Jika saya salah tentang hal ini, mungkin kita perlu bersama-sama ‘turun’ dan berbicara dengan mereka, bukannya menyimpulkan dari balik buku dan meja kerja.
Saya bukan orang yang layak untuk bicara tentang politik. Selain memang bukan lulusan di bidang politik, saya sama sekali tidak memiliki minat terhadap politik. Saya hanyalah seseorang yang dulu waktu kuliah suka nonton drama Korea dan sewaktu remaja baca novel teenlit. Saya suka meromantisasi segala sesuatu, menulis puisi dan berbicara tentang cinta. Pokoknya awam sekali lah dengan yang namanya politik. Tapi di sinilah saya, membuang rasa tidak tahu diri itu dan nekat berbicara tentang politik.
Ada hal yang membuat dada saya begitu sesak dan gelisah beberapa hari belakangan. Banyak kejadian di Indonesia yang membuat saya menjadi lebih sering membaca berita. Iya, saya yang biasanya lebih suka membaca Webtoon. Tiga puluh satu orang yang meninggal di kerusuhan Wamena, hampir satu juta orang menderita ISPA akibat kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan, lalu demo yang dilakukan oleh banyak mahasiswa di beberapa kota besar di Indonesia yang menolak RUU KUHP dan revisi UU KPK. Seketika berbagai macam informasi bertubi-tubi menghujani saya di sosial media tentang berita itu.
Saya menjadi begitu emosional ketika kemudian membaca infografis/berita yang menyimpulkan tentang pasal-pasal RUU KUHP di Instagram (belakangan saya sadar bahwa ternyata ditafsirkan dengan kurang tepat). Iya saya tahu, saya sedang menunjukkan kecerobohan saya saat ini yang main emosional tanpa mempelajari. Melihat korban di Wamena yang adalah seorang pemuda, mereka yang melakukan demo juga adalah mahasiswa, hati saya menjadi begitu berempati karena saya bergerak di pelayanan siswa dan mahasiswa.
Di salah satu grup Whatsapp ada seorang rekan yang mengikuti aksi #GejayanMemanggil di Jogjakarta. Saya yang tidak pernah ikut demo semasa kuliah dulu, menjadi begitu tertarik untuk mencari tahu informasi untuk apa sih sebenarnya demo itu. Bersyukur di grup Whatsapp yang berbeda, ada banyak orang-orang yang berpikiran kritis yang sudah banyak berdiskusi tentang isu yang terjadi dan berhasil membuat saya mempunyai pemahaman yang baru tentang berdemokrasi. Apa sebenarnya yang ingin disuarakan oleh para mahasiswa ini? Bagaimana mereka menyuarakan pendapatnya?
Keesokan harinya tanggal 24 September, kota tempat di mana saya tinggal juga mengadakan demo. Seperti yang sudah saya jelaskan di awal, saya sama sekali tidak tertarik dengan demo. Hal pertama yang membuat saya malas adalah panas. Iya, manja. Di pagi hari ketika saya bangun, hati saya begitu sedih dan air mata ingin membuncah ke luar namun terus saya tahan. Saya berdoa bagi bangsa dan situasi yang terjadi dan melanjutkan aktivitas. Lalu terbersitlah sebuah pikiran, “Apa saya ikut demo aja ya?” tapi untuk apa?
Singkat cerita, untuk pertama kalinya saya pergi ke depan gedung DPRD bersama seorang adik mahasiswi yang saya kenal dekat. Saya anggap ini sebuah tindakan untuk ‘mengoleksi pengalaman’ dan menemani adik saya itu. Kota yang saya tinggali adalah kota yang sedang berkembang yang terletak di paling timur pulau Jawa, universitas yang ada di kota ini memang belum cukup besar, sehingga massa yang terkumpul tidak sebanyak di kota-kota besar yang tanggal 23 September kemarin melakukan demo. Tidak, saya bukan sedang ditunggangi oleh golongan tertentu apalagi ditunggangi jin. Sebuah tindakan yang mungkin dianggap bodoh dan terlalu impulsif bagi sebagian orang. Masakan seorang pelayan dari sebuah lembaga Kristen melakukan aksi demo?
Ada dua hal yang kemudian saya pelajari melalui pengalaman saya melihat aksi demo di depan gedung DPRD kemarin yang kaitannya dengan pelayanan mahasiswa:
Pelayanan yang Berjalan Bersama
Saya sangat setuju bahwa kita perlu banyak mengkaji dan mempelajari makna dari setiap pasal di RUU KUHP sebelum melakukan aksi demo. Setuju sekali. Lantas bagaimana jika, niatan kita untuk turun ke jalan demi menemani mereka dan memahami apa yang sebenarnya mereka ingin katakan dan dapatkan? Di jalanan saya belajar jenis mahasiswa yang berbeda dari yang sebelumnya saya sering temui. Di jalanan saya melihat dan berdialog dengan mereka.
Mereka yang ada di lingkungan persekutuan dan yang di jalanan sedang melakukan aksi demo, mereka semua adalah mahasiswa yang seharusnya kita layani dan muridkan, bukan? Ataukah kita sedang membeda-bedakan mana jiwa yang layak kita layani? Mungkin seorang pemberontak tidak cocok untuk bergabung di kelompok pemuridan kita? Saya berpikir mungkin seharusnya pemuridan tidak dibatasi dengan tembok dan atap. Kita bisa melakukan pemuridan di jalanan dengan mempelajari kondisi zaman dan gejolak gerakan kaum muda.
Terlepas dari demo yang dilaksanakan di berbagai kota ditunggangi atau tidak, pada kenyataannya ada mahasiswa yang murni dengan kesadarannya membela kaum yang lemah. Ada kok, yang ingin tetap menjaga kesatuan NKRI meski tidak bisa diketahui jumlah angkanya. Ada yang datang tanpa suap dan menyuarakan keadilan. Ada. Jika saya salah tentang hal ini, mungkin kita perlu bersama-sama ‘turun’ dan berbicara dengan mereka, bukannya menyimpulkan dari balik buku dan meja kerja. Bahwa mereka ‘ditunggangi’, ‘tidak tahu apa-apa’, ‘kurang kerjaan’ dan komentar lainnya. Sikap mengerdilkan dan cenderung menghakimi inilah yang membuat mereka kemudian enggan untuk menjadi terbuka apalagi, dimuridkan.
Di sisi lain, memang aksi menemani mereka turun ke jalan waktu demo harus disertai dengan pemahaman akan tuntutan dan cara supaya tidak anarkis. Ketika kita ingin menjangkau mahasiswa mungkin itu sesederhana ketika kita mau meniru teladan Yesus, ‘turun’ dari zona nyaman kita, tempat yang bagi kita mungkin seperti ‘surga’. Kita perlu turun, berjalan bersama mereka untuk menjangkau mereka sebab mereka jugalah jiwa yang Tuhan rindu untuk diselamatkan. Bukankah seharusnya kita mengiringi mereka yang saat ini berteriak tentang demokrasi supaya kelak mereka jadi pemimpin yang tidak korupsi?
Pelayanan yang Mengenal dan Mendampingi
Saya setuju bahwa ketika melakukan aksi demo, seharusnya massa tidak melakukannya dengan anarkis dan merusak fasilitas-fasilitas publik. Saya juga tidak setuju dengan poster demo yang tidak sopan yang menggambarkan alat vital kaum pria. Namun yang saya sayangkan adalah ungkapan beberapa teman di sosial media mereka yang mengatakan bahwa ‘tindakan tidak berpendidikan!’, ‘tidak bermoral!’, ‘bukan kaum intelektual!’. Mungkin itu memang benar, tapi saya berpikir, ya mungkin mereka begitu karena mereka tidak punya teman seperti kita. Teman yang bisa mengingatkan mereka untuk tidak melakukannya. Lalu di mana kita saat mereka melakukan itu? Mungkin kita sedang bersama dengan orang-orang di lingkaran zona nyaman kita?
Saya juga pernah melakukan hal ini kepada orang lain, menghakimi mereka dan memberi label berdasarkan apa yang saya lihat. Mungkin itu tidak saya posting di sosial media, tapi saya lakukan di dalam hati. Merasa diri yang paling berpendidikan, bermoral dan berintelektual. Hingga saya belajar bahwa apa yang mereka lakukan adalah ekspresi dari apa yang mereka alami selama ini, itu terjadi karena kemarahan mereka, kekecewaan, kesepian, pola asuh keluarga dan faktor lainnya.
Bagaimana jika pelayanan mahasiswa tidak lepas dari upaya untuk mau mengenal dan tidak hanya berkomentar? Atau setidaknya setelah kita memberi komentar itu adakah dari kita yang kemudian beraksi dan menjadi temannya untuk menunjukkan bagaimana yang harus dilakukan seharusnya?
Sekali lagi, saya bukan pakarnya politik. Hanya seorang awam yang rela baca RUU KUHP berulang-ulang untuk bisa paham demi bisa menjelaskannya kepada adik-adik yang saya layani. Ya meskipun sampai sekarang rasanya sulit sekali untuk benar-benar mengerti. Kita memang tidak boleh melakukan aksi hanya karena ikut-ikutan, namun dengan motivasi hati yang murni dan ilmu pengetahuan. Mungkin sebenarnya mereka hanya butuh bantuan kita. Semoga yang kita lakukan bisa lebih dari sekedar berkritik di sosial media tetapi mau berjalan bersama mereka. Mungkin juga membantu untuk memilah informasi. Akan selalu ada yang bisa dikritisi, namun jangan lupa untuk mendampingi.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: