Beberapa waktu belakangan ini, bertepatan dengan peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia (World Mental Health Day) pada 10 Oktober lalu, banyak pihak yang membahas tentang tentang toxic, baik toxic people hingga toxic relationship.
Kalau diartikan, toxic sendiri berarti racun. Sedangkan toxic people ataupun toxic relationship itu berarti sudah orang atau relasi yang tidak sehat atau “harus kita hindari.” Sudah umum dipahami jika kita berada dalam suatu relasi yang tidak sehat, dampaknya akan buruk bagi kita.
Yang namanya racun pasti jelas tidak ada yang mau ya Ignite People, sebab racun itu pasti berbahaya, hingga fatalnya bisa membunuh kita. Racun juga ibarat “sampah.” Kalau tidak dibuang, lama-kelamaan pasti akan menimbulkan bau yang tidak sedap. Di samping itu, jika sampah tidak dibuang, bukankah sampah itu juga akan menjadi sumber penyakit bagi kita?
Bagaimana jika toxic itu ada dalam diri kita?
Dahulu orang mungkin belum begitu peduli akan kesehatan mental, namun seiring berjalannya waktu, kesehatan mental mulai menjadi perhatian bagi banyak pihak. Bahkan, tak jarang orang juga mau melakukan konsultasi ke psikolog.
Meskipun begitu, banyak pula orang yang enggan melakukan konsultasi ke psikolog. Sebab, tak jarang orang berpikir kalau konsultasi ke psikolog berarti kita cenderung memiliki “gangguan mental” ataupun ragu jika nanti cerita kita akan terbongkar. Maka, tak heran jika banyak orang yang lebih memilih memendam masalahnya.
Penyebab lain, banyak orang masih beranggapan bahwa kita bisa menjadi “toxic” bagi orang lain ketika menceritakan permasalah kita.
Bagaimana jika benar seperti itu?
Aku pun sempat terbersit pemikiran tersebut.
Sebagai kaum bagian dari kelompok disabilitas, memang banyak orang bilang melihatku mudah untuk tersenyum. Akan tetapi, bukankah seringkali orang mengatakan “Bukan hidup jika tanpa masalah”? Bahkan, sekalipun kita mengaku sebagai anak Tuhan dan berkomitmen untuk setia mengikut-Nya, tak berarti hidup kita akan bebas tanpa masalah. Justru dengan masalah-masalah itulah, mental kita akan terlatih.
Walaupun aku memiliki keyakinan begitu, kenyataannya tidak semudah orang membalikkan telapak tangan dan tidak semudah yang diucapkan.
Sampai belum lama ini, tak sengaja aku menemukan satu Firman Tuhan pada suatu postingan feed di Instagram:
“Apabila engkau menyeberang melalui air, Aku akan menyertai engkau, atau melalui sungai-sungai, engkau tidak akan dihanyutkan; apabila engkau berjalan melalui api, engkau tidak akan dihanguskan, dan nyala api tidak akan membakar engkau.”
-Yesaya 43 : 2
Aku pun kembali diingatkan bahwa walau hidup tak selalu membuat kita nyaman, sikap orang-orang terdekat kita dapat berubah, atau mungkin saja orang-orang disekeliling kita menjauhi kita. Namun, Dia akan selalu menyertai kita.
Demikian pula untuk situasi pandemi seperti saat ini. Situasi ini tentu dapat membuat kita menjadi kalut. Banyak orang kehilangan mata pencaharian, dan masalah-masalah lainnya, sehingga seolah semua ini tidak akan ada habisnya. Secara langsung ataupun tidak, hal ini dapat mempengaruhi emosional kita, terlebih dalam keluarga. Hingga akhirnya, mungkin saja kita pun akan menjadi “toxic” bagi diri sendiri maupun anggota keluarga kita.
Jika sudah seperti ini, apakah berarti aku hanya akan menjadi racun bagi diriku maupun orang-orang disekelilingku?
Ya, dulu aku begitu ragu untuk curhat ke teman. Aku berpikir bahwa kondisi fisikku saja mungkin sudah memberatkan orang-orang di sekelilingku, bukankah dengan curhatanku, aku justru akan menambah beban mereka?
Bertahun-tahun aku memiliki pemikiran seperti ini, hingga akhirnya aku menjadi orang yang bisa dikatakan lebih banyak mendengarkan curhatan maupun keluh-kesah orang ketimbang sebaliknya. Sampai pada akhirnya, Tuhan membuatku begitu lelah karena harus mendengarkan orang, yang mana akhirnya di waktu itu Tuhan mempertemukanku dengan seorang kakak, dan aku pun mengutarakan betapa lelahnya menjadi “pendengar.”
Begitu mengejutkannya ketika ia menjawab “Kalau gitu kamu hanya sekedar jadi tempat sampah!”.
Hal itu sungguh membuatku tertegur.
Akan tetapi, bersyukur kalau Tuhan tidak membiarkanku selamanya berpikir bahwa ketika aku cerita keluh-kesahku berarti aku menyebarkan “toxic”. Di gereja, Tuhan mengarahkan aku memiliki suatu komunitas kecil untuk bertumbuh bersama (KTB). Kita dapat sharing dan saling mendoakan satu sama lain, yang akhirnya lama-kelamaan memudarkan pemikiranku bahwa jika aku cerita bagi orang lain, itu artinya aku menjadi "toxic" buat mereka.
Kenyataannya ketika aku sudah mulai paham bahwa berkeluh-kesah kepada orang lain tidaklah selalu menjadi toxic bagi mereka, seringkali aku masih ragu untuk bercerita. Meskipun begitu, ternyata Tuhan tetap ingin agar tidak selamanya aku memendam semuanya sendiri, sebab Tuhan pun mengirimkan seorang sahabat yang baik, yang kala dia melihat bahwa sepertinya ada pergumulan yang coba aku tutupi, dia membuka pintu agar aku dapat bercerita kepadanya dan menyimpan semua sendiri. Begitupun sebaliknya.
Kadangkala mungkin kami pun tidak sepenuhnya dapat memberikan solusi terhadap satu sama lain. Namun, dengan demikian aku merasa bahwa kita justru dapat saling mendoakan dan menguatkan. Sebab, Tuhan pun ingin kita dapat saling mendoakan satu sama lain.
Oleh karena itu, aku pun dapat menjawab pertanyaanku dengan, “Bercerita atau berkeluh-kesah kepada keluarga atau teman, bukan berarti kita akan selalu menjadi “toxic” kok, sebab dengan kita bercerita tentang pergumulan yang kita hadapi, orang lain juga dapat menguatkan serta mendoakan kita, sehingga kita tidak merasa berjalan sendiri.”
Tuhan Yesus mengasihi kita semua :)
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: