Finding Love in Singleness

Best Regards, Live Through This, 08 February 2021
Kadang kita terlalu fokus berusaha mencintai orang lain sampai lupa untuk mengasihi diri sendiri…

Jomblo ngenes. Perawan tua. Bujang lapuk. Nggak laku.

Aku yakin Ignite People pernah mendengar istilah-istilah ini, kan? Terutama jika kalian adalah orang-orang yang berada pada usia perbatasan remaja-pemuda atau berada pada usia akhir 20-an, dan masih memiliki status “single”. Istilah-istilah di atas menjadi suatu tekanan bagi banyak orang single karena hal ini merendahkan martabat mereka secara tidak langsung. Orang yang belum berpasangan dipandang tidak bahagia, tidak disukai banyak orang, atau bahkan sampai didiskriminasi secara sosial.

Tanpa kita sadari, kita hidup di dunia yang dikonstruksi untuk memiliki pola pikir bahwa kita harus memiliki seseorang yang dapat disebut sebagai pasangan hidup. Bahkan, orang tersebut harus dapat memuaskan hasrat kita. Ngga percaya? Film-film Hollywood, drama Korea populer yang menjadi konsumsi kita ketika memiliki waktu luang, atau bahkan sosial media kita membuat kita memiliki standar seorang pasangan atau bahkan couple goals. Selain itu, tuntutan keluarga besar juga mendorong adanya mindset bahwa kita harus punya pasangan untuk bahagia.


Memiliki pasangan = bahagia?

Aku yakin kebanyakan Ignite People pernah mengalami ini, terutama pada Natal-Tahun Baru atau Imlek, ketika kerabat kita tiba-tiba bertanya “Kapan menikah?” atau “Sudah punya pacar belum?” Mungkin sebagian dari kita bisa bersikap netral dan menjawab sejujurnya (jika belum punya), tapi ngga sedikit dari kita yang merasa tertekan. Hal ini mungkin juga terjadi jika kita melihat pengumuman dari teman-teman sekolah dan kuliah kita setelah lulus dan sudah mengirimkan undangan resepsi, sementara kita masih single.

Berdasarkan pengamatanku, tekanan sosial itu muncul karena pandangan keluarga besar terhadap konsep pernikahan. Di sebagian besar keluarga Asia, aku melihat bahwa orang memandang pernikahan sebagai suatu pencapaian status sosial tertentu. Misalnya, di keluarga Tionghoa, orang yang sudah menikah akan memberikan angpao kepada anak-anak yang belum menikah, namun orang yang belum menikah tidak bisa memberikan angpao, karena dipandang masih bergantung pada finansial orang tuanya (dan ada mitos yang terkait dengan jodoh, tapi tidak akan aku bahas di sini).

Selain keluarga, pandangan sosial mengenai pernikahan pun juga dapat menjadi sumber tekanan bagi orang-orang yang belum memiliki pasangan. Ada beberapa kelompok yang memberikan penghargaan kepada orang pertama di dalam komunitas mereka yang menikah, pertanyaan mengenai ada atau tidaknya pasangan dari teman dekat, dan beberapa hal lainnya dapat menjadi sumber tekanan. Belum lagi label yang diberikan kepada orang yang belum memiliki pasangan atau baru saja mengalami patah hati.

Faktanya? Ngga semua orang yang sudah menikah memiliki hidup yang bahagia. Kita sering mendengar berita mengenai angka perceraian yang meningkat, terutama pada masa pandemi ini. Sering kali kita mendengar kabar tersebut dari tokoh publik atau idola yang awalnya kita anggap memiliki hubungan rumah tangga yang harmonis. Mungkin kita juga pernah mendengar cerita orang-orang yang menikah karena paksaan keluarganya dan malah menjadi korban KDRT.

Kita pasti juga memiliki teman yang suka memamerkan kemesraan dengan pasangan mereka di sosial media. Ngga jarang post atau update status mereka suka membuat kita minder karena kita sendiri ngga punya kesempatan untuk melakukan hal tersebut. Namun, kita ngga tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik layar. Bukan hal yang mengagetkan ketika teman kita tiba-tiba mengakhiri hubungan romantisnya dan menghapus semua gambar mesranya dengan alasan “sudah ngga cocok lagi”.

Beberapa orang berpikir bahwa ada atau tidaknya pasangan mempengaruhi tingkat sosial seseorang. Di beberapa tradisi, konsep ini sudah tertanam untuk beberapa generasi. Hal ini kadang menyebabkan orang berbalap-balapan untuk memiliki pasangan. Pada akhirnya, tidak semua orang menemukan kebahagian walaupun sudah mendapatkan pasangan yang mereka cari.


Cinta dalam singleness?

Akibat konstruksi sosial yang tertanam di dalam diri kita, kita sering mendengar teman-teman kita yang merasa tertekan dan sedih karena status jomblo yang mereka sandang. Tidak sedikit orang yang pada akhirnya bertanya-tanya apakah mereka akan menemukan cinta kelak. Padahal, Tuhan sudah menentukan masa depan kita, dan hal itu termasuk dalam hal menemukan pasangan hidup (band. Matius 6:25).

Sebenarnya, di dalam singleness, kita pun dapat menemukan cinta.

Satu hal yang perlu kita ingat, cinta itu tidak selalu berhubungan dengan romansa. Di dalam filosofi Yunani Kuno, terdapat beberapa kata yang dapat diartikan sebagai “cinta”. Kita mengenal setidaknya 4 kata, eros (cinta romantis), philia (cinta persahabatan), storge (cinta di dalam keluarga), dan agape (cinta tanpa syarat). Selain keempat kata ini, terdapat beberapa kata yang dapat menggambarkan “cinta” dalam berbagai situasi. Salah satunya adalah philautia, atau yang orang sebut sebagai “self-love”.

Kita dapat melihat konsep self-love di Hukum Kasih kedua (Matius 22:39), yaitu mengasihi sesama seperti kita mengasihi diri sendiri. Kita mungkin sering mendengar konsep self-love, terutama pada masa pandemi ini. Banyak yang mengaitkan hal ini dengan belajar untuk tidak menyakiti diri sendiri, tapi untuk menerima diri sendiri apa adanya, dan juga belajar untuk memberikan penghargaan kepada diri sendiri. Belajar untuk mengasihi diri sendiri dapat dilakukan kapan saja, bahkan ketika kita masih single. Tentunya, untuk dapat mengasihi diri sendiri (dan sesama), kita harus belajar mengasihi Allah terlebih dahulu (Matius 22:37).

Di dalam singleness, kita juga dapat belajar bahwa di dalam Tuhan, kita dapat disiapkan untuk menjadi penuh di dalam-Nya sebelum kita belajar mencintai orang lain. Salah satu teladan yang dapat kita contoh di dalam Alkitab adalah Rut. Setelah kehilangan suaminya, dia memutuskan untuk mengikuti Naomi kembali ke Israel. Tanpa menunda waktu, dia langsung bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya dan Naomi. Bahkan ketika Rut dan Naomi sudah merasa bahwa Boas adalah orang yang akan menikahi Rut, Naomi tetap menyuruh Naomi untuk mempersiapkan yang terbaik.

“Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.” - Pengkhotbah 3:11 TB

In the end, menjadi seorang yang memiliki status single bukanlah hal yang buruk. Jika kalian merasa khawatir mengenai masa depan kalian, ingat untuk terus berserah kepada Tuhan. Tidak ada salahnya untuk mendoakan teman hidup, tapi jangan sampai fokus utama kita berpaling dari Tuhan. Jangan lupa untuk terutama mengasihi Tuhan, sesama, dan dirimu sendiri.

LATEST POST

 

Akhir Oktober biasanya identik dengan satu event, yaitu Halloween. Namun, tidak bagi saya. Bagi saya...
by Immanuel Elson | 31 Oct 2024

Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2 Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow&n...
by Kartika Setyanie | 28 Oct 2024

Kalimat pada judul yang merupakan bahasa latin tersebut berasal dari slogan sebuah klub sepak bola t...
by Jonathan Joel Krisnawan | 27 Oct 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER