Keunikan diri ditanggalkan, panggilan hati ditinggalkan.
Halusinogen Pesiar Kaya Raya
Saya punya pengalaman buruk dengan MLM. Soal cara pendekatan yang berpotensi merusak relasi karena sering diawali ajakan seminar motivasi dan sejenisnya itu satu hal, tapi ada hal lain yang saya sangat tidak sukai. Mimpi saya direndahkan, masa depan saya diragukan. Entah template presentasinya memang begitu, atau orangnya saja yang menyebalkan. Namun, saat sesi presentasi hampir dapat dipastikan akan selalu terselip kalimat “Sampai kapan kamu mau kerja begitu? Gimana bisa kaya?” Jangan lupa bumbu kapal pesiar dan hal halu lainnya.
Buat saya, ini lucu sekali, saya merasa dihakimi ingin berpesiar dan kaya raya. Jalan sukses seakan hanya satu, bergabung dengan komunitasnya. Ini pengalaman pribadi ya, tanpa ada maksud mendiskreditkan profesi apa pun. Hanya saja, kalau teknik ini masih dilakukan sampai sekarang, berarti teknik ini masih berhasil, masih banyak orang yang terbuai dengan hal-hal demikian, masih ada orang yang rela ‘diserupakan’ dengan orang lain.
Photo by Alex Block on Unsplash
Dunia Ini Berisik
“Hidup ini Tuhan yang beri, kita yang jalani, orang lain yang komentari”. Kalimat yang saya baca di stiker yang menempel pada kaca belakang angkot. Saya jadi berpikir, betul juga ya hidup kita ini terlalu berisik, selalu saja ada yang mengomentari. Kecuali kita hidup sendiri dalam gua, pasti bising itu pernah kita dengar. Kadang membuat kita bertanya pada diri sendiri, “Apa cita-citaku salah?”
Dunia ini seakan punya standar tertentu tentang berhasil dan bahagia, yang secara tidak disadari membentuk kita semakin serupa. Keunikan diri ditanggalkan, panggilan hati ditinggalkan. Kita pasti punya teman yang sebetulnya kita (dan dia sendiri) tahu apa bakat dan minatnya, apa yang membuatnya begitu bergairah melakukan sesuatu. Hanya saja karena tuntutan dunia, dia memilih menunda mimpinya.
Saya punya teman yang setelah menyelesaikan pendidikan formal, banting setir mengejar cita-citanya yang sama sekali tidak nyambung dengan gelar akademiknya. Dia kembali menekuni bakat dan minatnya, istilah kerennya, menjalani panggilannya. Saya sangat bersyukur dia memilih itu. Saya tidak bilang dia sudah berhasil, tapi terakhir kami bicara, dia menjalani hari-harinya dengan penuh sukacita. Bukankah itu awal yang baik?
Photo by George Pagan III on Unsplash
Bersama Tumbuh Bukan Bersama Rubuh
Saya percaya, pada kasus ini lingkungan sekitar kita berperan. Jika kita menempatkan diri di lingkungan yang selalu meragukan kita, yang tertutup untuk ide dan harapan, yang mengecilkan mimpi dan impian, bukankah berarti kita salah pilih pergaulan? Teman yang baik akan mendukung saat kita ragu, dan berani menegur saat perlu. Lingkungan pertemanan yang baik saat saling bertemu tidak akan gibah tak perlu, tapi akan menghasilkan diskusi bermutu. Bukan berarti jadi kaku, tapi ada keseimbangan antara canda dan bincang bermakna. Ada yang pernah bilang, kalau mau lihat diri kita di masa depan, lihatlah orang-orang yang di sekitar kita sekarang. Sadar tidak sadar, lingkungan ikut membentuk diri kita.
Ada seorang teman bercerita tentang keinginannya berkarir di pemerintahan. Cukup aneh mengingat dia berada di irisan minoritas ganda, etnis dan agama. Saya sendiri tidak ada minat ke sana, saya tidak begitu cocok dengan birokrasi yang berbelit. Jika saya menggunakan sudut pandang yang sama, pasti saya akan mencegah dia dari keinginannya. Tapi mendengar niat baiknya, saya jadi menaruh harapan terhadap teman ini, untuk perubahan yang dia ingin coba bawa. Kita perlu belajar untuk sementara meletakkan busur kita, tidak menghakimi orang lain berdasarkan alat ukur kita.
Photo by Ian Schneider on Unsplash
Cetakan yang Sempurna
Memang ada hal yang kita tidak bisa pilih, keluarga misalnya. Menurut saya sering kali orang tua ‘mencetak’ anaknya dengan cetakan mereka yang sempurna, saya hanya takut itu meniadakan kebebasannya. Cerita calon mahasiswa saat menjadi duta kampus dulu membuat saya mengerti, masih ada orang tua yang mengarahkan tanpa memberikan pilihan. Buat saya ini sama saja seperti pemaksaan. Memang tidak salah jika nanti dia manut sebagai bakti dan hormatnya, tapi saya pribadi merasa kasihan, empat tahun kuliah yang seharusnya menyenangkan mungkin akan dia jalani dengan penuh beban.
Saya tidak berani berpendapat banyak tentang hal ini, saya sadar betul asam-garam dunia ini hanya secuil yang sudah saya cicip, dibandingkan mereka para orang tua. Namun, dalam keterbatasan saya, izinkan saya mengkritik konsep pembentukan karakter yang diktator seperti itu. Saya hanya berharap tidak ada lagi anak yang dipaksa ini dan itu yang dia tidak suka. Saya sangat percaya kasih sayang orang tua dan keinginan untuk keberhasilan masa depan anaknya, tapi saya juga percaya caranya tidak perlu seperti itu.
Berbeda Karya tapi Sama Mulia
Pada suatu hari di jam makan siang kantor, obrolan saya dengan seorang rekan kerja yang awalnya membahas sayur sop sampai ke pembahasan profesi petani. Dia seorang warga negara Belanda, lama tinggal di Indonesia sebagai konsultan. Dia bercerita kalau di negara asalnya mayoritas petani berlatar belakang pendidikan S2. Profesi itu dianggap terpandang, bukan profesi yang ketinggalan zaman. Pemahaman yang saya dapat dari ceritanya, petani di sana lebih mirip ilmuwan dengan ladang sebagai labnya, melakukan analisa ini dan itu. Sekeren itu jadi petani di sana.
Saya jadi teringat peristiwa saat presiden kita bercanda di mimbar salah satu perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Lulusan ilmu pertanian lebih banyak yang bekerja di bank katanya. Pembahasan mengapa hal ini bisa terjadi bisa sepanjang satu artikel lagi. Singkatnya saya bingung mengapa kita orang Indonesia yang bisa menumbuhkan segala rupa dengan feeling dan doa bisa tidak minat menjadi petani. Mungkinkah ada faktor cara pandang masyarakat terhadap suatu profesi? Tetapi kembali lagi, point saya bukan petaninya. Tidak semua orang harus jadi petani, tapi kalau kamu jadi mau tidak apa-apa sih, saya dukung sepenuhnya.
Kesadaran akan keunikan dan kebebasan untuk menentukan ini yang nantinya membuat lingkungan yang positif. Orang tidak menilai orang lain dengan standarnya. Seharusnya tidak ada kompetisi tidak sehat dalam studi dan karier karena setiap orang melakukan sesuatu bukan untuk menjadi yang ‘paling’, tapi karena dia sudah berada pada ‘paling’nya. Dengan kata lain, mereka berjalan menuju tujuan yang ingin dicapainya, sambil menikmati proses susah dan senangnya. Seharusnya tidak ada lagi yang merendahkan orang lain, karena kesadaran akan peran setiap orang yang berbeda. Akuntan sama mulia dengan seniman, pendidik sama bergengsi dengan pengacara, memutuskan tidak menikah sama bahagianya dengan menikah. Semua punya peran, dan semua memenuhi panggilannya dengan caranya masing-masing.
Waktu masih SD, setiap pelajaran menulis halus (pelajaran menulis ulang kalimat pada garis-garis kecil sebanyak puluhan kali) pasti nilai saya jelek. Selalu begitu sampai saya lupa di kelas berapa pelajaran itu akhirnya tidak ada lagi. Hasilnya, sekarang tulisan saya sangat ‘halus’ sampai hanya saya dan Tuhan yang bisa membacanya. Acak-acakan sekali, yang pernah melihat tulisan tangan saya pasti mengerti.
Anehnya, saya tidak pernah merasa terganggu dengan ini. Bukankah esensi menulis adalah menuangkan ide melalui rangkaian kata dalam suatu media? Ya tapi sudahlah, masa itu sudah berlalu, sekarang saya bisa menulis dengan gaya apa saja. Saya selalu terbuka untuk kritik dan saran terhadap isi dan cara penyampaian tulisan, tapi untuk kerapian tulisan saya berpendapat kalau itu adalah salah satu identitas diri. Tidak perlu diserupakan, justru ini yang membuat menulis tangan bisa dinikmati.
Photo by Heather Gill on Unsplash
A Content Life
‘Sengsara’ mungkin pemilihan kata yang berlebihan, hanya saja terasa cocok seirama dan mengundang pembaca, istilah kerennya: clickbait. Mungkin kata yang lebih tepat dalam Bahasa Inggris adalah ‘discontent’.
Untuk mengerti hal ini, pertama kita perlu memahami ‘contentment’. Pribadi yang content, dideskripsikan oleh Kamus Merriam-Webster sebagai “Feeling or showing satisfaction with one’s possessions, status, or situation.” Hal ini bukan berarti pencapaian/keberhasilan, tapi menjelaskan suatu keadaan berada di jalur yang tepat.
Ketiadaan perasaan ini, menimbulkan kegelisahan untuk kembali ke jalur yang seharusnya, dalam Bahasa Inggris ‘discontent’. Perasaan ini diumpamakan sebagai jarum kompas yang tidak menuju utara, hanya saja dalam hal ini setiap orang adalah kompas yang unik dan memiliki ‘utara’nya masing-masing. Berita baiknya, perasaan ‘discontent’ ini bisa menjadi hal yang baik, menyadarkan bahwa kompas kita masih berfungsi. Hal ini yang akan menimbulkan dorongan dan semangat untuk berubah. Saya pun masih belajar tentang hal ini, kalau kamu penasaran, coba google saja ‘content life’ , ada banyak tulisan menarik untuk dibaca.
Akhirnya, tulisan ini ingin mengajak kita untuk lebih percaya diri, menutup telinga terhadap bisingnya dunia, dan mencari lingkungan yang positif. Don’t let the world describes your success, and never, ever, let others take your happiness away. Namun ingat, dengan catatan kalau kebahagiaan kita tidak merugikan orang lain, bukan juga menjadi alasan untuk bermalas-malasan. Kalau definisi bahagia kita adalah seharian penuh rebahan, maka ada yang salah dengan diri kita. Selama niat kita baik, dan kita betul mau berusaha untuk mencapai itu, pasti Yang Mahakuasa mendukung.
Mark Manson menulis dalam buku hype-nya, orang yang bahagia adalah orang yang semisalnya besok dia mati, dia siap. Tidak ada penyesalan dalam dirinya karena ia benar-benar menjalani hidupnya. Menurut saya, hal ini hanya bisa dicapai jika seseorang menghargai keunikan dirinya, dan berkarya dalam perannya. Living a content life.
Umur memang tidak ada yang tahu. Tapi mari berandai-andai, kalau besok ternyata giliran kita, apa penyesalan itu ada? Semoga tidak, karena diujung perjalanan itu arah kita tepat. Mari kita rehat sejenak, buka kompas kita dan lihat ke mana jarum itu mengarah. Sudahkah dia menunjuk utara?
Photo by Heather Gill on Unsplash
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: