Sungguh sayang kalau kita hanya menunggu, jika tidak berbenah diri dahulu.
Hidup dalam ruang dan waktu membuat kita belajar bahwa segala sesuatu membutuhkan proses. Ketika dibutuhkan waktu untuk melakukan atau memproses sesuatu, di situ juga kita harus menunggu. Terkadang, menunggu merupakan salah satu hal yang sulit dilakukan untuk sebagian orang. Tak jarang ada orang yang beranggapan bahwa menunggu adalah hal yang sangat membosankan. Misalnya ketika kita memasak air, tentu butuh waktu hingga airnya mendidih. Memasak mi instan pun butuh waktu supaya matang—meskipun menggeliat kelaparan. Atau coba bayangkan saat kita sedang menanti datangnya makanan yang dipesan pada sebuah rumah makan dalam kondisi perut kosong (ditambah lagi antrean yang sangat panjang dan membuat kita berpikir dua kali membeli makanan di sana). Kondisi-kondisi seperti ini mungkin terasa berjalan cukup lama, kan?
Selain tiga contoh di atas, kita punya banyak hal yang "mengharuskan" kita menunggu—suka atau tidak. Misalnya menunggu mendapatkan panggilan kerja, menunggu rezeki, menunggu hadirnya jodoh yang Tuhan rencanakan untuk kita, dan lain sebagainya. Ketika jawaban atas penantian kita tak kunjung datang, alih-alih membuat diri kita semakin berserah kepada Tuhan, terkadang justru menimbulkan suatu kekhawatiran tersendiri bagi sebagian orang. Makan tak enak, tidur pun tak nyenyak, kurang lebih begitu yang dirasakan.
Berbicara tentang menunggu dan kekhawatiran, saya jadi teringat akan pengalaman saya beberapa waktu lalu. Saya pernah berada pada titik terberat dalam hidup saya, yang sudah banyak kali menaruh lamaran pekerjaan dan mengikuti interview kerja, tetapi belum juga membuahkan hasil. Hal ini berlangsung selama hampir satu tahun. Saat itu, hubungan saya dengan pacar juga harus kandas di tengah jalan. Sedih, galau, gelisah, dan rasa kehilangan bercampur menjadi satu. Serasa dunia runtuh saat itu. Saya yang terbiasa sharing pergumulan dan aktivitas sehari-hari kepada doi, kini kehilangan sosok yang selalu mendengar keluh-kesah saya. Saat itu saya hanya bisa mengurung diri di kamar, dan bertanya-tanya pada diri sendiri, “Apa yang harus saya lakukan sekarang? Apakah saya gagal? Tidak adakah harapan untuk masa depan saya?”
Photo by Kamran Mazari on Unsplash
Bagi saya, kesedihan dan kegalauan merupakan salah satu penghambat terbesar untuk melangkah maju. Memang semuanya butuh waktu untuk pulih. Time will reveal. Waktu akan mengungkap kapan saya pulih. Waktu akan mengungkap, kapan saya bisa menerima kenyataan dan berdamai dengan keadaan. Namun, di tengah-tengah “kehancuran” saya inilah saya menemukan sebuah kalimat yang mungkin akan selalu menjadi penyemangat di saat saya terpuruk. Kalimat ini saya temukan pada buku The End of Me milik Kyle Idleman yang berbunyi, “Kuasa Tuhan nyata, saat saya tidak mempunyai apa-apa.” Sungguh kalimat yang kontradiktif. Di saat kita tidak mampu berbuat apa-apa, Tuhan justru menunjukkan kebesaran-Nya. Tanpa sadar, air mata saya pun terjatuh teringat akan apa yang sedang saya alami. Saya rasa Tuhan ingin menyampaikan sesuatu pada saya, saat itu.
Tidak berhenti di sana, kasih Allah yang besar itu menguatkan saya melalui kakak saya yang pada suatu hari menelepon dan menguatkan, “Jangan nyerah, ya! Suatu saat kamu pasti dapat pekerjaan, asal kamu terus berusaha. Kamu ga terlambat kok. Mungkin kamu berada di situasi saat ini, karena Tuhan sedang mempersiapkan kamu untuk suatu hal.” Kata-kata yang singkat tetapi penuh makna tersebut mampu mengubah pandangan saya terhadap penantian yang saya jalani. Jika dipikir-pikir, kalau Tuhan sedang mempersiapkan kita untuk suatu hal, bukankah kita juga perlu berbenah diri? Sungguh manis, karena DIA masih menunjukkan kebesaran kasih-Nya dengan memakai orang-orang di sekitar saya untuk menguatkan saya. Dari situasi ini, saya tersadar bahwa daripada memakai waktu yang saya miliki untuk terus-menerus meratapi keadaan, lebih baik saya memakai waktu “tunggu” yang ada untuk menggali potensi diri dan belajar hal-hal baru, demi membekali diri sebelum bekerja nantinya.
Ignite People, sadarkah kita bahwa Allah tidak pernah bosan mengingatkan kita supaya tidak perlu khawatir terhadap apa yang sedang kita hadapi? Salah satunya adalah melalui ayat di bawah ini:
“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.”
—Filipi 4:6-7
Tuhan tidak pernah menjanjikan jalan hidup kita selalu lurus tanpa hambatan. Ada kalanya Tuhan memang mengizinkan perasaan yang membuat kita tidak nyaman seperti takut, cemas, gelisah, sedih dan kawan-kawannya menghampiri kita. Namun, di balik semua itu, Tuhan memperhatikan dan turut bekerja dalam kehidupan kita. Mungkin kita sempat melupakan bahwa hidup kita ada di Tangan Sang Empunya hidup. Sehelai rambut kita pun tidak akan jatuh tanpa seizin-Nya (Lukas 21:18). Akan tetapi, hal yang tidak kalah penting dari semua itu adalah bagaimana cara kita merespons perasaan-perasaan tersebut, dan setiap orang tentu memiliki caranya masing-masing dalam merespon suatu peristiwa.
Photo by Artem Maltsev on Unsplash
Jika ditarik kembali ke masa di mana saya sedang terpuruk, saya baru menyadari bahwa Tuhan mendengarkan lebih dari yang saya doakan, dan menjawab lebih dari yang saya harapkan. Tuhan tidak pernah kehabisan cara supaya saya tidak merasa sendiri. DIA mencelikkan mata saya, sehingga saya boleh melihat dan menemukan “tempat” berbagi keluh kesah yang tidak melulu harus ke pasangan—bisa saja ke orang tua, saudara, sahabat, orang gereja, teman gowes, dan beberapa teman dekat saya. Di samping itu penantian panjang saya mulai menemukan titik terangnya. Saya yang akhirnya mendapatkan pekerjaan, bersyukur karena “bekal” yang saya persiapkan ternyata dibutuhkan dalam pekerjaan saya.
Pergumulan yang tak kunjung menemukan jawabannya kerap kali menimbulkan kekhawatiran dan kecemasan yang membuat kita takut untuk melangkah. Pilihan kita hanya ada dua, apakah kita akan terus larut dalam kesedihan dan kawan-kawannya? Atau justru kita bangkit, dan mengizinkan DIA yang memimpin kehidupan kita? Setiap keputusan yang kita ambil, ada tangan Tuhan yang turut serta. Bukan berarti Dia "melegalkan" pilihan kita, tetapi kehadiran-Nya menunjukkan bahwa Dialah yang berdaulat atas hidup kita. Pilihan yang "tepat" maupun "bodoh" bagi kita saat keputusan diambil, bisa Tuhan pakai untuk memperkenalkan diri-Nya lagi dan lagi kepada kita, anak-anak-Nya yang rapuh tetapi dikuatkan di dalam anugerah-Nya.
Selamat bertumbuh dalam tunggu bagi kita semua. Kiranya damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal, memelihara hati dan pikiran kita semua.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: