The function of prayer is not to influence God, but rather to change the nature of the one who prays. (Soren Kierkegaard, teolog Kristen Denmark, sekaligus bapak filsafat eksistensialisme pada abad ke-19)
(Artikel ini mengacu pada Kejadian 18:16-33)
Sebagai orang Kristen, kita senantiasa memaknai doa sebagai napas kehidupan. Doa merupakan identitas sekaligus bahasa iman yang memperjumpakan relasi umat-Nya dengan Allah. Doa adalah intisari hidup beriman, bahkan Tuhan kita Yesus Kristus sendiri secara khusus mengajarkan kita untuk berdoa, yaitu melalui Doa Bapa Kami. Ini menunjukkan bahwa doa termasuk inti kehidupan orang (yang mengaku) percaya kepada Allah Bapa di dalam Anak-Nya yang tunggal, Tuhan Yesus Kristus.
Jangankan agama Kristen, agama-agama maupun kepercayaan lain—secara esensial—mengajarkan para penganutnya untuk melakukan praktik doa. Uniknya, praktik doa dalam agama Kristen bukanlah yang pertama di dunia, karena banyak agama dan kepercayaan dari belahan bumi mana pun telah menjadikan praktik doa sebagai bagian dari ritus keagamaan jauh sebelum Kekristenan hadir. Bahkan praktik doa sudah ditemukan pada peradaban manusia sejak puluhan ribu tahun yang lalu. Beragam praktik doa ini kemudian kita kenal dalam animisme, totemisme, dinamisme, dan lain sebagainya.
Fenomena di atas menyiratkan sebuah arti, bahwa dalam sejarah peradaban manusia selalu ada pengalaman religius (melalui beragam praktik doa) yang memperjumpakan manusia dengan Yang Ilahi. Rudolf Otto menegaskan bahwa pengalaman religius ini muncul oleh karena adanya kesadaran unik manusia yang melihat dirinya sebagai sesuatu yang tidak berdaya dan membutuhkan suatu wujud pertolongan dari Yang Ilahi, “Yang Numinus”, atau “Yang non-rasional” serta “Yang tidak terindrakan itu”. Pengalaman perjumpaan manusia dengan Yang Ilahi ini menjadi unik oleh karena manusia akan merasakan perasaan yang tidak dapat dijelaskan, menggetarkan namun juga memesona (mysterium tremendum et fascinosum). Maka jelaslah bagi kita sekarang, bahwa konsep inti dari praktik doa selalu menyiratkan adanya suatu relasi yang memperjumpakan Allah dan manusia, dan melalui doanya manusia senantiasa membawa pengharapannya untuk memperoleh “pertolongan” atau “tuntunan” dari Tuhan.
Photo by Luis Alberto Sánchez Terrones on Unsplash
Dalam kehidupan sehari-hari, secara praktis dan positif, doa menjadi kebiasaan kita. Namun, sering kali kita mendapati bahwa doa hanya dimaknai sebagai suatu kebiasaan belaka, atau bahkan tak jarang kita terjebak pada pemahaman bahwa doa adalah suatu bentuk “formalitas” iman belaka. Doa kemudian menjadi kehilangan makna khususnya, doa menjadi hal yang lewat-lewat saja, di tengah riuhnya kesibukan dan aktivitas kita.
Lebih menarik dari itu, dalam realitas yang sering kita jumpai, banyak orang justru pergi berdoa ketika sedang berada di dalam kesesakan dan kesusahan hidup. Banyak orang merasa bahwa ketika ia berdoa, maka segala permasalahan atau segala yang menjadi keinginannya seketika langsung dapat menjadi tuntas dan baik adanya. Ada juga di antara kita yang berdoa hanya karena ingin permohonan kita selalu dikabulkan. Seolah-olah kita sedang melakukan “tawar menawar”, atau sedang “berdagang” keinginan dengan Allah. Menjadikan Tuhan serupa dengan mesin (deus ex-machina) yang harus mengabulkan segala kehendak dan keinginan kita. Namun selepas dari itu, kemudian kita dengan mudah melupakan relasi kita yang utuh dengan Allah. Sungguh suatu sikap doa yang transaksional kapitalistis.
Maka pertanyaan besarnya sekarang adalah:
Apakah doa yang demikian yang dikehendaki oleh Allah?
Bagaimana kita, umat Kristen, membangun kehidupan doa yang sejati?
Photo by Pedro Lima on Unsplash
Dari kisah Abraham yang berdoa untuk Sodom, kita dapat belajar bahwa doa yang sejati adalah tentang membangun relasi yang intim dengan Allah. Relasi Abraham yang sangat akrab dengan Allah membuat ia bisa berdoa serta meminta agar Allah tidak menghukum Sodom. Ini bukan kali pertama Allah berkomunikasi dan berelasi dengan Abraham. Kendati demikian, dalam doanya Abraham senantiasa merendahkan hati di hadapan Allah dan tak sekalipun ia memaksa Allah untuk mengikuti kehendak dan permintaannya. Hal ini juga menunjukkan bahwa Abraham merupakan seorang yang memusatkan kehidupan doa, dengan rendah hati, sekaligus berserah penuh kepada Allah di dalam segenap hidupnya, di saat suka maupun duka. Itulah sebabnya Abraham disebut sebagai “bapa orang beriman”.
Doa bukanlah suatu aktivitas iman yang bersifat final dan transaksional kapital. Doa bukanlah sesuatu yang selepas berkata "Amin", maka urusan kita dengan Allah selesai begitu saja. Membiarkan langit bekerja menuruti segala kehendak kita. Terlepas doa-doa kita terkabulkan atau tidak, itu semua hanya prerogratif Allah semata. Melainkan, doa yang otentik adalah tentang membangun relasi bersama dengan Allah sebagai karib dan sahabat sejati kita. Seorang sahabat senantiasa mendengarkan pergumulan karibnya. Walaupun, mendengarkan belum tentu berarti selalu mengabulkan.
Dan oleh karena doa merupakan identitas serta bahasa iman kita, hendaknya kita umat Kristen menjadikan doa sebagai wujud ungkapan relasi kita yang sejati bersama Allah, dalam segala situasi hidup kita, suka maupun duka.
Sebab Allah ada, sedekat doa kita kepada-Nya.
Tetaplah bersetia dalam doa.
Kiranya Tuhan menolong kita.
Soli Deo Gloria!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: