Seolah percuma R.A. Kartini dulu jungkir balik memperjuangkan kesetaraan gender. Gia pun enggan menuruti kata-kata ibunya hingga akhirnya ia memilih bekerja di luar kota
Kalau saja namanya bisa ditukar dan menjadi keadaan ibunya, Gia akan senang hati menukarnya walau mungkin namanya akan berubah menjadi sendu atau mungkin muram, bukan lagi Bahagia seperti saat ini.
Ibu Gia memberinya nama Bahagia karena Gia lahir tepat di Tahun Baru, hari di mana semua orang di dunia merayakan kebahagiaan untuk menyongsong tahun yang penuh dengan harapan. Ibunya juga ingin Gia bisa menjadi sumber kebahagiaan, baik bagi dia ataupun bagi orang di sekitarnya. Satu harapan yang berhasil diwujudkan Gia,tapi bukan untuk ibunya.
Ibu Gia adalah orang yang konservatif. Kolot kalau bahasa kasarnya. Dalam pandangannya, seorang anak perempuan haruslah penurut, lemah lembut dan harus akrab dengan dapur dan teman-temannya. Ibunya tidak suka ketika berbagai ekstra kurikuler dan kerja kelompok mengharuskan Gia pulang malam, dan hal itu terus berlanjut hingga Gia bekerja, membuat Gia tidak pernah akur dengan ibunya. Bagi Gia, ibunya lebih mirip Dolores Umbridge dalam film Harry Potter and the Order of Phoenix dibandingkan dengan seorang ibu. Terlalu banyak aturan yang sering keluar dari mulutnya, dari yang masuk akal hingga yang tidak masuk akal.
"Anak perempuan, gak usah sekolah tinggi-tinggi.. "
“Anak perempuan kalau duduk jangan angkat kaki.. “
“Anak perempuan harus bisa masak.. “
“Anak perempuan harus belajar urus suami.. “
Seolah percuma R.A. Kartini dulu jungkir-balik memperjuangkan kesetaraan gender. Gia pun enggan menuruti kata-kata ibunya hingga akhirnya ia memilih bekerja di luar kota. Setidaknya ibunya tidak perlu lagi menunggunya dan menegurnya ketika ia pulang malam, ibunya tidak perlu berkomentar ketika ia hendak melanjutkan pendidikannya, dan ibunya tidak perlu lagi repot-repot mengajarinya memasak, toh ibunya tidak bisa melihatnya sekarang.
Di luar kota, Gia bekerja keras hingga ia bisa kembali meneruskan pendidikannya, pulang malam hingga pagi sudah menjadi kesehariannya. Ia tahu ada mimpi yang harus dikejarnya yang tidak akan datang menghampirinya jika ia tidak mengusahakannya. Sesekali ia pulang menengok kedua orang tuanya, memastikan kepada mereka bahwa ia baik-baik saja sendirian di luar kota.
Beberapa tahun di luar kota, Gia mendapat kabar kalau ayahnya menghilang. Bukan-bukan karena dianggap melakukan pemberontakan atau makar. Kabar yang ia dengar, ayahnya main gila dengan janda kembang di kampung seberang dan pergi meninggalkan ibu Gia sendirian.
Awalnya Gia enggan kembali pulang dan memilih tetap bertahan di kota, merajut karir dan mimpi yang mulai dibangunnya. Seminggu sekali ia pulang, menengok ibunya yang kini menjadi lebih diam. Awalnya semua bisa berjalan sesuai harapan, sampai satu hari ia mendapat kabar kalau rumah yang ditempati ibunya kebakaran, yang untungnya tidak besar.
Tetangganya bilang, ibunya sendirilah yang menyulut api di rumahnya, membuat Gia tersadar kalau ibunya kesepian, mulai cari perhatian, dan butuh teman. Ibunya ingin ia pulang. Satu kejadian yang membuat Gia bergumul hebat antara mimpinya dan ibunya.
"Tinggal di sini lagi Gia.. "
"Sudah gak usah ke kota lagi, di sini aja sama ibu.. "
"Ibu kesepian.. "
Kalimat pamungkas yang membuat Gia akhirnya mengalah, merelakan mimpinya dan memilih ke rumah, berdagang dan menemani ibunya. Batin Gia marah, tak jarang ia mengutuk Tuhan karena ibunya, walau batinnya yang lain juga berharap Tuhan akan menunjukkan waktu-Nya untuk Gia.
Waktu pun berjalan dan mengajarkan Gia untuk menjadi dewasa, untuk bisa menekan semua ego yang dimilikinya, untuk menjadi anak yang berbakti kepada ibunya, undang-undang tua yang kini lebih banyak diam, murung dan mulai renta. Gia tahu, bahwa bahagia bukan hanya tentang dirinnya, ada bahagia lain yang harus dijaganya, setidaknya sampai ia menemukan bahagia miliknya..
Jakarta 11-07-2020
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: