Apakah guna manusia apabila di sisa umur yang dimiliki hanya untuk meratapi dan mengeluhkan seluruh pengalaman hidup yang dihadapi?
Beberapa waktu yang lalu media sosial mulai diramaikan oleh sebuah akun yang bernama Nanti Kita Sambat Tentang Hari Ini (NKSTHI). Agaknya terdengar familiar, bukan? Kalau kamu termasuk salah satu follower di akun jejaring sosial mereka, tentunya kamu paham bahwa akun tersebut memang secara sengaja dibuat “berlawanan” dengan sebuah akun yang bernama Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI). NKCTHI dibuat dengan tujuan memberi keteduhan hati, memberi kehangatan bagi jiwa, juga kata-kata penghiburan dan penguatan atau sejenisnya. NKSTHI justru sebaliknya, dibuat untuk memaparkan realitas hidup manusia yang tak jauh dari “sambat” (mengeluh) sehari-hari.
Tidak dapat dipungkiri, konten yang berisi sambatan ini justru menarik hati untuk dibaca dan dinikmati. Kenyataannya, memang tidak salah untuk menikmati hidup yang berisik ini dan meresponsnya dengan sambatan-sambatan umum. Yang saya sadari dari sebuah akun penuh sambatan ini, nyatanya kita sebagai manusia justru kerap kali membentengi diri dari perasaan sedih, kesal, kecewa, dan lain sebagainya dengan memasang topeng, yakni menampakkan hidup yang baik-baik saja, berusaha tegar, berusaha bijak menyikapi banyak persoalan dan kerumitan hidup. Melalui akun sambat ini, sisi manusiawi kita yang penuh dengan keluhan akan hidup serasa lebih dimanjakan melalui konten-konten di dalamnya.
Unsplash.com
Sambat itu memang enak. Kita bisa dengan leluasa melontarkan banyak kekesalan, keluhan, dan kegeraman atas hidup tanpa harus ditahan sedikit pun. Yah, namanya juga sambat, apa saja pasti dilontarkan. Kalau masih serba ditahan, namanya bukan sambat, tapi tobat.
Eh, tobat?
Saya jadi sedikit berusaha mengingat, kira-kira kapan terakhir kali saya bertobat dari dosa-dosa lama saya? Mungkin, karena sebegitu enaknya sambat saya sampai terlena dan lupa, kira-kira dosa apa yang sering saya ulangi dan mengusahakan untuk bertobat darinya. Benar, terlalu memanjakan diri sendiri dengan banyaknya sambatan seringkali membuat lupa bahwa esensi hidup lainnya adalah mengusahakan hidup yang lebih baik dari sebelum-sebelumnya.
Saya pernah bekerja pada sebuah perusahaan swasta selama dua tahun lamanya sebagai karyawan kontrak. Ketika kontrak berakhir, saya belum mendapat pekerjaan yang baru, lalu stres. Selang dua hari, saya mendapat panggilan kerja dari sebuah kantor swasta lainnya. Di kantor baru, saya mendapat banyak sekali tanggung jawab untuk dikerjakan, dan tentu saja yang saya lakukan: sambat. Mengeluh lagi karena pekerjaan tidak sesuai ekspektasi, merasa tanggung jawab terlalu banyak, jarak dari kos ke kantor semakin jauh dan melewati daerah rawan macet, yang memancing saya setiap pagi dan sore untuk mengeluhkan kemacetan dan pekerjaan, lalu makin stres.
Unsplash.com
Dari sisi seorang karyawan, mungkin akan dianggap wajar untuk melakukan rutinitas mengeluh demikian. Namun, saya mencoba melihat dari sudut pandang lain, yakni sudut pandang sebagai anak-anak Kerajaan Allah. Melihat bagaimana Allah yang penuh kasih tidak membiarkan saya menganggur lebih dari dua hari, melihat pula bagaimana Dia sedang menempa saya lewat tanggung jawab dan tugas baru yang lebih menantang, serta melihat pula bagaimana Dia mau memberikan pelajaran-pelajaran kecil dari kisah hidup beberapa driver ojek online yang saya tumpangi setiap harinya. Iya juga ya, kok Tuhan baik banget?
Rasanya setiap hari saya tidak pernah terbebani untuk melakukan rutinitas sambat, bahkan mungkin secara refleks akan melakukannya. Namun susah sekali bagi saya untuk menyadari bagaimana Tuhan berkarya dan bekerja untuk memelihara saya, serta menunjukkan bahwa Dia sungguh-sungguh Allah yang hadir dalam setiap musim kehidupan. Lupa pula untuk sedikit menyadari bahwa Dia adalah Allah yang konsisten melalui pemeliharaan demi pemeliharaan yang tampak sederhana namun berlangsung terus menerus.
Unsplash.com
Pagi ini, ketika tulisan ini dibuat, saya baru saja membaca sebuah kutipan dari seorang pendeta, Louie Giglio, yang berbunyi begini : “God is always seeking you. Every sunset. Every blue sky. Each ocean wave. He blankets each new day with the invitation, ‘I am here’.” Peringatan lagi bagi saya untuk belajar lebih peka akan undangan untuk memahami dan melihat kehadiran-Nya melalui alam dan sekitar saya.
Alih-alih memanjakan diri dengan sambat yang keterlaluan, kenapa tidak mencoba memberi warna lain pada diri sendiri untuk melakukan pertobatan kecil di sela-sela sambatan yang diungkapkan? Susah pastinya, namun apakah guna manusia apabila di sisa umur yang dimiliki hanya untuk meratapi dan mengeluhkan seluruh pengalaman hidup yang dihadapi?
Unsplash.com
Saya tidak sedang melarang atau kontra terhadap sambatan akan hidup. Sambat berarti kita menyadari bahwa sebagai manusia kita memiliki keterbatasan yang tidak dapat dihadapi seorang diri, dan kita mencari bantuan dengan cara melontarkannya lewat ungkapan-ungkapan berupa keluhan. Namun, jangan lupa ungkapkan setiap sambatan melalui media atau orang yang tepat. Siapa tahu dalam setiap sambat yang dilontarkan terdapat peringatan akan pertobatan kecil yang mengikutinya. ☺
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: