Setiap cobaan yang Saudara alami adalah cobaan yang lazim dialami manusia. Tetapi Allah setia pada janji-Nya. Ia tidak akan membiarkan Saudara dicoba lebih daripada kesanggupanmu. Pada waktu Saudara ditimpa oleh cobaan, Ia akan memberi jalan kepadamu untuk menjadi kuat supaya Saudara dapat bertahan. [ 1 Korintus 10 : 13 BIMK ]
“Hari Arwah ? Apa itu ? Tidak Pernah dengar!”
“Untuk apa, mengenang dan mendoakan arwah orang yang sudah meninggal ?”
Sebagian besar IGNITE People mungkin asing mendengar peringatan Hari Arwah Orang Beriman. Dalam tradisi Kekristenan, Hari Arwah atau All Soul’s Day adalah suatu hari yang dirayakan untuk memperingati arwah semua orang beriman yang telah meninggal, biasanya untuk mengenang arwah kerabat, teman, atau saudara. Hari Arwah Orang Beriman ini diperingati setiap tanggal 2 November atau minggu pertama dalam bulan November. Hari Arwah ini diperingati baik dalam Gereja Timur (Orthodox) dan Gereja Barat (Katolik, Anglican, dan beberapa aliran Reformasi). Hari Arwah ini masih diteruskan dan dipegang kuat oleh Gereja Katolik Roma dan hanya beberapa aliran reformasi seperti Lutheran dan Episkopal (Gereja Anglican). Walau pada prakteknya, akhirnya banyak aliran dalam Gereja Barat yang tidak merayakan Hari Arwah sebagai momentum yang harus diperingati.
Ada begitu banyak pandangan dan perdebatan teologis mengenai Hari Arwah dan bagaimana kekristenan memandang kematian. Beberapa orang beranggapan, untuk apa kita mendoakan orang yang sudah meninggal, yang telah meninggal sudah berbahagia bersama Kristus di dalam FirdausNya. Justru kitalah yang harus berdoa untuk kita yang masih berziarah di dunia ini agar tetap kuat dalam menjalankan hidup sehari-hari. Beberapa lagi percaya, tidak semua orang setelah meninggal akan langsung bersatu dan bertemu dengan Tuhan. Dalam tulisan ini tentu saya tidak akan jauh membahas lebih mendalam soal perdebatan teologis dan dasar-dasar Alkitab mengenai kematian dan arwah orang beriman. Manapun yang pada akhirnya Ignite People sekalian imani dan percayakan, biarlah itu menjadi penghayatan pribadi kita masing-masing kepada Allah yang adalah pemilik kehidupan kita.
Tulisan kali ini saya beri judul All Soul’s Day : Hari Arwah, Kematian, Pencobaan, dan Khotbah Di Bukit. Mengapa? Karena saya merasa hari-hari ini kematian begitu dekat dengan kehidupan. Wabah COVID-19 sejak pertengahan bulan Maret 2020 masih belum undur juga dari Bumi yang kita pijaki saat ini. Telah gugur begitu banyak korban jiwa dalam musibah pandemi ini. Sampai detik ini saya bersyukur, bahwa kemurahan Allah masih menjaga saya dan keluarga serta teman-teman. Namun, tak sedikit juga pada akhirnya saya ikut berempati dan turut merasakan kehilangan ketika saya mendengar kabar dukacita dari teman-teman saya yang kehilangan anggota keluarganya. Salah satu dari teman saya bercerita pada saya, bagaimana rasanya kehilangan anggota keluarga di masa pandemi ini sungguhlah hal yang sangat menyakitkan. Peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga rasanya mengambarkan bagaimana sakitnya kematian di masa pandemi ini. Bagaimana tidak, keluarga inti dari kekasih yang telah meninggal tak dapat melihat untuk terakhir kalinya anggota keluarga yang telah pergi, sesuai dengan protokol kesehatan yang berlaku di masa New Normal ini.
Pembatasan sosial pun membuat ruang gerak setiap manusia juga terbatas, keluarga yang ditinggalkan tak dapat menahan diri untuk berlama-lama bersedih serta harus segera dimakamkan, serta tak dapat dikunjungi oleh banyak teman. Saya pun merasa tak dapat mendukung secara fisik hadir langsung kepada teman saya yang kehilangan. Hanya bisa mengirimkan kekuatan dari jauh dalam doa. Dengan dan atau tanpa gejala COVID-19 pun, protokol kesehatan tetap sama untuk setiap momen kematian. Bila, IGNITE People sekalian juga mengalami kehilangan sanak keluarga di tengah masa seperti ini, izinkan saya juga mengirimkan doa dan harapan, kiranya Allah sang Kasih tetap menguatkan dan berjalan bersama sekalian kita yang berdukacita dan kehilangan.
Berefleksi, menulis tentang COVID-19, dan dukacita rasanya gampang sekali untuk dilakukan. Hari-hari ini dukacita dan kematian yang sangat dekat itu meramaikan jagat raya. Seolah menjadi isu yang hangat dan tak ada seorang pun yang tahu kapan ini akan selesai. Bagi beberapa orang 2020 merupakan tahun yang sangat berat untuk dilalui. Kematian, bayang-bayang COVID-19 yang masih menghantui menekan hampir dari kita semua dalam menjalani kehidupan di tahun 2020 ini. Terbersit kemudian dalam pikiran, di manakah kebahagiaan itu? Apakah sebagai orang Kristen kita tak dapat berbahagia?
Kotbah di Bukit: Ucapan yang membahagiakan
Sejatinya sebagai manusia, kita selalu menghendaki kebahagiaan. Tak ada satupun manusia di dunia ini yang mau susah. Berbagai cara dilakukan untuk bahagia, bahkan segala cara dihalalkan untuk mencapai kebahagiaan. Kita tidak siap untuk penderitaan dan pergumulan, apalagi dalam jangka waktu yang begitu panjang. Bicara soal kebahagiaan, saya teringat bagian dalam Injil Matius 5 : 1-12 Yesus mengajarkan cara bahagia yang berbeda dari taraf kebahagiaan dunia. Seluruh isi pikiran dan hatiNya disampaikan dalam kotbahNya di atas bukit dan dicatat dalam bagian ini.
Kata berbahagialah dalam rangkaian kotbah di bukit ini bukanlah harapan atau nubuatan belaka. IA menegaskan bahwa kebahagiaan itu bukanlah kebahagiaan yang akan didapatkan, melainkan kebahagiaan yang sudah dan akan terus kita dapatkan. Bagaimana Yesus mengajarkan pada setiap kita sebagai orang yang percaya kepadaNya seharusnya menjadi orang yang berbahagia dalam kehidupan.
Kata "berbahagialah" terambil dari kata makarios [μακάριος] dalam bahasa Yunani yang artinya penuh kebahagiaan. Makna Makarios yang begitu mendalam ini seolah membuat kebahagiaan adalah sesuatu yang tidak dapat diganggu oleh apapun juga. Makarios tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang ada di dalam diri kita, tidak dapat dihilangkan dan ditiadakan dan tergantikan oleh apapun termasuk oleh kesedihan, air mata, dukacita, Kebahagiaan itu sejatinya terus ada di dalam diri kita. Yesus, dalam bagian Injil ini tidak pernah menganggap kemiskinan (ayat 3), dukacita (ayat 4), kelaparan dan haus (ayat 6), teraniaya dan dicela (ayat 10 dan 11) sebagai sesuatu yang baik secara esensial. IA tidak mendorong para muridNya dan kita sebagai pengikutNya untuk menjadi seperti demikian adanya. Melainkan, bila kita harus menanggung semua itu demi DIA dan melakukan yang baik dan benar. Penderitaan bermakna yang memiliki arti. Tidak menyesali segala penderitaan yang kita alami itu dan sebaliknya, menanggung semuanya dengan ikhlas. IA juga hendak mengajarkan pada kita agar terus bertahan dalam firmanNya walau sulit. Keinginan kita, terkadang bertolak belakang dengan kehendak Ilahi yang ditawarkan oleh Allah. Dibutuhkan kepasrahan penuh dan terus mengandalkan Tuhan lewat caraNya dengan tetap rendah hati.
Merefleksikan Hari Arwah Orang Beriman tentu tak lepas dengan yang namanya kematian. Kehilangan anggota keluarga, COVID-19, dan segala penderitaan dalam hidup adalah sesuatu yang tak dapat kita kendalikan dari diri kita. Hal tersebut berasal dari luar diri kita dan memang sangat dekat dengan kita hari-hari ini, dalam sisa hari di tahun 2020. Namun, kita bisa mengontrol apa yang ada di dalam diri kita, termasuk kebahagiaan. Kebahagiaan itu datangnya dari dalam diri kita, dan kebahagiaan merupakan pilihan kita setiap hari. Memilih untuk bahagia atau memilih untuk bersungut-sungut dan bersedih ? itu semua kita yang kendalikan. Mengutip ungkapan iman seseorang saksi Iman dalam Kitab suci, Ayub ditengah segala pencobaan, duka dan derita yang ia terima, di dalam Ayub 1 : 21 (TB) katanya: ”Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!”. Kita datang kedunia tanpa apapun, dan kita akan kembali padaNya juga tanpa membawa apapun.
Aku bernyanyi bahagia
memuji Yesus selamanya.
Aku bernyanyi bahagia
memuji Yesus selamanya
Soli Deo Gloria
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: