Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. Roma 8:37
Hari Minggu, 15 Maret 2020 & 22 Maret 2020 merupakan dua tanggal yang tidak dapat dilupakan bagi kita sebagai umat Kristen di Indonesia. Tanggal 15 Maret menjadi tanggal di mana seluruh gereja di Indonesia mengadakan ibadah di gedung gereja dengan jumlah kehadiran normal untuk terakhir kalinya. Saya ingat betul momen tersebut. Saat itu, saya sedang ‘main’ ke gereja tetangga karena beberapa adik kelas saya di SMA sedang sidi. Sepulang dari gereja, sekolah memberi pengumuman bahwa kegiatan belajar-mengajar di gedung sekolah diliburkan selama 2 minggu karena pandemi Covid-19. Gereja juga ikut meniadakan ibadah di gedung gereja dan diganti dengan ibadah online. Tanggal 22 Maret 2020 menjadi hari Minggu pertama dimulainya ibadah online ini.
Tidak hanya model ibadah yang berganti kala itu. Rangkaian acara perayaan Paskah pun juga di ambang pembatalan karena pandemi. Padahal gereja tinggal 2 minggu lagi merayakan Minggu Palmarum dan 3 minggu lagi akan merayakan Paskah. Walaupun sudah berharap pandemi tidak merebak luas, akhirnya acara Paskah pun batal juga. Paskah yang selalu dirayakan secara meriah akhirnya dirayakan dengan sangat sederhana seperti ibadah biasa tanpa jemaat di gedung gereja.
Rasa sedih dan sepi menyelimuti gereja. Mulai dari pendeta, penatua, aktivis, hingga jemaat. Pelayanan yang biasa dilakukan pasa saat normal tidak dapat lagi dilakukan secara langsung. Ini dialami oleh kakak rohani saya. Kakak rohani saya hanya merasakan ibadah normal sekali. Sampai masa pelayanannya berakhir, dia tidak pernah merasakan pelayanan tatap muka dan hanya melaksanakan pelayanan secara online sampai masa pelayanannya berakhir. Padahal di gereja saya, masa pelayanan seorang tenaga pelayanan gerejawi hanya setahun.
Setahun sudah kita beribadah secara online. Bahkan kita sudah hendak merayakan Paskah kembali. Bagi sebagian jemaat, Paskah tahun ini sama saja dengan Paskah tahun lalu. Sebagian jemaat lain juga akan berkata yang sama dengan tambahan, “tetapi kondisinya berbeda sedikit.”
Muncul pertanyaan dalam benak saya, apakah benar Paskah tahun ini sungguh berbeda atau sama saja dengan Paskah tahun kemarin? Lalu apakah ini mengubah keseluruhan Paskah? Terlepas dari persepsi-persepsi tersebut di atas, saya memandang bahwa Paskah dengan kondisi apapun tidak dapat mengubah substansi sebenarnya.
Sebagai umat Kristen, kita merayakan Paskah sebagai peristiwa kebangkitan Tuhan kita, Yesus Kristus. Kebangkitan Yesus sangat berdampak bagi kehidupan kita secara pribadi sebagai pengikut Kristus, baik masa dulu, masa kini maupun masa depan. Melalui kebangkitan-Nya, Yesus menggenapi keselamatan yang telah direncanakan Allah sejak zaman dulu kala. Penebusan dosa dan kehidupan kekal menjadi nyata dan tersedia untuk orang percaya.
Seorang teolog bernama Marcus J. Borg pernah menjelaskan tentang hubungan antara kebangkitan Yesus dengan Keilahian-Nya. Peristiwa Paskah menjadi titik tolak penjelasan ini. Oleh karena itu, Borg memperkenalkan pembagian masa hidup Yesus, yaitu Jesus pre-Easter (Yesus sebelum Paskah) dan Jesus post-Easter (Yesus pasca Paskah).
Masa yang pertama dimulai dari kelahiran hingga penguburan Yesus setelah kematian-Nya di kayu salib. Borg memandang masa ini sebagai masa dimana Yesus dianggap sebagai seorang nabi sosial dan politik: Memberitakan Kerajaan Allah, menyembuhkan orang sakit, memberi makan lima ribu orang, membangkitkan orang mati, dan memimpin gerakan pembaruan bersama murid-murid-Nya. Memang Yesus melakukan mujizat, tetapi itu tidak menunjukkan keilahian-Nya secara penuh dan meyakinkan. Tetapi akhirnya Yesus mati di tangan pemuka agama Yahudi dan pemerintah Romawi. Kematian-Nya di kayu salib ini menunjukkan bahwa Yesus adalah seorang nabi yang gagal melaksanakan gerakan sosial politik-Nya dalam masyarakat.
Masa yang kedua yang dianggap Borg sebagai pembuktian kuat bahwa Yesus adalah Allah. Mengapa demikian? Dalam filsafat, Allah memang tidak dapat mati, sebab Dia ada di atas kematian. Dengan kebangkitan-Nya, Yesus memproklamasikan keilahian-Nya bahwa Dia adalah Allah yang menang dan tidak dapat dikuasai maut sampai selama-lamanya. Maka Borg mengatakan, jika Yesus tetap mati, maka kematian Yesus tidak bermakna apapun selain sebagai bukti bahwa Dia adalah seorang nabi yang gagal dan bukan sebagai Mesias yang dijanjikan itu. Tetapi karena Yesus bangkit, kematian itu menjadi bermakna bagi semua orang percaya bahwa ada penebusan dosa dan keselamatan kekal di dalam nama-Nya. Maka kita boleh yakin dan percaya bahwa Yesus adalah Allah yang benar.
Kebangkitan Yesus juga bermakna sebagai kemenangan atas segala kejahatan, ketakutan, kekhawatiran, kegelisahan, penderitaan, kekecewaan, dan lain-lain. Ketika peristiwa Paskah, para rasul mengalami ketakutan dan kekhawatiran jika mereka juga akan mengalami penderitaan yang dialami Guru mereka. Mereka sendiri juga kecewa mengapa Yesus yang mereka akui sebagai Mesias justru berakhir hidup-Nya dengan kematian yang mengenaskan. Tetapi kebangkitan Yesus mengubah paradigma itu. Ketakutan dan kekhawatiran diubah oleh Yesus menjadi keberanian dan pengharapan yang pasti. Inilah arti Paskah.
Saat ini, kita boleh bernafas lega karena gereja sudah diizinkan untuk mengadakan ibadah di gedung gereja, walaupun dibatasi dengan protokol kesehatan. Dan tak terasa kita sudah melalui berbagai perayaan gerejawi (Paskah, Adven-Natal, ulang tahun gereja-sinode, perjamuan kudus, baptisan) secara terbatas juga. Setidaknya kerinduan kita untuk kembali bersekutu di gedung gereja sudah terobati. Kita boleh bersukacita juga karena pemerintah telah melaksanakan vaksinasi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Melalui vaksinasi ini ada harapan bahwa pandemi akan segera berakhir dan segala aktivitas bisa berjalan dengan normal kembali.
Kita sebagai pengikut Kristus perlu memandang ini sebagai sebuah hadiah Paskah yang terindah bagi kita saat ini. Terlepas dari bagaimana kondisi perayaan Paskah yang masih terbatas, ada hal yang perlu kita syukuri juga. Bagi saya pribadi, Paskah tahun ini memang sama seperti tahun lalu, tetapi perayaan Paskah tahun ini tidak sesuram Paskah tahun lalu. Jika di tahun lalu tidak ada orang di gereja saat perayaan (selain pendeta, majelis, pemandu pujian, dan petugas multimedia), Paskah tahun ini bisa kita hadiri di gedung gereja walaupun masih terbatas. Yang terpenting ialah Kristus telah menang atas segala penderitaan dan kematian. Maka sepatutnya kita juga tidak lagi takut menghadapi peziarahan hidup ini, sebab Yesus yang menang itu selalu ada bersama dengan kita.
Kristus telah bangkit! Haleluya!
Benar Ia sudah bangkit! Haleluya!
Selamat merayakan Paskah, Tuhan Yesus memberkati kita!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: