Salah satu pokok pengakuan iman tentang Yesus adalah tentang kelahiran-Nya. Pengakuan iman Kristen dalam denominasi manapun di dunia selalu menyebutkan bahwa Yesus berinkarnasi menjadi manusia, dikandung, dan oleh Maria. Maria merupakan sosok yang berpengaruh dalam seluruh peristiwa hidup Yesus. Meskipun berpengaruh, Maria (bahkan Yesus sendiri) dicatat sebagai sosok yang penuh dengan penderitaan akibat status sosial mereka. Oleh karena itu dalam momen Natal ini, saya akan mengajak kita untuk melihat penderitaan Maria dan Yesus sebagai "subaltern". Kita akan ditemani oleh Gayatri Chakravorty Spivak, seorang filsuf dan sosiolog perempuan asal India yang mengemukakan teori "Subaltern".
SUBALTERN: ASAL USUL DAN PENGARUHNYA
Sebelum membahas lebih lanjut, mari kita berkenalan dengan Gayatri Chakravorty Spivak dan pemikirannya. Spivak merupakan seorang filsuf poskolonial perempuan asal India yang tinggal di Amerika Serikat. Spivak lahir tanggal 24 Februari 1942 di Kalkuta, India. Dia lahir di masa jelang berakhirnya kolonialisme Inggris di India. Selama tinggal di India, Spivak mengalami diskriminasi dari masyarakat karena dia merupakan seorang perempuan yang berambut cepak. Pengalaman diskriminasinya semakin bertambah ketika dia melanjutkan studi di Amerika Serikat. Dia mengalami diskriminasi karena identitasnya: perempuan, berasal dari Asia (India), Hindu, dan menggunakan pakaian sari.
Pengalaman-pengalaman ini mempengaruhi pemikiran-pemikiran Spivak dalam rangka poskolonialisme. Pemikirannya tertuang dalam beberapa karya yang ditulisnya. Esainya yang berjudul “Can Subaltern Speak?” menjadi salah satu karya yang terkenal, bahkan mengguncang dunia. Esainya ini menyadarkan dunia tentang eksistensi masyarakat yang menjadi korban pasca kolonialisme dan imperialisme barat. Mereka disingkirkan bahkan dikucilkan dari kelas masyarakat. Konsep subaltern Spivak merupakan hasil perpaduan Marxisme, feminisme, dan dekonstruksi yang dilingkupi nuansa poskolonial.
Dalam esainya, Spivak berangkat dari konstruksi sosial yang tersusun dalam masyarakat India sebagai hasil dari kolonialisme. Spivak menggunakan istilah subaltern dari Antonio Gramsci, seorang filsuf dari Italia. Subaltern merupakan istilah untuk menyebut kelompok inferior dalam masyarakat. Mereka didominasi oleh sistem beserta warisannya berupa ilmu pengetahuan, bahasa, budaya barat, dominasi ekonomi, dan strata sosial. Warisan ini membuat mereka seolah-olah menjadi orang yang “bodoh, terbelakang, dan miskin”. Akibatnya, mereka tidak mampu bersuara karena mereka terdominasi sedemikian rupa. Jika mereka bersuara, suara mereka tidak akan sampai pada kelompok diatasnya yang lebih dominan.
Gayatri Spivak, oleh Alice Attie dari The Nation
Dengan menggunakan sampel konstruksi masyarakat di India, Spivak mengkategorikan masyarakat menjadi empat kelompok, yang terdiri dari:
1. Dominant foreign groups (orang asing). Kelompok ini diisi oleh orang-orang asing, khususnya dari bangsa penjajah. Orang-orang itu bisa saja penguasa maupun warga sipil;
2. Dominant indigenous groups on the all-India level (masyarakat dominan nasional). Kelompok ini terdiri dari kelompok penguasa lokal dan masyarakat elit;
3. Dominant indigenous groups at the regional and local levels (masyarakat dominan lokal). Kelompok ini terdiri dari masyarakat kelas menengah kebawah. Umumnya diisi oleh laki-laki;
4. Masyarakat subaltern. Bagi Spivak, masyarakat yang tergolong sebagai subaltern tidak hanya sekedar kelompok masyarakat yang terdominasi oleh kekuatan masyarakat yang dominan secara umum. Itu disebabkan karena dalam kelompok masyarakat terdominasi ini, penindasan struktural masih dapat terjadi. Pihak yang kuat dapat mendominasi pihak yang lemah, dan begitu seterusnya. Oleh karena itu, Spivak menyimpulkan bahwa kelompok perempuan dan anak-anak menjadi kelompok subaltern karena mereka tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mampu mendominasi pihak lain.
YESUS DAN MARIA DALAM INJIL
Pada dasarnya, keempat injil memang bertujuan untuk memberitakan sekaligus merefleksikan kehidupan, pelayanan, kematian, dan kebangkitan Yesus. Oleh karena itu, keempat injil menempatkan Yesus sebagai fokus utama narasinya. Karena fokus inilah, keempat injil memiliki penilaian yang berbeda dan cenderung tidak satu suara terhadap tokoh-tokoh lain di sekitar Yesus. Maria ibu Yesus menjadi salah satu tokoh yang narasinya tampak berbeda antar injil.
Injil Matius hanya menyebutkan nama Maria sebanyak enam kali. Persebarannya tidak merata di seluruh Injil Matius. Penyebutan nama Maria lebih banyak terjadi pada kisah kelahiran Yesus. Dalam babak ini, peran Maria hanya sebagai seorang perempuan yang melahirkan Yesus secara ajaib oleh kuasa Roh Kudus. Sebaliknya peran Yusuf jauh lebih ditampakkan secara aktif oleh penginjil Matius. Yusuf dinarasikan sebagai sosok yang banyak dijumpai oleh malaikat, yakni saat pemberitahuan kelahiran Yesus, perintah untuk lari ke Mesir, serta perintah untuk kembali ke Israel. Sejak babak akhir kedatangan orang Majus, nama Maria mulai tidak disebutkan sampai babak penolakan Yesus di Nazaret (Mat.13:55-56). Nama Maria diucapkan sebagai ucapan penghinaan dan pelecehan terhadap Yesus dan keluarga-Nya. Dengan kata lain, nama Maria dijadikan sebagai kambing hitam. Selanjutnya nama Maria seolah hilang dalam narasi-narasi selanjutnya. Nama Maria disamarkan dengan frasa “ibu”.
Injil Lukas jauh lebih progresif daripada kedua injil sebelumnya. Eksistensi dan peran Maria (terutama dalam narasi kelahiran Yesus) sangat menonjol. Tidak seperti narasi dalam Matius, Maria justru dijumpai oleh malaikat (Luk. 1:26-38). Ketika Yesus lahir, Lukas mencatat bahwa Maria yang memberi-Nya nama, berbeda dengan Matius yang menyebut Yusuf-lah yang memberi nama (Luk. 1:31). Hanya injil Lukas yang memuat cerita perjumpaan Maria dengan Elisabet (Luk.1:39-45). Ketika Yesus lahir hingga saat hilang di Bait Allah pada usia dua belas tahun, Maria jauh lebih menonjol daripada Yusuf. Setelah narasi kunjungan gembala-gembala, Yusuf tidak disebutkan lagi sampai ketika Yesus hilang di Bait Allah. Lukas menjadi injil yang memuat ucapan-ucapan Maria terbanyak dibandingkan injil lainnya.
Photo by Lauren Kan on Unsplash
MARIA DAN YESUS SEBAGAI SUBALTERN: PERISTIWA KELAHIRAN
Berdasarkan narasi Matius, posisi Maria sebagai subaltern sangat nampak. Ketika kehamilannya diketahui, Yusuf hendak menceraikannya tanpa komunikasi apapun. Artinya Maria dipandang sebagai objek yang bisa diperlakukan sesuai keinginan hati laki-laki. Maria juga tidak terlalu menonjol pada saat Yesus lahir. Dalam narasi saat mengungsi ke Mesir, Herodes menjadi sosok yang dominan melalui tindakannya yang otoriter dan patriarki. Dengan tindakannya yang otoriter, Herodes mengerahkan kekuatannya untuk mendominasi kelompok yang tertindas, yaitu perempuan dan bayi-bayi di Betlehem, sedangkan Maria menjadi subaltern. Maria hanya diam dan mengikuti ajakan Yusuf untuk pergi dari Betlehem. Dia tidak mengetahui apa yang telah dan akan terjadi selanjutnya. Injil Matius memang tidak memberi keterangan bagaimana kondisi mereka di Mesir, tetapi sang penulis memberi imajinasi bahwa mereka menjadi orang asing selama tinggal di sana. Maria diperlihatkan sebagai sosok yang pasif dan tidak berdaya sama sekali. Di sini, Yusuf tidak menjadi subaltern, karena Yusuf "mengontrol" Maria secara penuh, alih-alih menyelamatkan diri dari kejaran Herodes. Bagaimana dengan Yesus? Pada saat itu, Yesus juga menjadi subaltern karena Dia masih menjadi bayi yang tidak mampu melakukan apa-apa. Sebagai subaltern, Bayi Yesus hanya mampu menangis dan berlindung pada ibuNya dari penindasan patriarki-kyriarki, padahal ibunya juga seorang subaltern.
Berdasarkan narasi Lukas, Maria menjadi subaltern saat diberikan kabar tentang kelahiran Yesus oleh malaikat. Pemberitahuan ini menghasilkan perasaan yang paradoks: senang karena akan mendapatkan anak sekaligus sedih karena belum bersuami. Maria nampak menggugat pernyataan malaikat Gabriel (Luk.1:34), tetapi pada akhirnya gugatan tersebut tidak membatalkan ketetapan Allah. Akhirnya Maria tunduk pada ketetapan Allah yang beresiko tinggi pada keselamatan sosialnya. Karena menjadi subaltern, Maria berusaha untuk menghimpun kekuatannya dengan mengunjungi Elisabet -yang juga menjadi subaltern karena hamil setelah berusia tua-. Mereka berdua berjuang untuk keluar dari status subaltern. Tetapi mereka tetap tidak beranjak pada status ini, karena mereka adalah perempuan yang tidak diberikan panggung untuk menyuarakan pembebasan mereka dari stigma oleh masyarakat Yahudi. Akhirnya Maria hanya dapat berharap kepada Allah agar Allah membebaskan umat-Nya yang memohon kepedulian-Nya.
Menurut Lukas, Yesus dilahirkan saat Kaisar Agustus mengadakan sensus penduduk. Sensus penduduk ini dilakukan secara de jure yang mengakibatkan semua penduduk perantau harus kembali ke kota asalnya. Yusuf menjadi satu dari sekian banyak perantau yang ‘dipaksa’ pulang oleh pemerintah Romawi. Oleh karena itu, Kaisar Agustus menjadi sosok yang dominan dan puncak dari piramida kyriarki. Meskipun perlu dikaji ulang tentang historisitas sensus tersebut, Lukas hendak menunjukkan bahwa Yesus lahir dalam situasi yang chaos. Narasi Maria sebagai subaltern nampak jelas, bahkan sebelum keberangkatannya ke Betlehem. Lukas mencatat, Maria mengikuti Yusuf kembali ke Betlehem dalam keadaan hamil tua. Maria tidak mampu untuk menolak ikut pergi menuju Betlehem. Dia dibungkam oleh kebijakan pemerintah yang membebani masyarakat tanpa terkecuali. Dia juga dibungkam sebagai seorang perempuan Yahudi yang diwajibkan tunduk pada keputusan suami. Akibatnya Maria harus menanggung penderitaan secara fisik sekaligus psikis: menderita kesakitan akibat kehamilan dan ditindas oleh hegemoni politik yang tidak memiliki belas kasihan terhadap rakyat kecil.
Maria semakin menjadi subaltern ketika melahirkan Yesus. Akibat sensus penduduk, rumah-rumah penginapan menjadi penuh oleh para penginap. Akibatnya Yusuf dan Maria terpaksa menginap di kandang. Lawrence Stager dan Philip J. King menunjukkan bahwa dalam struktur rumah zaman Israel kuno, rumah milik orang Israel umumnya bertingkat dua. Ruangan-ruangan dalam rumah berada di lantai atas. Lantai bawah difungsikan sebagai kandang dan ruang kerja. Meskipun tetap lahir dalam "rumah', Maria dan Yesus tetap terdominasi sebab mereka berada tepat di bawah tempat pemilik rumah berpijak. Mereka berada di tempat paling bawah sehingga mereka seolah setara dengan binatang. Bahkan Yesus bisa dikatakan sedikit lebih rendah dari binatang ternak karena Dia dibaringkan di palungan.
Photo by Dawn McDonald on Unsplash
NATAL YANG MEMBEBASKAN SUBALTERN
Penderitaan Maria dan Yesus yang ditampilkan oleh penulis injil menunjukkan bahwa Yesus dan Maria sebenarnya merupakan bagian dari subaltern. Mereka masuk dalam golongan masyarakat yang tidak diperhitungkan karena latar belakang mereka. Yesus tidak diperhitungkan karena usia dan status ekonomi, terlebih lagi Maria karena jenis kelamin, status ekonomi, dan sosio-kultur masyarakat.
Sekali lagi, mari kita melihat kembali kehidupan Yesus dan Maria yang menjadi subaltern. Dalam komunitas gereja kita, tentu ada orang-orang yang mungkin menjadi subaltern tanpa kita sadari. Yesus dan Maria adalah representasi dari kelompok-kelompok masyarakat subaltern yang tidak berdaya dalam menghadapi hegemoni kekuasaan politik dan kultural. Mereka yang menjadi subaltern juga mengalami ketidakberdayaan dalam bentuk yang berbeda-beda.
Natal adalah momen ketika Allah bersolidaritas dengan penderitaan manusia, terutama mereka yang selama ini ditindas oleh sistem yang tidak adil. Kelahiran Yesus memberi keyakinan dan harapan yang pasti bahwa Allah tidak jauh dari hidup manusia. kelahiranNya menjadi tanda hadirnya keadilan, sukacita, dan damai sejahtera yang selama ini diidamkan oleh seluruh umat manusia. Oleh sebab itu, di momen Natal ini kita diajak untuk mulai memperhatikan sesama dan peka terhadap kondisi mereka. Mari kita hadirkan sukacita Natal yang membebaskan itu ke dalam dunia melalui tindakan baik kita.
(Artikel ini merupakan kristalisasi dari tugas akhir saya pada mata kuliah Filsafat & Teologi Kontemporer di Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta dengan judul: “Ibu, Kita Jadi Korban Hegemoni!: Tinjauan Maria & Yesus Sebagai Subaltern Menurut Gayatri Spivak & Elizabeth Schüssler Fiorenza Sebagai Kritik Bagi Tradisi Protestan”).
DAFTAR PUSTAKA
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: