Jebakan dalam Memandang Isu Disabilitas "The Cult of Normalcy"

Going Deeper, God's Words, 15 July 2019
Kita kerap tergoda untuk merendahkan atau tidak berempati tak lain karena jurang antara normal dan tidak yang kita buat sendiri.

Belum lama ini, murid saya bertanya "Mengapa Tuhan menciptakan orang dengan disabilitas?" ketika kami membahas tentang Asian Para Games. Tak berselang lama, melalui ibadah di GKI Cinere, Pdt. Helen Aramada membagikan sebuah khotbah pengajaran yang secara khusus mengangkat topik serupa.

Rangkai ‘kebetulan’ ini mendorong saya untuk menulis dan menyuarakan ini, dengan sebuah asa di angan: makin banyak yang tergerak, baik hanya untuk tahu, berempati, atau bahkan mengubah.

Image by Ariel Pilotto on Unsplash


Jika dilihat dari definisinya, disability dianggap sebagai kondisi fisik atau mental yang membatasi pergerakan, sensor, atau aktivitas seseorang. Dan jika menelisik tentang sebutan atau penamaan, masih ada beberapa yang lebih suka istilah "Difabel" atau "Different Ability". 


Dengan sebuah kesadaran bahwa mereka bukan tidak bisa (dis-able) namun hanya berbeda cara dan kemampuan. Kendati demikian, penyebutan yang resmi dipilih oleh PBB memang adalah disability, jadi mari kita menggunakan istilah itu untuk kelanjutan tulisan ini.

Isu Disabilitas: Konstruksi Sosio-kultural dari Masa ke Masa

Menurut buku Reimagining Disability in Late Modernity dari Amos Yong, sekitar tahun 1500, kehadiran orang dengan disabilitas dianggap sangat asing. Keberadaan orang dengan disabilitas entah secara fisik atau intelektual bahkan ditempeli sebutan "Monstra" yang akhirnya melahirkan sesuatu yang kita kenal dengan istilah "monster".

Bagi orang di zaman itu, orang dengan disabilitas bahkan dianggap not fully human atau bukan manusia seutuhnya. Kejamnya konstruksi sosial ini tak tanggung menjadikan kelahiran dengan disabilitas sebagai sebuah pertanda dari para dewa akan datangnya bencana atau bahkan malformasi dari iblis. Bayangkan kejamnya pemikiran ini!

Sejarah terus bergulir, dan sekitar tiga abad berikutnya kondisi pun berubah. Pada tahun 1800-an, orang-orang dengan disabilitas sudah mulai diakui sebagai manusia, namun dengan sebutan natural slave, atau mereka yang secara takdir dilahirkan untuk menjadi budak tanpa hak untuk dibayar. Seperti binatang tapi (sedikit) lebih mulia. 

Di masa itu, muncul nama terkenal Joseph Merrick yang memiliki kelainan dan membuat tubuh serta wajahnya dianggap mengerikan. Dengan sebutan Elephant Man dia tampil di sirkus dan orang membayar penyelenggara hanya untuk melihat Sang Elephant Man. Sedikit lebih baik, namun masih kejam.

Orang-orang yang lahir dengan keterbatasan tertentu dapat bernafas lebih lega di zaman ini, mengingat tingkat awareness yang lebih terbentuk dan banyaknya pihak yang turut memperjuangkan. Singkatnya, orang dengan disabilitas kini lebih diterima. Fakta melegakan ini tak berarti masyarakat sudah nihil tugas untuk membuat lingkungan yang aman dan nyaman bagi mereka. 

Misalnya dengan masih maraknya sebutan-sebutan yang mencuat dalam interaksi sehari-hari dengan tendensi mengejek atau merendahkan. Misalnya "Autis lu!" yang ditujukan pada mereka yang terus-terus sibuk pada satu hal. Atau penggunaan kata ‘cacat’ dengan sembrono sebagai bahan bercanda.

Jelas mereka tidak sengaja untuk melukai, namun itupun lahir dari ketiadaan empati kepada mereka yang berjuang di berbagai keterbatasan dan mungkin itu adalah sebuah pertanda bahwa isu ini masih sangat relevan untuk terus dibahas dengan tepat.

Lantas jika ditanyakan hal apa yang pertama dapat kita upayakan, maka jawabannya adalah dengan menegur orang-orang yang masih sembarangan menggunakan kata-kata yang identik dengan kondisi disabilitas sebagai bahan bercanda atau merendahkan.

Image by Josh Appel on Unsplash

Solusi yang Lebih Jauh

Menilik "apa yang bisa kita lakukan" harus dimulai dari mengoreksi akar cara pikir kita. Banyak orang terjebak dalam pikiran mendevaluasi (mengurangi nilai) diri seorang penyandang disabilitas karena terjebak dengan yang disebut The cult of normalcy atau kecenderungan mengkultuskan kondisi normal. Kita kerap tergoda untuk merendahkan atau tidak berempati tak lain karena jurang antara normal dan tidak yang kita buat sendiri.

Satu contoh yang menurut saya paling menohok adalah ketika Pdt. Helen Aramada mengatakan bahwa jika berpacu pada definisi awal, maka kita (sebab saya juga!) yang menggunakan kacamata adalah kaum disabilitas sebab kita membutuhkan alat khusus untuk menunjang kemampuan dasar kita. 

Sayangnya, fakta ini tidak diperhitungkan signifikan sebab jumlah pengguna kacamata yang sangat banyak. Muncul pemikiran bahwa "menggunakan kacamata itu normal-normal saja."

Betul, masyarakat sering menggunakan standar ganda, termasuk pada isu ini. Namun pada intinya semua berakar pada pengkultusan kenormalan.

Saya jadi ingat, setahun lalu untuk membahas topik ini, saya mengenalkan sebuah film The Road Within ke murid saya. Film itu mengisahkan tiga orang dengan 'kelainan' masing-masing. Penderita Tourette Syndrome, OCD, dan Anorexia. 

Ketika saya tanyakan apa kesimpulan yang murid saya dapatkan, seorang murid menjawab, "Mereka juga istimewa namun dengan cara yang berbeda." Seketika saya terharu dan agaknya kesimpulan serupa dapat kita padankan di kasus disabilitas.

Kita harus menanamkan baik-baik dalam benak kita dan kelak anak-cucu kita, bahwa semua orang istimewa dengan kondisi masing-masing. Bahwa kondisi ia dilahirkan tidak punya kekuatan untuk menentukan nilai dirinya. Di Alkitab pun tercatat bagaimana ketika muncul pertanyaan soal kondisi buta sejak lahir, yang tidak lain salah satu bentuk disabilitas, Tuhan menjawab: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.”

Ketika kita sebagai orang beriman mengaku bahwa Tuhan berdaulat dengan segala kasih, maka kehadiran seseorang dengan kondisi disabilitas pun dapat kita pandang sebagai bagian dari perizinan Allah sebagai Pencipta. Dia tidak pernah menciptakan produk gagal, dan itu artinya setiap manusia bahkan se‘berantakan’ apapun dia dilahirkan entah secara fisik atau mental, mereka tetaplah Mahakarya Allah yang segambar dengan-Nya. 

Usai menyadari betul harkat martabat para disability people kita akan lebih mudah untuk membuka lingkungan dan penerimaan kita. Merangkul mereka dengan segala kondisi yang ada, termasuk dinamikanya.

State of mind demikian sangat baik, namun tidak cukup. Kita juga perlu mewujudkan penerimaan dengan hal-hal teknis di lingkungan fisik. Misalnya, jika kita berkata lingkungan kita menyambut mereka yang pergerakannya dibantu kursi roda, maka pertanyaannya: apakah bangunan fisik komunitas kita sudah mempermudah akses untuk mereka?

Image by Robert Ruggiero on UnsplashCatatan lain adalah, bahwa keterbatasan fisik, mental, intelektual bukan hanya untuk dikaji secara medis. Sebab itu artinya kita hanya fokus pada curing instead of healing. Kini yang diperlukan adalah proses pemulihan, yang di dalamnya bukan hanya bicara soal fisik namun relasi sosial. Healing berarti memberikan pelukan penerimaan sebagai seorang kawan dan bukan orang asing. Ketika kita menerima seseorang dengan disabilitas sama seperti kita melihat diri kita dan mengakui bahwa mereka pun dicintai Allah, kita sedang mengambil langkah pertama untuk berperan dalam pemulihan mereka yang pastilah pernah terluka dengan segala penghakiman dan diskriminasi masyarakat.

Akhirnya, tulisan ini ingin mengajak kita semua untuk punya cara pandang yang benar, turut menyuarakan hak mereka, dan mau memikirkan hal-hal strategis yang dapat dikerjakan bersama, untuk bukan hanya memberikan rasa aman namun juga kondisi yang nyaman. 

Progress perjuangan kita tentang isu disabilitas sudah sangat baik, namun bukan berarti telah sempurna. Tetap berjuang, kawan!

Saya ingin menutup ini dengan sebuah potongan kalimat yang juga digunakan oleh Pdt. Helen Aramada untuk menutup khotbahnya yang beliau izinkan untuk saya tulis. Semoga menguatkan para kawan disabilitas dimanapun yang mungkin membaca

"Dance on the broken glass,

build castles with shattered dreams,

and wear your tears like precious pearls.

Proud. Strong. Unshakeable."

--Anita Krizzan



 

LATEST POST

 

Akhir Oktober biasanya identik dengan satu event, yaitu Halloween. Namun, tidak bagi saya. Bagi saya...
by Immanuel Elson | 31 Oct 2024

Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2 Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow&n...
by Kartika Setyanie | 28 Oct 2024

Kalimat pada judul yang merupakan bahasa latin tersebut berasal dari slogan sebuah klub sepak bola t...
by Jonathan Joel Krisnawan | 27 Oct 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER