There is no greater misery than false joys. – St. Bernard of Clairvaux
“O Come, O Come Emmanuel” adalah sebuah lagu yang hampir selalu dinyanyikan saat Kebaktian Minggu Adven, dan merupakan lagu Adven favorit saya. Melodi yang syahdu dan lirik yang begitu mendamba sangat menggambarkan suasana Adven yang diselimuti penantian. Apalagi bila mendengarkan aransemen versi The Piano Guys dengan alunan piano dan cello, sambil menyeruput secangkir coklat hangat ditemani rintik hujan di luar jendela. Rasanya: Ah, mantap!
Sering dikatakan bahwa kita memulai Adven dalam gelap. Pada zaman sebelum kelahiran Yesus, bangsa Israel berada dalam gelap sengsara pembuangan dan menantikan kehadiran seorang penyelamat. Pada zaman sekarang, saya pun menengok pada situasi ini dan sangat setuju, bahkan gelap yang sedang kita alami lebih dalam dan kelam dari biasanya. Jujur saja, tahun-tahun sebelumnya saya tidak begitu menghayati Adven selain dari perputaran tahun liturgis yang diikuti oleh GKI. Namun, tahun ini, Adven terasa sungguh berbeda.
Lagu Adven yang saya sebut di atas bisa kita temukan versi Bahasa Indonesianya dalam Kidung Jemaat 81 dengan judul “O, Datanglah, Imanuel”. Bagi saya, judul lagu tersebut sendiri memuat sebuah paradoks: Imanuel yang berarti Allah beserta kita, dinantikan oleh umat. Apabila Allah beserta kita, mengapa kita harus menantikan kedatangan-Nya? Bukankah Allah sudah hadir bersama kita?
Sumber: https://www.churchoftheapostles.org/news/2017/12/28/advent-week-4-o-come-o-come-emmanuel
Prof. Joas Adiprasetya menyampaikan sebuah refleksi tentang Adven yang sangat thought-provoking yet comforting, terutama dalam situasi seperti ini. Refleksi ini dirangkum dari makna Adven berdasarkan St. Bernard of Clairvaux, Thomas Merton, dan Bonhoeffer. Apabila biasanya kita menghayati Adven dalam flashback masa lalu dan pengharapan akan hari kedatangan Tuhan, ketiga tokoh ini menyampaikan sebuah konsep bahwa ada Adven—penantian—di dalam setiap saat kehidupan kita saat ini. Refleksi Pak Joas membuat saya pribadi tertegun dalam perenungan dan tertinggal dalam tanya: Bagaimana cara kita bisa selalu menantikan Tuhan dalam kehidupan kita?
St. Bernard of Clairvaux mengungkapkan bahwa Adven sebetulnya berlipat 3: Adven pertama adalah ketika bangsa Israel menantikan Sang Penyelamat yang hadir di dunia dan hidup di antara manusia, yang kita kenal dengan peristiwa Natal; Adven ketiga adalah ketika umat manusia menanti kedatangan Yesus Kristus sebagai hakim atas seluruh umat manusia; dan—yang menarik— Adven kedua adalah kedatangan Tuhan dalam Roh dan kekuatan dalam kehidupan kita sehari-hari. Seperti titik-titik embun yang jatuh di atas bulu domba, demikianlah Allah bekerja secara misterius dalam kehidupan kita. Kita bisa menghayatinya sebagai Adven sehari-hari—menanti Sang Mahahadir secara kontinyu, bagi kita yang peka akan kehadiran dan pelawatan-Nya dalam setiap momen kehidupan kita sebagai pengembara.
Penantian aktif manusia sebagai pengembara dan pelawatan Allah menghasilkan momen perjumpaan yang terjadi berulang-ulang kali. Lawatan Allah yang terjadi berkali-kali berarti manusia juga harus menjalani proses penantian yang berkali-kali. Bukan tidak mungkin momen perjumpaan tersebut terjadi dalam situasi kita yang lemah, berduka, maupun ketakutan. Sangat mungkin juga momen perjumpaan tersebut terjadi dalam situasi yang penuh sukacita dan kegembiraan. Bisa saja perjumpaan dengan Allah terjadi melalui orang lain; sosok-sosok yang dalam kelemahan, terpinggirkan, maupun diabaikan. Setiap situasi sedih dan sukacita bukanlah sesuatu yang membuat kita memilih karena seringkali justru kedua emosi ini saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Jarang sekali terjadi situasi di mana kita betul-betul hanya merasakan sukacita maupun dukacita.
Sebuah proses penantian yang indah bisa kita perhatikan dalam proses kehamilan seorang wanita. Ada rasa sakit dan tidak nyaman ketika harus mengalami morning sickness, kontraksi, maupun pegal linu di sekujur tubuh. Namun, semua kesakitan itu terbayar ketika merasakan tiap gerakan si bayi, mengamati gerak-geriknya melalui mesin ultrasonografi, hingga akhirnya berjumpa saat lahirnya ke dunia.
Begitu pun dengan Yesus; kehadiran-Nya ke dunia juga melalui proses kehamilan dan kelahiran. Dalam rahim yang gelap itu Yesus menunggu untuk hadir di dunia sebagai manusia dan diam di antara manusia. Mengutip Pak Joas, “Masa pandemi ini adalah masa kita berada dalam kerahiman Allah.” Kita berada di dalam kegelapan ‘kandungan’ Allah, menghayati segala proses penantian yang terjadi secara terus-menerus. Dalam masa kerahiman Allah ini, sukacita dan kesedihan saling berkelindan dan bertimbal-balik satu sama lain sebagai proses penantian akan lawatan Allah dan perjumpaan dengan-Nya yang terjadi berulang-ulang kali.
Photo by Rostyslav Savchyn on Unsplash
Manusia adalah pengembara dalam tiap kehidupannya masing-masing. Sembari berjalan, kita juga menanti Allah dan karya-Nya dalam setiap momen kehidupan kita. Allah jugalah yang selalu turun melawat kita, sehingga terjadilah perjumpaan dari manusia yang berjalan dan menanti, dengan Allah yang selalu menghampiri. Jadi, setiap momen kehidupan kita adalah perjumpaan terus-menerus dengan Allah.
Ignite People, nikmati setiap momen perjumpaan dengan Allah, baik dalam gelap maupun terang remang. Tidak perlu kita menutupi masa penantian panjang ini dengan superficial joy hanya untuk menenangkan diri kita sendiri. Mari kita hayati masa penantian ini sebagai perjalanan sehari-hari dalam embara kehidupan kita. Mari kita hayati masa penantian ini dengan terus berjalan secara aktif dan berpengharapan kepada Allah Sang Mahahadir.
In Him should all our affections center, so that in all things we should seek only to do His will, not to please ourselves. – St. Bernard of Clairvaux
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: