The defects of the children, mirror the defect of the parents – Herbert Spencer
Silakan baca seri SPY sebelumnya di sini.
Apa makna yang bisa kita dapatkan dari kalimat yang diutarakan oleh seorang filsuf, sosiolog, serta ahli biologi asal Inggris tersebut? Sebetulnya, apa yang ditampilkan oleh anak-anak kepada dunia luar melalui kepribadiannya, tingkah laku, serta kebiasaannya sehari-hari mendeskripsikan seperti apa pola asuh yang ia dapatkan serta apa yang dikonsumsinya setiap hari. Dalam prinsip Parenting-nya yang keenam, Yael Trusch membahas bagaimana orang tua menjadi seorang mentor yang baik juga menjadi teladan bagi anak-anaknya.
Be a Mentor
Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi setiap anak, untuk itu apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari di rumah akan sangat berpengaruh terhadap bentuk kepribadian sang anak. Jika benar demikian, seharusnya bisa dikatakan bahwa orang tua akan selalu menjadi mentor bagi anak-anaknya setiap waktu, kan? Lalu, bagaimana menjadi seorang mentor yang baik itu? Apakah kita harus terus mengarahkan anak-anak atau melepasnya begitu saja? Bagaimana dengan kepribadian kita sendiri, apakah berpengaruh ketika kita menjadi seorang mentor? Dalam buku Helping People Change, Richard Boyatzis dkk. menekankan bahwa hal pertama dalam menjadi seorang mentor yang baik ialah dapat menyentuh hati sang murid, barulah kita bisa mulai membimbingnya. Agar dapat menyentuh hati anak, tentunya perlu diberikan rasa aman dan nyaman setiap berinteraksi dengan mereka, kita harus lebih dulu memenuhi kebutuhan ASIH anak, seperti yang sudah dibahas dalam #SPY5. Selanjutnya, menjadi mentor yang baik, menurut Richard ialah memberikan serta menjadi contoh bagi murid-muridnya.
Saya memiliki pengalaman bertemu dengan dua coach basket yang baik sewaktu duduk di bangku SMP dan SMA. Sebelum latihan dimulai, kedua coach saya akan selalu menyampaikan apa yang akan kita lakukan di hari itu dan selalu mengingatkan bahwa permainan basket ialah permaianan habit, jadi tidak bisa hanya berlatih sekali dua kali, melainkan harus terus berlatih. Setiap ingin mengajarkan sebuah skill dalam bermain basket yang baru, maka ia akan memberikan contoh setahap demi setahap agar kami bisa mengerti dan melakukannya. Setelah itu, ia akan memberikan kesempatan bagi kami untuk mencoba melakukannya dan ia akan selalu membantu kami ketika kesulitan dan mengadakan evaluasi. Saya melihat mereka sebagai figur seorang mentor yang baik, karena ia selalu menyampaikan tujuan dari sesi latihan kami dengan jelas dan mendorong kami untuk mau terus belajar dan mengevaluasi diri.
Bagaimana dengan orang tua? Sebagai orang tua, sudah pasti kita menjadi teladan bagi anak-anak (baik dari hal yang baik, maupun (sayangnya) hal yang buruk), bahkan anak-anak pada rentang usia 0-3 tahun akan menaruh otoritas mutlak pada orang tua, mengenai apa yang boleh dilakukan dan tidak dilakukan. Artinya, sudah pasti anak-anak akan meniru apapun yang dilakukan orang tuanya. Sebagai mentor yang baik, orang tua akan mencontohkan terlebih dahulu hal-hal yang ingin anak-anak juga lakukan di hari kelak. Misalnya, ketika orang tua menginginkan anak yang bertanggung jawab atas kebersihan dan kerapihan kamarnya, orang tua pun harus melakukan yang sama; kalau kamar orang tua justru terlihat berantakan maka ini akan menimbulkan kebingungan pada anak karena kesannya orang tua memiliki standar ganda.
Photo by Tanner Mardis on Unsplash
Dalam sebuah buku psikologi perkembangan, Dr. Sally Adiwardhana menuliskan tiga hal penting dalam menjadi teladan bagi perkembangan moral anak, yakni konsistensi dalam mendidik anak-anak, sikap orang tua kepada anggota keluarga lainnya, dan sikap konsekuen dalam mendisiplinkan anak. Artinya, didikan itu tidak berlangsung sekali dua kali. Sama seperti berlatih bermain basket, didikan bagi anak-anak perlu diulang-ulang secara konsisten agar menjadi sebuah kebiasaan—lalu menjadi bagian dari kepribadian mereka.
“Haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun” - Ulangan 6:7
Tuhan juga memerintahkan setiap orang tua untuk terus mendidik anak-anak mereka, bukan sekali dua kali, tetapi bahkan dalam setiap kegiatan yang sedang dilakukannya. Didikan orang tua seharusnya menyerap dalam setiap hal yang dilakukan sehari-hari di lingkungan keluarga. Selain itu, hal penting lainnya dalam menjadi mentor yang baik ialah memberikan anak kesempatan untuk mencoba dan menghargai setiap usahanya. Misalnya, ketika mengajarkan anak bagaimana cara mencuci piring, kemudian ia tidak sengaja memecahkan salah satu gelas saja, maka jangan memarahi apalagi membentaknya, itu akan menurunkan semangatnya untuk belajar mencuci piring, karena takut dimarahi. Nah, setelah membersihkan pecahan gelas itu, ajaklah ia berbicara dan katakanlah bahwa usahanya tadi sudah baik, tetapi lain kali perlu lebih hati-hati. Orang tua perlu mengadakan evaluasi atas setiap hal baru yang dicobanya.
Wahai (calon) orang tua, yakinlah bahwa apa yang selalu dilakukan anak-anak di rumah akan membentuk kepribadian mereka seiring berjalannya waktu. Ingatlah bahwa rumah akan menjadi pondasi yang kuat bagi mereka untuk menghadapi segala hal pada banyak lingkungan baru yang akan ditemuinya kelak, yang mungkin akan sedikit banyak mempengaruhi kepribadiannya. Pondasi itu justru akan menjadi rapuh ketika orang tua tidak memiliki kesadaran yang diinternalisasikan dalam pikiran, perkataan, maupun perilakunya terhadap anak-anak.
Selamat menjadi mentor yang baik!
*Prinsip terakhir Jewish Parenting dari Yael Trusch lainnya akan dibahas pada artikel #SPY selanjutnya. See you!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: