“I understand that from the inside out, grief, like love, is non-negotiable.” -Dear Life, Rachel Clarke
Salah satu doa saya yang paling egois adalah meminta pada Tuhan agar boleh meninggal terakhir dari seluruh anggota keluarga saya; agar saya dapat merawat mereka sampai garis final dan jadi orang yang “berbakti” hingga tuntas. Doa ini punya sejarah. Saya pernah sakit keras hingga harus check-in bolak-balik ke rumah sakit sepanjang masa SMP-SMA. Dan menyaksikan betapa besar stres yang diakibatkan hal itu pada keluarga inti saya, lahirlah doa dari hasrat banal saya untuk “membalas budi”.
Memang orang kadang berdoa tanpa sadar apakah ia benar-benar siap untuk jawaban doanya. Nyatanya, dalam hal menghadapi kedukaan, saya masih sangat “cupu”. Saya tidak berada langsung di sisi kakek dan nenek saya ketika mereka tiada.
Dan ketika baru saja papa saya, dalam kondisi terbaring lemah karena vertigonya sedang kumat, beliau meminta saya untuk membantu membayarkan iuran Tabitha-nya, hati saya sudah mencelos nggak karuan, "Ah, payah."
Maka kalian pasti paham, betapa merasuknya dampak wabah Covid-19 yang seperti algojo random, telah menumbangkan beberapa orang yang saya kenal. WFH nggak fokus, insomnia, hingga uring-uringan. Kadang saya bisa menangis sendiri tanpa sebab jelas.
Mendengar kabar masa karantina diperpanjang, saya pun membatin, ”Nggak bisa begini terus. Saya harus memahami sumber ketakutan terbesar saya. Saya harus berbincang dengan orang yang bergesekan langsung dengan duka dan kematian dalam sehari-harinya. Saya harus berbincang dengan orang itu.”
***
Namanya Leonard, saya mengenalnya di kelas yang pernah diadakan di gereja saya, GKI Kelapa Cengkir. Ia adalah salah satu peserta dari GKI Gunung Sahari; sosoknya mudah diingat karena di antara puluhan peserta, ia selalu ceria dan membawa gelak tawa. Dan ia tidak jengkel sekalipun kami kawan-kawannya suka bercanda soal profesinya di PPK (Perkumpulan Penghiburan Kedukaan) Tabitha.
Leonard saat ini bertanggung jawab di divisi Operasional PPK Tabitha - buat IGNITE People yang belum tahu, Tabitha adalah badan pelayanan di bawah Sinode Wilayah GKI Jawa Barat yang bergerak di bidang pelayanan kedukaan. Bidang usaha yang cukup membuat bulu kuduk berdiri bagi sebagian kita - Leo pun mengakuinya, “Menurut aku, kesan pertama orang-orang ketika aku jelaskan apa sih Tabitha itu, umumnya mereka langsung merasa serem dan merinding, haha. Terus, pada bingung, kenapa aku memilih kerja di Tabitha. Masih muda, kok bisa-bisanya milih kerja di sini.”
Saya pun mengulik lebih lanjut mengenai apa kesibukan Leo di Tabitha. “Aku bertanggung-jawab memastikan setiap keluarga yang berduka dilayani dengan baik, dari awal meninggal sampai dengan dikubur ataupun dikremasi. Ini adalah sebuah anugerah dan kesempatan yang sangat baik buat diri dan hidup aku.” FYI, untuk setiap klien, Tabitha menerjunkan tim yang terdiri kurang-lebih 10 orang, mulai dari tim yang menjemput, memandikan jenazah, memandu dan mendampingi keluarga yang berduka selama 3 hari 2 malam disemayamkan di rumah duka sampai dengan dikuburkan atau dikremasi.
Bertemu dengan manusia-manusia yang berduka di keseharian pekerjaannya, Leo banyak menyaksikan duka membuat orang menjadi limbung dan bingung harus berbuat apa, karena kehilangan orang yang dikasihi. ”Waktu awal aku bekerja di Tabitha, ada sebuah kejadian di mana bus yang disewa oleh keluarga yang berduka tidak hadir karena saat di tengah perjalanan menuju Rumah Duka Husada, anak dari supir bus itu meninggal sehingga dia terpaksa dia harus segera kembali. Kebetulan keluarga yang sedang berduka punya keyakinan, ada jam yang baik untuk menguburkan almarhum. Kami tidak bisa mencarikan bus pengganti karena waktunya sudah sangat mepet di hari itu, sehingga keluarga marah besar sebab sudah waktunya untuk jalan,” tutur Leo.
“Akibatnya dari lantai 3, mereka meneriaki saya yang sedang berada di lantai 1, dengan emosi meluap. Saya waktu itu tidak bisa berbuat apa-apa, karena ini bukan kesengajaan. Di satu sisi saya mengerti bahwa keluarga ini sedang berduka. Akhirnya saya menawarkan untuk menggunakan mobil kantor kami untuk mengantar keluarga yang tidak kebagian mobil, tapi keluarga menolak dan akhirnya mereka tetap jalan dan tamu yang tidak kebagian kendaraan terpaksa tidak ikut. Di sini saya belajar untuk tetap rendah hati dan berbesar hati, sekalipun keluarga marah-marah besar, bahkan terkesan mempermalukan saya.”
Saya pun dibuat terkejut ketika Leo dengan yakin menggambarkan pekerjaannya dengan satu kata: Menyenangkan. Mengapa bisa demikian? “Yes, betul sekali...... Sebab aku lebih punya kesempatan untuk memberi yang terbaik bagi setiap keluarga yang sedang berduka dan bingung akan apa yang harus dilakukan.”
Ternyata bekerja di Tabitha memang memiliki momen-momen yang menyenangkan. “Suatu hari ada telepon masuk dari seseorang yang minta dilayani kedukaaan oleh kami, dan almarhum meninggal di rumah. Tim kami langsung bergegas menjemput ke rumah almarhum. Setibanya di sana, ternyata ‘almarhum’ tidak jadi meninggal, alias hanya mati suri! Begitu tim kami kembali ke kantor dan aku mendengar cerita dari mereka, spontan aku terkejut setengah mati dan sempat tidak percaya, tapi sekaligus bersyukur.”
Saya pun tidak ingin berlama-lama menyita waktu Leo di saat ia masih harus berkantor. “Untuk bagian Operasional (lapangan), kami WFH- alias Working From (Rumah Duka) Husada, hahaha... soalnya tidak mungkin kami melayani dari rumah. Tentunya kami tetap mengikuti standar yang berlaku untuk mencegah penyebaran Virus Covid-19 meluas di antara kami,” jelasnya. Maka saya lanjut ke pertanyaan pamungkas - menurut seorang Leonard, apa itu kematian?
“Pandanganku akan kematian sangat berubah sejak bekerja di Tabitha. Sebelumnya, aku tidak pernah memikirkan bahwa ternyata 'kemah' kita di bumi itu sangatlah singkat dan bisa sewaktu-waktu dicabut. Apakah aku sudah sungguh-sungguh siap mempertanggungjawabkan anugerah yang sudah Tuhan beri padaku?”
“Sebagai anak-anak Tuhan, kematian adalah keuntungan, sebab saatnya kita kembali ke Rumah Bapa, Tuhan kita. Dan ini juga yang terus aku terus maknai di sepanjang hidupku, sebab kematian itu bisa menghampiri setiap kita kapan saja, tua-muda, tidur-bekerja ataupun sehat-sakit, sehingga kita wajib selalu mempergunakan hidup yang singkat ini untuk menjadi berkat bagi sesama dan terus memelihara iman kita sampai di garis akhir.”
***
Di saat yang sama, saya baru selesai membaca buku Dear Life karya Rachel Clarke, memoar seorang dokter paliatif di Inggris. Paliatif adalah ilmu kedokteran yang berfokus mengantarkan pasien yang sakit terminal kepada ajalnya dengan nyaman. Morfin dan painkiller menjadi berbagai andalannya tiap hari agar pasien-pasien dapat “meninggal dalam damai”. Namun, setelah mendampingi ayahnya yang menderita kanker hingga meninggal, dr. Rachel mengakui belum ada painkiller untuk rasa duka. Kita tidak dapat melarikan diri dari cengkeraman duka kehilangan orang terkasih, karena duka adalah konsekuensi dari mencintai; dan satu-satunya jalan untuk lolos dari hal itu adalah dengan hidup tanpa mencintai sama sekali.
Saya terhenyak. Mungkin memang kita harus ikhlas menerima hidup dengan segala risikonya, dan menelan semua rasa yang disajikan pada kita, baik pahit maupun manis. Dan saya kini percaya, menatap kematian tepat di kedua bola matanya lah yang membuat hidup lebih hidup.
*Bagi kalian yang memerlukan info lebih lanjut mengenai pelayanan PPK Tabitha, silakan hubungi hotline 24 jam di 0804 150 11 11 atau di 0852 5000 11 11
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: