Mengingat kematian bermakna juga sebuah usaha untuk menilik kembali tapak-tapak kehidupan kita. Disana lah, kita akan menemukan bukti penyelenggaraan Allah dan sebuah fakta bahwa Allah dekat dengan realitas hidup kita.
1912, tepatnya pada malam 14 April sampai pagi 15 April, menjadi hari yang dicatat oleh sejarah. Samudra Atlantik Utara menjadi saksi bisu dari tenggelamnya kapal Titanic yang berangkat dari Southampton dalam pelayaran perdananya menuju New York City. Kapal yang mengangkut sekitar 2.224 orang tersebut harus karam karena menabrak gunung es dan memakan korban tewas yang mencapai 1.500 orang. Peristiwa ini yang kemudian digadang-gadang menjadi salah satu bencana maritim mematikan sepanjang sejarah.
Titanic dan Kisah Dibaliknya
Berbagai kisah tersembunyi dalam peristiwa tenggelamnya kapal Titanic tampaknya telah naik ke permukaan dan menjadi konsumsi publik, salah satunya tentang kidung “Nearer My God to Thee” (Makin dekat Tuhan).
Henry Wallace Hartley, seorang pemain biola berkebangsaan Inggris, saat itu mendapat tugas untuk memimpin orkestra. Ia bersama tujuh rekan pemusik lainnya memainkan berbagai musik klasik untuk menghibur para penumpang first class di kapal mewah itu.
Hartley bersama tujuh pemusik lainnya tidak sadar bahwa malam itu menjadi hari terakhir bagi mereka untuk memainkan musik. Tepat pada 14 April 1912 pukul 23:40, kapal Titanic menabrak gunung es di Samudra Atlantik. Air memasuki kapal dan perlahan tapi pasti, kapal tersebut akan tenggelam.
Tidak seperti ribuan penumpang lainnya yang panik dan mencari cara agar tetap selamat, Hartley dan tim orkestranya tetap setia melantunkan lagu. Kidung Nearer My God to Thee” (Makin dekat Tuhan) dipilih mereka –entah apa alasannya– untuk dilantunkannya di geladak kapal dengan tujuan menenangkan penumpang yang panik.
Hingga tiba kapal itu akan terbelah menjadi dua bagian, Hartley mengemasi biolanya dan memasukkannya ke dalam leather case. Seorang saksi mata berujar bahwa untuk mengakhir ‘konser’ itu, Hartley berkata “Saudara-saudara, saya mengucapkan selamat tinggal”. Mereka bertahan diri dengan berpegang pada pagar di atas Grand Staircase dan akhirnya harus meregang nyawa dengan pelahan tenggelam ke kedalaman samudera Atlantik.
Mimpi Yakub di Betel
Mimpi Yakub di Betel merupakan satu peristiwa yang dituliskan dalam Kitab Kejadian (Kej 28: 10-22). Dalam peristiwa tersebut dikisahkan seorang Yakub yang mengadakan perjalanan dari Bersyeba menuju Haran (ay. 10). Tafsir Wycliffe menyebutkan bahwa perjalanan tersebut berjarak sekitar 12 mil atau 19 km di sebelah utara Yerusalem.
Menyadari panjangnya perjalanan tersebut, Yakub memutuskan untuk beristirahat dan bermalam di suatu tempat (ay. 11). Pada kesempatan itulah, ia mendapat penglihatan yakni tangga yang ujungnya sampai di langit, dan malaikat-malaikat Allah turun naik di tangga itu (ay. 12).
Dalam tradisi setempat, tangga yang ujungnya sampai di langit (ay. 12) mengibaratkan menara-menara yang disebut sebagai Zigurat. Pengibaratan yang sama pula yang dipakai dalam Kejadian 11: 4 “…Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit…”.
Zigurat merupakan menara-menara kuil yang megah dan bertingkat-tingkat. Tempat tersebut menjadi ciri khas dalam pemandangan alam di Mesopotamia. Lebih dari itu, pada Zigurat tersebut terdapat suatu tempat pemujaan yang terletak di tempat paling atas. Kuil-kuil yang menjulang tersebut mewujudkan perasaan keagamaan yang mendalam. Ada sebuah kepercayaan bahwa dewa yang berdiam di langit akan turun ke tempat pemujaan Zigurat itu untuk berhubungan dengan pengikut-pengikutnya di bumi.
Kata “di langit” pada Kej 28:12 (dan juga Kej 11:4) dalam bahasa aslinya, Ibrani, menggunakan kata shamayim yang berarti ‘puncak’, ‘awan’ (the heights) atau ‘surga’ (heaven). Sehingga jika kata “di langit” diartikan sebagai surga, maka kata tangga dalam ayat 12 dimaknai oleh banyak Pujangga Gereja sebagai jembatan yang menghubungkan surga – dunia serta bukti penyelenggaraan Allah akan dunia ini.
Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan pemaknaan menara Zigurat yang mewujudkan perasaan keagamaan yang mendalam, yakni menjadi tempat dewa untuk berhubungan dengan pengikut-pengikutnya di bumi.
Penglihatan itu membuat Yakub takjub karena tidak hanya Allah memperkenalkan diri-Nya kepada Yakub (ay. 13), namun Ia juga memberikan kepastian kepadanya bahwa akan menyertai, melindungi dan tidak akan meninggalkan Yakub seorang (ay. 15). Peristiwa tersebut mendorong Yakub untuk bernazar. Tuhan akan menjadi Allahnya (ay. 21) dan ia akan memberikan sepersepuluh yang ia terima dari Allah (ay. 22) merupakan nazarnya. Tak berhenti sampai disitu, Yakub juga menamai tempat itu dengan nama ‘Betel’ yang berarti rumah Allah (ay. 19 & 22).
Makin Dekat, Tuhan
Nearer, my God, to Thee, nearer to Thee!
E’en though it be a cross that raiseth me,
Still all my song shall be, nearer, my God, to Thee.
Nearer, my God, to Thee,
Nearer to Thee!
Begitulah penggalan lirik dari kidung “Nearer My God to Thee” (Makin dekat Tuhan) yang dimainkan Hartley bersama tim orkestranya untuk mengiringi karamnya kapal Titanic. Kidung yang juga terdapat dalam Kidung Jemaat 401 menegaskan bahwa dalam keadaan yang paling pelik sekalipun, pun termasuk maut dan kematian, terselip kerinduan kita untuk dekat kepada-Nya.
Bacaan tentang mimpi Yakub di Betel yang sudah kita ulas menjadi inspirasi dari terciptanya kidung ini. Maka, jika kita perhatikan dengan seksama, lirik dari kidung ini menceritakan penggalan-penggalan kisah dari Kejadian 28:10-22.
Berbicara tentang kematian, saya selalu menyebutnya sebagai sebuah bayang-bayang kehidupan karena ia melekat pada kehidupan semua orang. Kematian datang dan merenggut kita dengan sangat cepat, sehingga kehidupan seringkali dipandang sebagai persiapan menuju kematian. Seneca menyebutkan, “dari hari ke hari kita ini berjalan mendekati kematian”.
Mungkin, kenyataan tersebut menjadikan diri kita takut menghadapi kematian. Thanatophobia disebut Edmund Bourne dalam bukunya, The Anxiety and Phobia Workbook sebagai salah satu fobia spesifik yang melibatkan rasa takut akan kematian. Ketika sampai tingkat akut, seseorang yang mengidap fobia ini akan takut dan bahkan histeris ketika simbol-simbol kematian hadir didekatnya, misalnya seperti peti mati, kain kafan, pemakaman, batu nisan, dan lain sebagainya.
Rasa yang berbeda, yang mungkin dihayati Henry Wallace Hartley bersama tujuh rekan pemusik yang bermain di Kapal Titanic. Alih-alih naik ke sekoci dan menyelamatkan diri, mereka justru tetap setia memainkan musiknya sampai akhirnya kapal itu karam dan menghanyutkan mereka.
Peristiwa tersebut tidaklah mengajarkan kita bahwa tindakan menyelamatkan diri pada suatu kondisi kritis merupakan hal yang tidak perlu dilakukan. Berbeda dengan hal itu, bagi mereka, ajal yang menanti di depan mata tidak dipandang sebagai sesuatu yang menakutkan, mengerikan dan bahkan dihindari. Namun, kematian dipandang sebagai sebuah jalan dan kesempatan untuk makin dekat kepada-Nya. Karena, melalui kematian lah, roh kita dipersatukan bersama Kristus dalam kerajaan-Nya.
Kepastian yang ditawarkan Yakub, sebenarnya juga telah Allah tawarkan kepada kita: ia akan menyertai, melindungi dan tidak akan meninggalkan kita seorang (band. ay. 15). Lantas, ketika Allah menjanjikan itu semua kepada umat-Nya, mengapa kita masih harus takut, terutama saat menghadapi ajal sekalipun?
Kesertaan Allah itulah yang kemudian menjadi dasar pemazmur mengungkapkan bahwa ia tidak takut. “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku”, ungkapnya dalam Mazmur 23:4. Padahal, dalam bahasa aslinya, Alkitab menggunakan kata tsalmaveth yang dimana lembah kekelaman itu dapat dimaknai juga sebagai kegelapan yang sangat menakutkan, mengancam dan mematikan (death-shadow of distress and extreme danger).
Kematian yang dipandang sebagai ‘bayang-bayang kehidupan’ seharusnya juga tidak membuat kita menjadi pesimis akan sisa waktu kehidupan ini. The show must go on. Lihatlah bagaimana semangat yang berkobar yang ditunjukan oleh Yakub. Kepastian bahwa ia akan disertai, dilindungi dan tidak ditinggalkan oleh Allah membawa Yakub pada berbagai nazar yang ia lakukan.
Kobaran semangat tersebut juga nampak pada diri seorang Jeanne d'Arc. Pada tanggal 30 Mei 1431, ia dinyatakan bersalah –walau kemudian tuduhan ini tidak benar- dan akan dijatuhi hukuman mati dengan dibakar hidup-hidup di tengah pasar kota Rouen.
Mengetahui saat-saat kematiaannya telah dekat, Jeanne d'Arc meminta dalam doanya, “manfaatkanlah aku seberapa Engkau bisa memanfaatkan aku”. Ia menyadari betul bahwa putusan hukuman mati tidaklah memberhentikan langkahnya untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran di sisa akhir hidupnya. Ditengah kobaran api yang membakar tubuhnya, Jeanne menyerukan nama "Yesus", lalu menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Mengingat kematian bermakna juga sebuah usaha untuk menilik kembali tapak-tapak kehidupan kita. Disana lah, kita akan menemukan bukti penyelenggaraan Allah dan sebuah fakta bahwa Allah dekat dengan realitas hidup kita. Seperti pemaknaan kata “di langit” pada Kej 28:12, tindakan menilik tersebut justru mewujudkan perasaan keagamaan yang mendalam. Sehingga, setidaknya, kita dinilai lebih ‘siap’ menghadapi kematian.
Semoga kita siap menghadapinya, kelak.
Ad Maiorem Dei Gloriam!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: