Setiap manusia hidup dan beraktivitas dalam keterbatasan waktu, termasuk untuk mencintai.
Yap, kadang kita merasa cinta manusia pun dibatasi waktu. Dalam fase relasi jarak jauh contohnya, tentu memberikan cinta secara langsung akan terbatas oleh waktu untuk bertemu. Atau kita yang sedang suka seseorang, tapi sadar sebentar lagi akan berpisah karena segera lulus dan mungkin jadi jarang bertemu. Begitu pun terbatasnya cinta kepada orang tua oleh waktu yang mungkin memisahkan, dalam bentuk kondisi mereka yang sudah tidak sehat lagi. Yap, tak bisa dipungkiri bahwa waktu memiliki pengaruh terhadap rasa cinta yang kita miliki. Lantas bagaimana kita menyikapi realita ini?
Kisah berikut sedikit banyak akan memberikan pembelajaran mengenai pemaknaan mencintai dengan realitas waktu yang terbatas.
Short Story from Her
"Liv, minta password wifi dong," tanya seorang teman yang sedang main ke rumah. Gue menyebutkan tiga nama pria padanya. Ia tampak agak heran, karena tahu bahwa satu-satunya pria di rumah hanyalah ayah saya. "Siapa ini? Nama-nama mantan?"
#Bhay --__--
Gue seorang kekasih yang buruk – bukan sekali dua kali dikomplain soal ini. Gue ga pernah tahu seperti apa “mencintai” yang baik dan benar, tapi gue banyak belajar dari Daniel, Joshua dan Black (nama disamarkan untuk privasi – ya, privasi password wifi gue).
Karena gue dan nyokap alergi dengan kucing dan anjing, pilihan peliharaan keluarga kami sering jatuh pada kelinci, baik yang biasa maupun lion. Kelinci bukan hewan yang 'fancy'; orang bilang gampang mati, sehingga umurnya pendek. Namun ketika bersama makhluk berbulu itu, gue belajar banyak hal. One taught me love, one taught me patience, one taught me pain, kalau kata Ariana Grande.
Love, dalam artian seekor kelinci itu bisa mengekspresikan sayang meski ia tidak bersuara.
Photo by Leximphoto on Unsplash
One taught me love...
Bersama Daniel, gue belajar mendengarkan hal-hal yang tidak bersuara. Gue belajar bahwa rasa sayang tidak selalu didengar oleh telinga, tapi pasti dirasakan hati. Setiap kali ia mengitari kaki sepulang sekolah, gue tahu bahwa kehadiran gue berarti baginya.
One taught me patience...
Joshua adalah salah satu kelinci terbandel yang menguji kesabaran hingga ke ubun-ubun. Tidak bisa diatur – kadang dia sakit akibat ulahnya sendiri mengoreki tong sampah rumah dan iseng memakan hal-hal yang ia temukan di sana. Gue selalu bergegas ke rumah sakit hewan tiap kali ia sakit, membayar biaya vaksin, obat, dan dokter yang jauh melampaui harganya sebagai kelinci kampung biasa. Mendadak gue sadar, orang yang mencintai tidak pernah merasa berkorban.
One taught me pain...
Black adalah kelinci jenis lion yang dibeli dari petshop di sebuah mal. Gue menyaksikannya berevolusi dari bola kapas hitam kecil yang penakut menjadi kelinci hitam kelabu yang gagah. Gue mengajarinya naik-turun tangga rumah, dan ia senang sekali ikut gue atau pun kakak keliling rumah. Tahun ketujuh, gue menyimpan cemas karena makin tua, Black makin sering sakit-sakitan. Ia juga butuh perawatan khusus untuk bulunya yang panjang. Namun di saat yang sama, gue menerima sebuah proyek pekerjaan baru yang menggiurkan, dan akan sering meninggalkan Black. Hari itu akan menjadi awal dimulainya masa dinas gue.
Alangkah kagetnya, pagi hari Black sudah terbujur kaku di kandangnya. Hingga kini gue percaya, dengan caranya sendiri Black tahu bahwa gue tidak kuasa lagi merawatnya. Black mungkin tahu bahwa sudah saatnya ia pergi, karena gue sudah terlalu sibuk untuk mengajaknya bermain. Rasanya hari-hari setelah itu, gue banyak berdiam diri dan berpikir. Dan hingga kini, gue belum pernah membeli kelinci lagi.
Photo by Veronika Homchis on Unsplash
Cinta, Waktu dan Energi
Oliv memiliki banyak pembelajaran mencintai dengan kelinci-kelincinya. Begitu pun denganku, yang pernah memelihara kucing, anjing, ikan, burung, dan hamster. Mereka semua memberikan pembelajaran akan cinta. Melalui hewan peliharaan, kita bisa merasakan bahwa cinta bukanlah barang permanen, yang selalu abadi, melainkan ada tanggal kedaluwarsanya. Persis seperti yoghurt di luar kulkas.
Ketika hewan peliharaan kita mati, kita merasa sedih. Namun tanpa disadari, waktu kita melihat hewan peliharaan lain, atau setiap kali terbayang kembali kelebatan langkah hewan peliharaan kita di sudut rumah, rasanya cinta tersebut tidak sepenuhnya kedaluwarsa. Ia hanya berubah bentuk – layaknya energi yang menurut teori fisika tidak bisa dimusnahkan.
Cinta itu selalu ada dalam diri kita. Meski waktu kebersamaan dengan hal yang kita cintai relatif singkat, ia tidak hilang. Ia dapat berubah menjadi energi keceriaan, kepekaan, dan kadang, rindu. Cinta adalah energi, dan ia tidak tunduk sepenuhnya pada keterbatasan waktu.
Dengan energi yang kita miliki, kita bisa menggunakan waktu dengan efektif, untuk mencintai. Tidak beda jauh dari Yesus ketika Ia memberitakan kematian-Nya dalam Yohanes 12: 35, Ia menyatakan bahwa, “Hanya sedikit waktu lagi terang ada di antara kamu.” Kehidupan Yesus memang relatif singkat, mati di usia yang muda, diperkirakan 30-33 tahun. Meskipun demikian, dengan waktu pelayanan dan kehidupan bersama dengan para murid selama kurang lebih 3 tahun, Yesus total dalam memberikan energi dan menyatakan cinta
Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash
Ada ‘Tanggal Kedaluwarsa’, Tetaplah Mencinta!
So, dalam hidup yang relatif terbatas ini, berbagai hal memang memiliki “tanggal kedaluwarsa”-nya masing-masing. Namun, apakah itu berarti cintamu akan ikut menjadi terbatas? Gunakan energimu untuk menyatakan cinta secara total, baik kepada orang yang kita kagumi, pasangan kita kini, saudara, orang tua, maupun hewan peliharaan kita.
Sedikit banyak lagu indie di bawah seolah menasihati kita bahwa kita perlu memakai waktu yang terbatas untuk menyatakan cinta dengan penuh energi. Selamat mencinta!
When you love someone
Just be brave to say that you want him to be with you
When you hold your love
Don't ever let it go
Or you will loose your chance
To make your dreams come true.
Endah n Rhesa: When You Love Someone
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: