Gereja bukanlah gedungnya, dan bukan pula menaranya; Bukalah pintunya, lihat di dalamnya, Gereja adalah orangnya. (Kidung Jemaat No. 257)
Menjadi Hamba Tuhan dalam gereja-Nya adalah anugerah besar yang jarang sekali ditemui. Tak banyak orang yang "terpanggil" menjadi hamba-Nya bagi pelayanan dan gembala bagi umat-Nya. Keputusan seseorang untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah untuk melayani-Nya dalam jemaat dan gereja-Nya bukanlah sebuah perkara mudah yang dapat diputuskan sekejap saja. Saya percaya, apapun panggilan pekerjaan yang Tuhan kehendaki untuk kita jalankan, berbeda serta memiliki kesulitannya masing-masing. Tapi, bayangkan bagaimana ketika Tuhan memanggil Ignite People sebagai pendeta bagi jemaat-Nya Apa yang Ignite People lakukan ketika terpanggil dalam melayani gereja-Nya sebagai pendeta? (Dalam tulisan ini saya memposisikan diri sebagai anggota GKI dengan dan tanpa menyinggung siapapun di dalamnya).
"Boro-boro jadi pendeta! Orang baru mau melayani aja gue males ketemu sama si A."
"Ah males lah pelayanan! Dikit dikit harus rapat, nulis laporan, bikin anggaran, belom lagi kalo Pak/Buk penatua nanya yang macem-macem. Bakalan ngga keluar anggaran kita. Ribet deh ahh!"
Dan masih banyak lagi mungkin respons kita saat terpanggil untuk melayani. Saya pun percaya masih ada juga orang yang benar-benar menjawab panggilan Tuhan untuk melayani-Nya dengan senang hati. Tapi, dalam pelaksanaannya terkadang melayani tidak seindah teori yang didapat. Begitu pula dalam melayani di dalam gereja besar seperti GKI (lagi lagi tulisan ini murni opini dan pendapat personal saya yang mungkin saja terlalu subjektif) seperti dalam tulisan saya sebelumnya, saya berpendapat tidak ada gereja yang sempurna. Termasuk di dalamnya GKI.
Menjadi hamba Tuhan (pendeta) dalam hal ini di GKI merupakan hal sedikit rumit, berat, dan penuh misteri. Para Kader (Sebutan bagi mereka yang terpanggil untuk menjadi pendeta di GKI) harus menempuh langkah yang tidak mudah untuk menjadi pendeta. Ada begitu banyak proses (Proses Pengenalan di jemaat, Masa Persiapan, Masa Orientasi, dan lain sebagainya). Ketika seseorang kader masuk dan ditempatkan di sebuah jemaat pun, belum tentu mulus jalannya menjadi seorang pendeta. Jemaat, dengan segala kebutuhannya, juga dengan segala penilaiannya terhadap Si Kader dan Si Kader sendiri terhadap jemaat tampat ia ditempatkan perlu membangun sebuah hubungan yang cocok. Benar-benar sebuah proses yang amat panjang dan sungguh selektif. Jemaat akan betul-betul menyaring hingga menemukan seseorang yang tepat ditempatkan di tempat mereka. Sungguh sebuah perjalanan yang tidaklah mudah bagi seorang Kader GKI. Tak jarang akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan dan tidak melanjutkan perjalanannya menanggapi panggilannya sebagai pendeta untuk melayani di GKI. Termasuk salah satu di dalamnya, seseorang yang akhirnya saya temui suatu sore di sebuah coffee shop di bilangan Kebayoran, Jakarta.
Namanya Pdt. Nicko Agusta, atau yang akrab dipanggil Kak Nicko. Ia merupakan "mantan" kader GKI yang sekarang menjadi pendeta di bawah sinode Gereja Presbyterian Indonesia (GPI) dengan basis pelayanan di Jemaat Oikumene Rawa Badung, Jakarta Timur. Sekarang, dia sedang aktif menjadi Konselor dan Pengajar Pendidikan Agama di salah satu Kampus Swasta Asing di Jakarta Selatan. Sebelum menjadi Pendeta Gereja Presbyterian, Kak Niko adalah Kader GKI tahun 2016 serta anggota Jemaat GKI Pamulang, Tangerang Selatan.
Tidaklah mudah untuk memilih banyak kemungkinan di dalam hidup. Itulah perjalanan seorang Kak Nicko dalam menggumuli panggilan Tuhan. Memilih untuk tidak melanjutkan proses kependetaan di GKI di satu sisi adalah keputusan yang bijaksana namun di sisi lain merupakan sebuah keputusan yang berat. Hendak melanjutkan studi lanjutan di luar negeri adalah momen berharga yang tak dapat terulang dua kali. Ya. Itulah alasan mengapa ia tidak melanjutkan proses kependetaannya. Ketika memutuskan tersebut, banyak orang kecewa dengan keputusannya. Jemaat dan Majelis Jemaat tempatnya bergereja bahkan orangtuanya pun sempat kecewa tatkala Kak Nicko tidak dapat menjadi seorang Pendeta GKI.
"Melayani bisa di mana saja kok!" Sebuah pemikiran yang akhirnya menghantarkan Kak Nicko untuk tidak melanjutkan proses kaderisasinya lalu mengejar pendidikannya. Sore itu dialog saya dengan Kak Nicko banyak membahas bagaimana dari sudut pandang kami berdua berdasarkan pengalaman masing-masing. Kami menyimpulkan bahwa banyak orang pada akhirnya kecewa ketika telah melayani di gereja, dan biasanya berujung dengan rasa sakit hati dan kemudian pergi meninggalkan pelayanan atau bahkan pergi meninggalkan gereja dan mencari "yang cocok." Dalam melayani, terkadang kita menemukan berbagai jenis orang dengan segala karakternya masing-masing. Bergesekan dalam melayani bagi saya wajar, tetapi di situlah kedewasaan kita pelan-pelan diasah oleh pengalaman berbenturan tersebut. Pilihannya kemudian hanya ada dua, terus bertahan untuk terus berproses dalam dinamika pelayanan atau memilih pergi meninggalkannya?
Dalam tulisan "Selamat Ulang Tahun, Mari Membangun Rumah!" saya menyampaikan opini yang merupakan bahan pemikiran bersama Kak Nicko juga, bahwa sejatinya tidak ada gereja yang sempurna, sebagus apapun bangunan gereja, esensi gereja adalah orang-orang di dalamnya. Namun gereja adalah milik Kristus. Walaupun akhirnya tidak menjadi pendeta di GKI, Kak Nicko berpendapat bahwa bagaimanapun lewat GKI-lah Kristus diperkenalkan padanya. Bercermin dari pengalaman kaderisasi Kak Nicko, saya menyadari bahwa melayani bisa dimana saja. Kita akan tetap akan berhadapan dengan orang-orang dengan segala keunikan dan kemauannya masing-masing. Ketika kita mencari gereja yang sempurna, sebenarnya kita sedang memenuhi kepuasan kita sendiri terhadap pelayanan. Sejauh apapun kita mencari kesempurnaan di dalam gereja, kita tidak pernah menemukannya. Ini dapat menjadi sebuah perenungan juga, apakah selama ini kita melayani hanya berdasarkan perasaan enak atau tidaknya kita di gereja?
Kembali ke cerita di sore itu. Menutup pertemuan saya kali itu, Kak Nicko berpesan bagi setiap kita yang memiliki "kepahitan" dalam melayani terkhusus melayani di GKI. "Seburuk apapun pelayanan di dalam GKI, jangan menyimpan kepahitan begitu lama, karena itu akan merugikan diri kita sendiri." Sebuah pesan yang akhirnya dapat direnungkan bersama-sama.
Terpanggil menjadi hamba Tuhan atau pendeta bukanlah hal yang mudah. Tak banyak juga akhirnya yang menyerah dalam perjalanannya. Namun Kak Nicko telah memberikan saya pelajaran bahwa menjadi pendeta dan melayani adalah tanggung jawab yang tidak mudah di tengah-tengah ketidaksempurnaan gereja dan kawanan domba Allah dengan segala kemauannya, keinginannya, dan harapannya masing masing.
Soli Deo Gloria!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: