kata itu setara dengan ‘daddy’. Itu panggilan yang sangat akrab dari anak-anak untuk seorang ayah. Itu jua yang membuat Dia dekat dengan kita. Tidak ada lagi rasa asing dan jauh meskipun Dia ada di surga, di dalam kesempurnaan-Nya. Kita dengan perbuatan baik seperti apapun, tidak akan pernah bisa bergabung dalam kesempurnaan yang Dia miliki di surga, jika tanpa wujud kasih-Nya yang lain: Yesus yang mati untuk kita.

Ada kedisiplinan dan keadilan untuk setiap dosa yang sudah kita perbuat, tapi Dia tanggungkan itu di salib Kristus. Ada kasih yang dinyatakan untuk setiap kita dari pribadi yang ingin selalu kita hidup dekat, bersatu dalam persekutuan dengan-Nya.

Ini adalah bulan Februari, bulan yang katanya menjadi puncak simbol kasih sayang (entah kamu termasuk yang ikut merayakan Valentine’s Day atau tidak). Banyak orang, termasuk muda-mudi Kristen, mungkin berniat—atau sekedar latah—merayakan hari kasih sayang. Kita mau mengekspresikan kasih kita kepada orang tercinta. Masalahnya, buat saya, bagaimana kita bisa tulus mengasihi orang lain kalau kita sendiri belum merasa sadar dan puas dengan kasih yang sejati, dan yang tidak bersyarat—unconditional—yang hanya bisa kita terima dari Allah Bapa kita. Dan bagaimana pula kita bisa mencintai dengan sehat, jika perspektif kita masih mengarah kepada gerutu dan penghakiman, dibandingkan ucapan syukur untuk kasih tak bersyarat yang sudah terlebih dahulu memenuhi hidup kita.

Nyatanya akan selalu ada alasan untuk merasa kurang dan tidak sempurna. Tapi jangan lupa, selalu ada pula bagian yang dianugerahkan kepada kita. Seperti Donat, mungkin terlalu keras, gosong, dan pahit, tapi bagian itu toh tetap mengenyangkan. Life is so much brighter when we focus on what truly matters.

Sudahkah kita terlebih dahulu mengecap kasih Bapa yang sempurna? Dan sudahkah kita mendorong orang merasakan—dan hidup—dalam Unconditional Love itu?



LATEST POST

 

Akhir Oktober biasanya identik dengan satu event, yaitu Halloween. Namun, tidak bagi saya. Bagi saya...
by Immanuel Elson | 31 Oct 2024

Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2 Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow&n...
by Kartika Setyanie | 28 Oct 2024

Kalimat pada judul yang merupakan bahasa latin tersebut berasal dari slogan sebuah klub sepak bola t...
by Jonathan Joel Krisnawan | 27 Oct 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER