Tidak perlu mengangkat senjata dan menghabiskan energimu untuk menyalahkan para pelaku tambang, petani sawit atau pun pembangunan-pembangunan infrastruktur lainnya, kalau pada akhirnya, rasa hormat kita tidak ada bagi para petani; kalau pada akhirnya kita malu menjadi seorang petani; kalau pada akhirnya kitalah yang menjadi parasit bagi para petani, karena menekan harga hasil panennya.
Menurut saya, setiap orang harus mampu untuk menaruh rasa hormat kepada seorang petani, bukan sekedar memberikan simpati. Sebab, petani tidak layak untuk mengemis simpati kepada masyarakat, apalagi kita yang setiap harinya mengkonsumsi hasil-hasil dari tanah pertanian.
Namun, rasa hormat kepada petani itu kini sudah hilang. Maka, tidak heran, jika beberapa kaum muda justru merasa malu menjadi seorang petani. Bahkan fenomena Sarjana Pertanian yang menjadi seorang karyawan bank itu sudah menjadi sangat sering kita lihat saat ini. Hal ini juga didukung oleh data dari Badan Pusat Statistik (BPS), yang menunjukkan penuruna jumlah pekerja di sektor pertanian dari 33% menjadi 29% dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Saya memikirkan beberapa faktor kemungkinan yang membuat keluarga petani memiliki fenomena seperti data di atas. Ternyata, penurunan jumlah petani tidak melulu karena rasa malu, yang berakibat pada impian seorang orang tua maka tidak menginginkan anaknya menjadi seorang petani. Saya melihat pula, terdapat kemungkinan yang menyangkut pula soal kehidupan.
Bayangkan saja, WHO menyatakan bahwa, setiap tahun terjadi 1 hingga 5 juta kasus keracunan pestisida pada pekerja pertanian, dengan tingkat kematian mencapai 220.000 korban jiwa dan sekitar 80% di antaranya keracunan pestisida di negara-negara berkembang. Beberapa kasus keracunan pestisida yang terjadi di Indonesia, antara lain di Kulon Progo. Media menemukan terdapat 210 kasus keracunan dengan pemeriksaan fisik dan klinis, 50 orang di antaranya diperiksa di laboratorium. Hasilnya pun cukup mencengangkan. Dalama pemeriksaan itu, setidaknya terdapat 30% kasus konfirmasi positif keracunan. Di Kabupaten Sleman dilaporkan dari 30 orang petugas pemberantas hama, 14 orang (46,66%) di antaranya mengalami gejala keracunan. Di Provinsi Bali. Berdasarkan data pemeriksaan aktivitas cholinesterase yang dilakukan UPT Balai Hiperkes dan KK Provinsi Bali pada tahun 2013, prevalensi petani di Bali yang mengalami keracunan pestisida sebesar 41%.
Bagaimana dengan daerah lainnya? Saya yakin ada. Walaupun saya belum menemukan data yang sepenuhnya valid.
Mungkin beberapa dari kita sudah berjuang dan berusaha untuk menimalisir ini dengan mengedukasi soal bahaya penggunaan pestisida kepada kaum rentan. Namun, bagaimana setelahnya? Apakah edukasi ini berarti? Menurut saya, larangan bukanlah solusi. Petani menggunakan pestisida yang akhirnya meracumi sebagian di antara mereka dan merusak lingkungan, juga dikarenakan tuntutan ekonomi yang semakin tinggi. Sementara hasil panen mereka dihargai murah oleh para tengkulak. Sedangkan, para tengkulak menjualnya dengan harga yang sangat tinggi.
Bahkan, berdasarkan data yang disampaikan oleh Mantan Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi yang dilansir oleh cnbcindonesia.com, didapati bahwa sebagian besar kemiskinan tersebar di pedesaan, di mana pendapatan penduduk (sangat) bergantung dari sektor pertanian. Dia menjelaskan kontribusi pertanian terhadap GDP sekitar 12-13%, namun kontribusi terhadap kesempatan kerja masih sekitar 30%.
"Maka yang 'krisis' sebenarnya adalah kesejahteraan petani karena pendapatan yang hanya 13% itu dibagi di antara yang 30%,", ungkap Bayu Krisnamurthi.
Menurut Bayu, masalah kesejahteraan inilah yang pada akhirnya membuat generasi muda tidak tertarik terhadap pertanian. Karena itu, regenerasi petani menjadi sangat lambat, atau hampir tidak ada. "Hal ini juga yang menyebabkan sekitar setengah petani beralasan menjadi petani karena terpaksa, oleh sebab tidak ada pekerjaan yang lain," kata Bayu.
Atau dengan kata lain, logika seorang petani yang bekerja di sektor pangan tidak perlu takut lapar. Saat ini terlihat, justru mereka-lah yang selalu dihantui oleh kelaparan. Lalu dengan melihat data-data di atas, apakah dengan demikian, kita layak untuk mempersalahkan pemerintah dan kebijakannya? Tidak Juga!
Sejatinya saya tidak sepenuhnya menyalahkan pemerintah dan kebijakannya. Bahkan tujuan saya menuliskan artikel ini bukanlah untuk menyalahkan mereka, apalagi menaruh simpati kepada petani. Kembali lagi, petani tidak layak untuk mengemis simpati dari kita. Justru kitalah yang seharusnya menaruh hormat kepada para petani dan merasa bangga untuk menjadi seorang petani. Sebab, bila tidak demikian, kita mengetahui bahwa, pertambahan penduduk yang setiap tahunnya sangatlah besar diikuti juga dengan kebutuhan pangan yang berbanding lurus.
Bila sektor pangan tidak menyanggupinya, maka pilihan impor pangan dan pemalsuan akan semakin sangat mungkin terjadi agar kebutuhan pangan kita terpenuhi. Lalu, akankah kita mau beradaptasi juga dengan situasi seperti ini? Apakah tubuh juga harus beradaptasi dengan pemalsuan pada semua hal yang kita konsumsi saat ini? Atau kita menunggu sampai lingkungan benar-benar rusak dan meneriakkan keberadaan Tuhan? Tahukah kita, bahwa dari banyak pekerjaan yang ada, petani menjadi ilustrasi yang paling sering diungkapkan dan dituliskan dalam Alkitab? Sebab, dalam seluruh pekerjaannyalah kita belajar tentang hubungan antara Tuhan, manusia dan ciptaan-Nya.
Lihatlah saja, seorang petani menaruh harapan dalam setiap benih yang dia tanam atau tabur, menyerahkan semuanya dari awal, dalam proses dan sampai penuaian, kepada Tuhan. Setelah penuaian, seorang petani tidak hanya berfikir soal dirinya tapi juga tentang kita yang membutuhkan. Lalu, alasan apalagi untuk kita tidak menaruh hormat pada petani?
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: