The Lord is not slow in keeping his promise, as some understand slowness. Instead he is patient with you, not wanting anyone to perish, but everyone to come to repentance. 2 Peter 3:9
Beberapa kali saya iseng melihat profil teman-teman saya pada masa SMP atau bahkan SD dulu. Penasaran dengan apa saja yang mereka lakukan dan capai hingga sekarang. Hasilnya agak mengejutkan saya.
Banyak teman yang dulu adalah seorang perundung (melakukan bullying) serta pembuat onar malah sukses dan sepertinya menjadi lebih baik. Beberapa bahkan memiliki usaha sendiri dan berkeluarga (menikah muda). Hal ini tentu kontras dengan mereka yang dulu, mereka yang suka mengejek-ejek saya, mereka yang senang sekali membuat saya kesusahan dan bahkan beberapa kali mengajak banyak orang untuk menjauhi saya karena dianggap tidak 'normal'. Banyak dari mereka memiliki karir yang cukup cemerlang dan bahkan dari beberapa video terlihat jauh lebih sopan dan santun.
Photo by Kate Torline on Unsplash
"Pertobatan terbaik adalah perubahan diri", kutipan itu entah saya dapat dari mana namun seperti terbukti dengan kondisi teman-teman yang suka merundung saya dulu. Saya sendiri sudah terputus kontak dengan mereka, banyak dari mereka tidak lagi menggunakan Facebook. Tentu saya menginginkan mereka untuk bilang "Eh maaf ya dulu gue begitu", namun hati saya berbisik "ga perlu".
Semua orang pernah khilaf dan melakukan kesalahan. Selama kita masih hidup, kita punya kesempatan untuk menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. Saya juga teringat akan postingan dari instruktur Yoga, Ibu Ivonne Sutrisna yang mengatakan bahwa "Orang paling tercerahkan pun bisa melakukan kesalahan, namanya juga manusia.".
Ingin rasanya memarahi mereka, namun toh mereka sudah lebih dewasa sekarang. Saya pikir mungkin itulah kenapa Tuhan Yesus mengajarkan di Alkitab bahwa kita harus selalu memaafkan tanpa batas. Kita tidak tahu kapan orang yang menyakiti kita akan berubah dan bertumbuh bahkan berbuah. Menyimpan dendam mungkin hanya akan membutakan mata kita pada perubahan mereka.
Tentu kita harus memandang secara kontekstual, bila memandang soal kompetensi di tempat kerja mungkin akan lebih baik bersifat skeptis. Tetapi bila ia menunjukkan niat untuk berubah, mengapa tidak coba memberi dia tanggung jawab kecil yang akan semakin besar seturut dengan tindakannya?
Photo by Ana-Maria Berbec on Unsplash
Forgive not forget, memaafkan tapi bukan melupakan. Saya kurang setuju dengan hal ini karena selalu dipakai dalam konteks 'jaga jarak', jangan lagi dekat. Bagi saya pribadi, jika Yesus berani mengambil resiko untuk jiwa saya, saya berani mengambil resiko dengan memberi kesempatan baru untuk orang yang menyakiti saya.
Hidup bukanlah selalu menjadi kompetisi adu cepat. Tidak peduli apakah kamu secepat angin atau selambat bus pariwisata di jalanan Bandung, bila terus tekun berjalan dan berusaha, kamu akan menemukan jalan yang benar dan akhirnya sampai di tujuan.
Bila kita terus berupaya mencapai kesempurnaan, dalam waktunya kita akan jadi makin serupa dengan Tuhan.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: