Tolak ukur kesuksesan acara ini pertama-tama bukan soal apa yang dapat kamu lakukan untuk gerejamu semata; namun soal dirimu! Biarkanlah camp ini menjadi kesempatan perjumpaan yang mengubahkan. Pertama-tama, mengubahkan diri sendiri.
Apa yang ada di benak kita ketika mendengar kata “camp gereja”?
Mungkin sebagian dari kita sudah bosan mengikutinya dan bahkan untuk sekedar mendengar namanya. Sikap itu memang tidak salah, terlebih di tengah ketiadaan variasi bentuk atau model dari berbagai camp yang diselenggarakan oleh banyak gereja.
Ada beberapa hal yang sangat identik dengan camp gereja. Misalnya saja dalam segi tempat. Dataran tinggi kerap dipilih sebagai tempat terselenggaranya camp. Bagi mereka yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya, Puncak dan Cipanas menjadi daerah yang kerap kali digunakan. Begitu juga dengan daerah sekitar Prigen dan Pacet, teruntuk mereka yang berasal dari Surabaya dan sekitarnya.
Ataupun juga dari segi acara. Camp biasanya terdiri dari berbagai sesi yang dinilai membosankan dan melelahkan. Pada tahap ini, panitia harus bekerja ekstra memikirkan berbagai ice breaking model apa lagi yang harus mereka mainkan agar dapat menghilangkan kebosanan dan keletihan yang dialami peserta camp.
Realita di atas tidak mungkin kamu temukan di camp yang satu ini. Menantang. Itu menjadi kesan bagi banyak dari kami setelah mengikuti acara ini. Sesuai namanya, Beyond Borders Vacation Camp (BBVC) bukanlah sembarang camp. Itu dikhususkan bagi muda-mudi yang tertantang untuk melampaui batas dirinya.
BBVC adalah wadah bagi para generasi muda gereja untuk menyadari keberadaan dan peranan mereka di tengah lingkungan dan membangun persahabatan serta menyadari panggilan mereka di tengah alam semesta. Kegiatan ini juga mejadi sarana untuk menungakan ide-ide kreatif mereka untuk dapat menjawab berbagai persoalan sesuai kemampuan dan jangkauan mereka.
Setelah sukses terselenggara pada 7-12 Juli 2018 lalu, BBVC juga telah berhasil menyelenggarakan campnya yang kedua. Acara yang terselenggara karena kerjasama antara EBM Ministries dan DPPSDM GKI Sinode Wilayah Jawa Timur berlangsung pada 7-12 Juli 2019 lalu dengan tajuk “Footprints in Your Hearts”. Acara ini berlangsung di lintas-pulau karena Banyuwangi dan Jembrana, Bali dipilih menjadi tempat terseleggaranya BBVC yang kedua ini.
Setelah mengikuti camp ini, sedikitnya ada tiga hal unik yang membedakan BBVC dengan camp-camp lainnya, antara lain:
1. Perjumpaan
Ada ratusan peserta yang berasal dari berbagai gereja (GKI se-Jawa Timur dan GKJW Sumber Pakem Bondowoso). Pasti bisa dibayangkan betapa ‘kompleks’nya camp ini. Namun itu pula yang menjadi keunikannya. Bukan hanya sekedar relasi yang terbangun diantara banyak peserta camp lintas Gereja, namun juga kita dapat mengerti apa arti keberagaman gereja: berbagai program unik yang dijalankan oleh gereja dan bahkan pergumulan hingga masalah yang dihadapi gereja dalam berbagai programnya tersebut.
Tidak cukup sampai di situ, yang menjadi hal spesial dari camp ini adalah adanya kehadiran teman-teman muda dari GKI San Jose, California, Amerika Serikat. Kehadiran mereka tentu tidak sebatas hanya untuk diajak selfie, kemudian di-upload ke Instagram dan akhirnya cukup pada sikap berbangga diri karena memiliki teman seorang bule. Di camp ini, peserta semakin mengetahui bagaimana mengenal kultur negara lain dan terkhusus berbagai program gerejawi di GKI San Jose. Ini juga merupakan kesempatan yang bagus pula untuk melatih skill berbahasa Inggris!
Dalam camp ini, ratusan anak muda juga diajak untuk berjumpa dengan ‘sang liyan’ (the other). Melalui kapita selekta yang disajikan, masing-masing peserta dapat berelasi dengan mereka yang berbeda agama dan berbeda gender dan seksualitas. Ataupun juga perjumpaan para peserta dengan anak yatim piatu di Desa Blimbingsari, Jembarana, Bali. Banyak dari peserta yang mengungkapkan bahwa ini merupakan pengalaman pertamanya bertemu dengan berbagai komunitas-komunitas yang berbeda dengan dirinya.
Hadirnya perjumpaan dan ruang dialog dengan yang lain itu sejatinya mengundang kita untuk dapat memahami pentingnya merangkul perbedaan. Dari hal itu pula, muncul sikap untuk menolak segala bentuk diskriminasi, terlebih mewujudkan kasih Kristus kepada mereka yang terpinggirkan.
Kita seharusnya terinspirasi dari kisah Orang Samaria yang Murah Hati (Luk 10:25-37). Perbedaan etnis dan ritual di antara orang Samaria dan orang Yahudi tidak menjadi tembok pembatas untuk berbuat baik. Yesus, dalam perumpamaan itu, secara tak langsung mengajak kita untuk merefleksikan diri: apakah saya sudah membawa diri saya sebagai seorang sesama manusia?
Perikop ini secara mengejutkan telah menarasikan bahwa orang yang ditolong dan menolongnya adalah orang yang berbeda dengan kaumnya. Kita diundang untuk menerima dan mengasihi yang berbeda dengan kita, termasuk mereka yang sudah menghina bahkan mengasingkan kita.
2. Petualangan
Hal satu ini menjadi penyebab utama camp ini terasa melelahkan (namun juga menyenangkan!). Acara ini memang di desain dengan model moving camp dengan segudang aktvitas yang diikuti peserta: mulai dari edutrip, diskusi, refleksi, games, wisata kultural, wisata rohani, dan masih banyak hal lainnya. Ribuan langkah kaki tercatat telah ditapaki selama camp ini berlangsung.
Hari pertama para peserta sudah diajak mengarungi lautan. Puluhan perahu dengan masing-masing armada yang dapat membawa belasan penumpang siap mengangkut kami untuk menyebrang dari Banyuwangi menuju Pulau Tabuhan. Perjalanan ditempuh tiga puluh menit yang terasa hampir berjam-jam karena bertubi-tubi ombak ‘menghantam’ kami. Banyak kegiatan yang dilakukan: mulai dari Kebaktian Minggu dan Perjamuan Kudus di pinggir pantai, aksi bersih-bersih, hingga kegiatan edukasi menanam terumbu karang. Melalui itu, kami belajar arti pentingnya menjaga lingkungan.
Lihatlah bagaimana Allah menyajikan keindahan alam itu semua. Itu telah diberikan Allah kepada manusia secara cuma-cuma (Lih. Kej 1:28-30). Alih-alih menciptakan tindakan barbar atas pemberian bumi ini, kita sebenarnya diundang untuk menghargainya. Kita tak boleh hanya diam termenung untuk menikmatinya! My earth, my mother: kita diutus untuk menjadi komunitas iman yang melestarikan keutuhan alam ciptaan karena melaluinya, kita memuliakan Tuhan.
Eksplorasi terus dilanjutkan oleh peserta camp. Banyak pengalaman baru yang dituai oleh peserta ketika mengunjungi Air Terjun Kalibendo di Banyuwangi ataupun ketika melakukan berbagai kegiatan di Desa Blimbingsari Bali. Kegiatan itu meliputi banyak hal: nuansa alam seperti hiking, peternakan hewan, hingga perkebunan. Atapun juga nuansa budaya seperti musik dan tarian bali hingga kerajinan penjor dan pembuatan roti.
3. Kebebasan yang Bertanggung Jawab
Hal terakhir ini tentu menjadi ciri khas yang diminati anak muda: kebebasan. Jika banyak camp yang mengikat peserta dengan berbagai aturan dan tata tertib, itu berbeda dengan BBVC. Namun tanpa aturan bukan berarti tak beraturan. Kebebasan sejati adalah ketika ia berani bertanggung jawab ketika menjalankan kebebasannya itu. Salah satu contohnya yakni tentang penggunaan gadget yang kerap kali dilarang untuk digunakan dalam camp. Dapat dipahami bahwa alasan utamanya yakni gadget yang kerap membatasi interaksi peserta dengan orang lain.
Namun, di BBVC, gadget lebih dimaknai secara positif. Justru itu menjadi sarana untuk dapat mengabadikan dan membagikan berbagai momen yang dialami selama camp. Berbagai materi dan informasi penting juga dapat dibagikan panitia kepada peserta melalui gadget, sehingga karenanya, memudahkan koordinasi dan tentunya menghemat bahan konvensional seperti kertas. Contoh kecil namun memiliki makna yang berarti.
Penutup
Masih dalam camp yang sama, seorang rekan mengungkapkan kekhawatirannya kepada saya. Ia bingung akan apa yang harus ia lakukan di gerejanya seusai mengikuti camp ini. Kekhawatiran tampak ketika ia membayangkan bahwa dirinya akan disidang oleh Majelis Jemaat yang meminta pertanggungjawaban untuk itu semua. Ia takut jika muncul celotehan yang berkata, “Percuma sudah dibayarin gereja ikut acara ini, tapi enggak menghasilkan apa-apa!”.
Sahabat, hemat saya, tolak ukur kesuksesan acara ini pertama-tama bukan soal apa yang dapat kamu lakukan untuk gerejamu semata; namun soal dirimu! Biarkanlah camp ini menjadi kesempatan perjumpaan yang mengubahkan. Pertama-tama, mengubahkan diri sendiri.
Berusahalah untuk menemukan Tuhan di dalam segala. Termasuk di dalam camp ini dengan segala dinamika yang telah terjadi di dalamnya. Biarkan kita berproses pada penemuan itu, hingga pada akhirnya kita seperti Zakheus yang mengalami pembaharuan hidup setelah mengalami perjumpaan dengan-Nya (Luk 19:1-10).
Sungguh-sungguh perjumpaan yang mengubahkan!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: