Seperti proses pemahatan kayu menjadi sebuah Mahakarya yang indah, seringkali pisau pahatan itu menyakitkan. Pun demikian cara kerja-Nya.
Menjadi seorang hamba Tuhan bukan artinya menjadi seorang Gatotkaca yang sangat kuat. Hamba Tuhan juga adalah manusia yang tidak imun akan dosa ataupun kesalahan. Pun proses menuju panggilan tersebut ternyata juga bukan jalan tol. Ada kawah Candradimuka yang harus dilewati untuk menjadi pribadi setangguh Gatotkaca. Ada banyak tantangan dan rintangan yang menghadang. Seringkali Tuhan memakai banyak hal untuk menghancurkan hamba-Nya, tak lain agar hamba-Nya itu menjadi bejana yang indah di mata-Nya.
animasik13g.blogspot.co.id
Proses yang Berliku
Sebelum menjalani panggilan hamba Tuhan, saya terlebih dulu disodorkan fakta keretakkan rumah tangga hingga akhirnya orang tua saya bercerai. Di tengah perjalanan, terungkap kondisi lain yang tak henti menghancurkan hati. Sejarah okultisme (kuasa kegelapan yang ditaruh dalam diri seseorang) menjadi bagian yang samasekali tidak terduga. Sejak menjalani pelepasan dari roh jahat (yang sayapun tidak pernah secara sadar mau menerima), saya mengalami banyak kejadian mengerikan. Diserempet bus pariwisata setelah pulang pelayanan hingga dua kali dan berulang didatangi sosok hitam besar yang ingin mencekiknya. Teman-teman sempat menganggap saya orang aneh dan bahkan dikatakan gila. Klimaksnya adalah beberapa operasi yang harus ia rasakan menjelang skripsi. Operasi jantung, adalah satu kenyataan yang paling menggoncang saya. Selain timing yang tidak tepat dan penyakit yang hadir tiba-tiba, fakta bahwa saya tidak lagi memiliki ayah yang membiayai semacam pukulan telak. Mama saya hanya seorang karyawan swasta dengan gaji pas-pasan untuk hidup satu bulan. Biaya operasi yang diperkirakan mencapai seratus juta rupiah membuat saya, mama saya, dan beberapa sanak famili lain berusaha mencari jalan keluar dengan mengurus BPJS. Satu sisi lain, saya terpaksa cuti dari kuliah. Padahal semakin lama saya menunda skripsi maka saya akan lulus semakin lama pula dan kian membutuhkan biaya yang lebih besar lagi. Hari-hari itu menjadi begitu muram. Saya yang dulunya setiap bangun pagi memulai dengan ucapan syukur, kini mulai menjadi apatis.
Photo by Mili Vigerova on Unsplash
Kalut. Hilang pengharapan. Saya menangis meronta-ronta dan memukuli diri sendiri. Suatu kali di jalan pulang ke rumah, saya melihat ada kereta api akan lewat, terlintas pikiran untuk menabrakkan diri. Bagi saya saat itu, sakit ini menyiksa bukan lagi dalam takaran fisik namun lebih parah, kehilangan harapan hidup. Saya marah terhadap Tuhan, mempertanyakan alasan Tuhan membiarkan semua ini terjadi. “Dimana Bapa yang baik itu?” tanya saya penuh keraguan dan kekecewaan sambil menangis meronta-ronta tidak karuan. Tiba-tiba mama saya yang berusaha tegar akhirnya ikut menangis. Saya melihat gulatan kesedihannya sebab merasa bersalah mengapa tidak bisa memiliki uang untuk menolong anak semata wayangnya ini. Keadaan menjadi sangat kacau dan penuh tangis air mata. Walau demikian, mama saya tetap mengatakan bahwa Tuhan itu baik. Benarkah? tanya saya seakan kehilangan iman.
Sebuah Titik Damai
Tak lama kemudian, ada telepon dari dokter yang merawat saya. Dokter ini menyarankan saya untuk tetap berangkat ke kota itu dan iapun berjanji akan berupaya mencari jalan agar saya dapat operasi. Mendengar perkataan dokter tersebut, saya dan mama saya pecah dalam isak tangis. Saya seketika meminta ampun sudah marah terhadap Tuhan. Sudah mempertanyakan keberadaan-Nya. sudah meragukan keputusan-Nya. Akhirnya, kami berangkat ke kota tersebut untuk operasi. Saya bisa dioperasi dan dirawat selama dua hari dan pulang tanpa membayar sepeser rupiah pun. Dokter itu telah menjadi perpanjangan tangan Tuhan melalui hati yang tulus dan baik untuk menyembuhkan, dan bukan hanya mau meraup keuntungan untuk diri sendiri.
Saya merenungkan raja Daud yang secara jujur menyatakan perasaanya ketika dalam kesesakan. Dalam Mazmur 22, raja Daud mengatakan mengapa seolah-olah Tuhan meninggalkannya. Saya menyadari untuk pulih dari segala kemelut yang baru terjadi, dituntut sebuah keterbukaan. Sebuah pengakuan penuh kerendahan hati di hadapan Tuhan telah membawa saya pada pemulihan. Dalam perenungan penuh keterbukaan itu pula saya menyadari memang betul bahwa saya adalah bejana yang telah retak. Saya bukan orang yang percaya diri. Saya pernah bersinggungan dengan okultisme. Kesehatan saya kacau. Saya tak pandai berkotbah hingga hampir gagal di ujian homiletika.
Photo by Maranatha Pizarras on Unsplash
Keretakan tersebut kerap membuat saya merasa boleh menyerah. Bahkan karena sakit yang saya derita, seorang dosen pernah menyarankan saya cuti dan mengundurkan diri. Jemaat juga takut menerima saya sebagai Hamba Tuhan melihat rekam kondisi yang telah terjadi. Tapi Allah yang memanggil saya menjadi hamba-Nya tidak pernah salah. Rancangan-Nya tidak pernah gagal. Walau cuti kuliah satu bulan, saya dimampukan untuk menulis skripsi tepat waktu, menjalani praktek satu tahun, dan diwisuda bersama dengan teman-teman seangkatan saya. Saya kian terkesima melihat keterangan medis bahwa jantung saya ternyata tetap stabil walau sudah setahun pasca operasi tidak mengonsumsi obat lagi. Sekarang sayamelayani di sebuah gereja dan sedang berproses untuk menjadi pendeta di gereja tersebut.
Setiap pengalaman pahit yang saya alami memang Tuhan pakai untuk meremukkan saya sebagai pribadi. Tuhan seakan berpesan dengan lantang bahwa jika saya mampu melayani hanya karena Tuhan yang memampukan dan melayakkan. Tidak ada kualifikasi apapun dalam diri saya untuk bisa menjadi seorang Pendeta.
Selalu untuk Maksud yang Indah
Saya jadi sadar, masa-masa kelam diijinkan Tuhan agar kita benar-benar bergantung pada-Nya. Walau dalam lembah kegelapan sekalipun, dimana kita tidak bisa melihat tangan sang Gembala dan ada banyak bahaya manghadang, Tuhan mau kita tetap bertahan dan percaya bahwa Tuhan ada bersama kita senantiasa. Bukankah seorang guru diam ketika mengadakan ujian untuk murid-Nya. Tuhan seakan diam tetapi Ia tidak pernah meninggalkan umat-Nya. Ia mau kita memperoleh hal yang berharga dan bernilai kekal yaitu pertumbuhan iman. Terlalu mudah bagi Tuhan untuk memberi kesembuhan, pemulihan keadaan ekonomi, pemulihan hubungan keluarga. Itu semua bagai hal kecil bagi Tuhan. Namun Tuhan mau lebih dari itu. Tuhan rindu kita bertumbuh dan menjadi pribadi yang tangguh.
Seperti proses pemahatan kayu menjadi sebuah Mahakarya yang indah, seringkali pisau pahatan itu menyakitkan. Pun demikian cara kerja-Nya. Ia memahat bagian yang tidak perlu, membetulkan pola pikir dan motivasi kita, serta mempertumbuhkan iman dan karakter kita sebagai anak-Nya. Allah turut bekerja dalam segala sesuatu (baik dan buruk) untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia (Roma 8:28).
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: