Menjadi pandu arah tak hanya sekedar motivasi, tetapi konsekuensi.
Sebuah pernyataan menarik diungkapkan Steven Garber dalam bukunya Visions of Vocation: Common Grace for The Common Good, dengan berkata: “Kita bukan orang besar di dalam sejarah, tetapi melalui kasih karunia kita bisa menjadi petunjuk akan pengharapan”.
Pengharapan dinilai sebagai sebuah jembatan menuju kebahagiaan dan seolah menjadi kata yang sangat menghibur bagi manusia. Kata tersebut menjadi sangat lekat dengan keberadaan manusia sebab tidak ada satu pun individu yang mampu hidup tanpa pengharapan, sebab pengharapan membuat kita teguh melawan ujian dan pencobaan. Di dalam kekristenan sendiri, pengharapan dipandang sebagai sesuatu yang penting dan berkaitan dengan iman dan kasih. Beriman berarti meletakkan pengharapan kepada Dia (Rm. 8:24-25; Ibr. 11:1).
Menyadari bahwa setiap individu membutuhkan pengharapan tak lantas membuat kita hanya memikirkan pengharapan bagi diri sendiri. Sebagai orang Kristen, kita dipanggil untuk menjadi bagian dalam sebuah kehidupan komunal yang saling memperhatikan dan penuh belas kasihan. Menjadi bagian dalam kehidupan komunal juga merupakan salah satu ekspresi iman yang dapat kita tampilkan sebagai orang percaya. Allah menciptakan manusia untuk menjadi teman dan kawan untuk satu dengan yang lainnya melalui pernikahan, keluarga, persahabatan atau ketiga- tiganya (Jack J. Blanco: The Nature of Man). Allah menginginkan kita untuk terlibat dan menjadi bagian dalam umat yang dikasihi-Nya. Untuk itu, kita harus terus berada dalam kehidupan bersama dengan orang Kristen lainnya (relasi komunal). Tidak ada yang namanya sekedar iman pribadi, sebab segala sesuatu dari keberadaan kita dan yang kita lakukan sebagai individu mempengaruhi gereja sebagai komunitas (Tish H. Warren: Liturgy of The Ordinary).
Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus memberi nasihat supaya “Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri.” (Rm. 15:1). Kata kuat dalam bahasa Yunani menggunakan kata dunatos, kata sifat yang berarti kuat imannya. Lalu kata wajib yang dalam bahasa Yunani menggunakan kata opheiló berarti sesuatu yang memiliki keharusan untuk dibayarkan (hutang). Kedua kata tersebut jelas menunjukkan bahwa ada sebuah tanggung jawab yang harus dilakukan oleh kita sebagai orang percaya dalam relasi antar sesama. Tujuannya adalah untuk membangun, mendorong, memperkuat satu sama lain, dan yang terpenting adalah supaya “kita teguh berpegang pada pengharapan …” (ayat 4a).
Katekismus Westminster menuliskan bahwa “Tujuan tertinggi hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya”. Melalui kasih karunia-Nya, Allah telah memungkinkan kita untuk menjadi petunjuk akan pengharapan, dan eksistensi orang percaya menjadi salah satu wujud nyata dari kasih Allah terhadap orang percaya lainnya, bahkan dunia. Kita tidak hanya dituntut untuk menanggung dan menjadi petunjuk bagi orang yang lemah dan kehilangan harapan, namun juga bagi mereka yang belum mengenal Pengharapan itu. Inilah salah satu cara kita memuliakan dan menikmati Dia.
Menjadi petunjuk tidak harus menjadi populer atau dengan cara spektakuler. Tetapi menjadi petunjuk berarti menjadi tanda atau isyarat atas sesuatu, yang berarti keberadaan kita sepatutnya menjadi tanda atau isyarat akan adanya kebenaran yang bersumber dari Allah dan yang tidak binasa, yaitu keselamatan yang telah tersedia (1 Pet. 1:4-5).
Akhir kata, “Orang Kristen adalah orang yang menunggu. Kita hidup dalam waktu yang terbatas, sudah dan belum. Kristus sudah datang, dan Dia akan datang kembali. Kita hidup diantaranya. Kita menunggu” (Tish H. Warren) . Pertanyaan refleksi bagi kita: Akankah kita mengisi waktu penantian kita untuk menjadi petunjuk akan pengharapan bagi sesama?
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: