“Gimik” merupakan sebuah metode atau trik yang digunakan untuk mendapatkan perhatian banyak orang atau untuk menjual sesuatu.
Beberapa pekan lalu pertelevisian Indonesia dihebohkan oleh beberapa artis senior yang menyatakan protes kepada peserta audisi ajang pencarian bakat. Dalam sebuah teaser untuk ajang tersebut diperlihatkan seorang perempuan dari kota kecil memasuki ruang audisi dengan pakaian lusuh, muka tanpa riasan. Sontak artis senior yang menjadi juri di ruangan tersebut berkomentar niat atau tidaknya perempuan tersebut untuk ikut audisi dengan menilai outfit dari dirinya.
Dari teaser, yang hanyalah potongan dari rekaman secara keseluruhan tersebut membuat para warganet Indonesia yang mahatahu dan mahabenar merespons: “Kejam banget sih jadi juri!” “Ini ajang nyanyi atau model? Ajang model aja ga gini gini amat!” dan beragam komentar lainnya. Akhirnya program TV dari ajang pencarian tersebut menayangkan rekaman secara keseluruhan, dimana sang perempuan itu dibawa ke ruang kostum untuk berganti pakaian yang lebih eye catching dan mendapatkan polesan make up. Setelah dirasa cukup, perempuan tersebut dibawa kembali kepada juri dan juri memberikannya tiket lolos audisi. Artis senior yang menjadi korban bully warganet pun menyatakan bahwa hal tersebut hanyalah “Gimik” semata demi kepentingan rating acara.
Tentu kita tidak perlu menilai tindakan “gimik” yang dilakukan oleh para artis senior dalam ajang pencarian tersebut, karena juga bukan kepentingan atau kewenangan kita untuk menilai dan mengadili mereka. Lebih baik kita memahami pemahaman tentang “gimik”, realita kehidupan tentang “gimik” dan apa yang diinginkan Yesus dalam ajarannya terkait “gimik”.
Photo by Kyle Loftus on Unsplash
Gimik oh Gimik
“Gimik” dalam KBBI memiliki arti gerak-gerik tipu daya aktor untuk mengelabui lawan peran. Jika kita memakai definisi tersebut, maka kita akan dibatasi oleh dunia peran dalam drama, sinetron, atau dunia dalam balutan kamera. Contohnya dalam dunia pertelevisian, tim kreatif menyusun rancangan suatu gerakan atau dialog yang disematkan kepada sang aktor; untuk Limbad seorang ahli faqir magic, tim kreatif menyematkan gimik seram dan klenik pada dirinya; untuk Bolot seorang komedian, disematkan pula berbagai gimik menghibur terkait kelemahan dalam pendengaran pada lawan peran tertentu.
Nyatanya “gimik” memiliki definisi lain yang memberikan pemahaman lebih luas. Dalam kamus Merriam Webster dapat kita lihat bahwa “gimik” merupakan sebuah metode atau trik yang digunakan untuk mendapatkan perhatian banyak orang atau untuk menjual sesuatu. Tentu pemahaman ini bukan lagi terpatok pada fenomena artis senior yang nampak memarahi kontestan pada ajang pencarian bakat saja, “gimik” bisa dipakai dan bahkan terjadi dalam berbagai bidang, baik dalam menjalin relasi, dalam dunia bisnis, dunia politik, dan bahkan dalam pelayanan gereja.
Photo by Jon Flobrant on Unsplash
Dalam berelasi, contohnya ialah kita yang sebenarnya jengkel dengan tingkah seorang trouble maker tetapi kita berpura-pura ramah demi mendapatkan pujian . Contoh nyata “gimik” pada dunia bisnis yang telah diketahui masyarakat masa kini ialah perusahaan penjual susu kental manis yang mengiklankan bahwa produknya mengandung banyak protein, tetapi nyatanya lebih banyak gula sebagai kandungan.
Pada dunia politik, kita dapat melihat “gimik” pada politisi yang mengklaim bahwa dirinya dizolimi terus menerus oleh kubu lawan politiknya, padahal kenyataannya kebijakan dan hasil kerja yang ia lakukan berbuah kekacauan bagi rakyat. Begitu pula dengan gereja, yang bisa saja membuat “gimik” dalam bentuk melakukan pelayanan sosial, entah membagikan sembako, memberikan beasiswa kepada warga sekitar, atau ikut dalam penanggulangan bencana, dengan tujuan gereja bisa diterima di masyarakat yang mayoritas berbeda dengan mereka atau gereja bisa melaksanakan peribadatan tanpa adanya protes.
Tergeraklah Hati Yesus oleh Belas Kasihan
Tentu program-program gereja dalam bentuk pelayanan sosial bukan hal yang baru dalam hidup kita, hanya saja yang kini makin beragam dan disesuaikan dengan kebutuhan. Namun sadarkah kita mengapa kita perlu melakukan pelayanan sosial tersebut? Apakah hanya sekedar menjalankan program turun temurun dari periode sebelumnya atau demi mendapatkan perhatian publik bahwa gereja kita adalah gereja yang baik kepada lingkungan? Jawabannya dapat kita lihat pada Yesus, sebagai landasan kebenaran dari gereja.
Photo by Ravi Roshan on Unsplash
“Belas kasihan”, sebuah nilai yang mendorong Yesus melakukan banyak keajaiban untuk menyembuhkan orang sakit, mengusir roh jahat dalam diri orang-orang serta memberitakan kabar sukacita. Salah satu kisah yang terambil dari Matius 14:13-21, diceritakan Yesus yang awalnya ingin mengasingkan dirinya dari para khalayak karena Ia terkejut Yohanes Pembaptis, saudara jauh-Nya telah dipenggal oleh Herodes Antipas.
Jika kita melihat dari sisi kemanusiaan, maka kita bisa melihat bahwa Yesus sedang berduka, ia kehilangan orang yang diutus menjadi pembuka jalan bagiNya dengan kematian yang tragis. Tetapi dalam narasi, nampakya orang banyak cukup jeli untuk mengetahui arah kepergian Yesus sehingga mereka pergi untuk menyusul-Nya. Dalam kondisi Yesus yang sedang berduka dan lelah secara psikologis lalu melihat orang banyak yang sudah menanti-Nya apakah Yesus menolak mereka dan mengusir mereka? Nyatanya tidak, justru tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka dan ia menyembuhkan mereka yang sakit hingga menjelang malam.
Photo by Craig Philbrick on Unsplash
Bahkan dalam kondisi Yesus yang seharusnya juga mengalami lelah fisik, Ia masih berpikir untuk memberikan orang banyak tersebut makan, dan semuanya tak lepas dari belas kasih yang ia miliki.
Kita dapat melihat berbagai kisah lainnya dalam Injil dimana rasa belas kasih menggerakkan Yesus untuk melakukan karya ajaib. Namun apakah setelah Yesus memberikan kasih-Nya yang nyata, apakah Ia meminta orang lain untuk sujud menyembah-Nya atau berbuat baik kepada diri-Nya sebagai balas imbalan? Tentu tidak, karena Yesus merupakan sumber Kasih yang sejati, kepenuhan kasih berada dalam diri-Nya dan tak kan habis ketika belas kasih-Nya membuat ia harus berkorban demi orang lain. Bentuk belas kasih yang Yesus berikan didorong oleh kesadaran bahwa masih banyak orang yang lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala (Matius 9:36).
Menghidupi Kasih dan Berbelas Kasih
Jika kita sebagai pengikut Kristus sadar bahwa banyak pekerjaan yang harus kita tuai dan kita terpanggil sebagai pekerja, maka seharusnya kita melandasi tindakan kita dengan belas kasihan. Kita perlu lebih dulu menyadari bahwa kasih Allah tak berkesudahan bagi kita, yang hadir lewat karya penebusan Yesus, nafas kehidupan yang kita miliki, berkat jasmani dan rohani setiap harinya, keluarga dan teman yang setia mendukung kita. Lalu ketika kita hidup dalam kasih-Nya maka belas kasihan menggerakkan diri kita untuk melayani sesama tanpa takut kekurangan dan tanpa menuntut balasan.
Photo by Nina Strehl on Unsplash
Rasul Paulus memberikan nasehat dalam Roma 12:9 “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik.” menjadi sebuah teguran bagi kita dan gereja agar tidak melakukan “gimik” berkedok kebaikan ataupun pelayanan sosial. Sudah seharusnya kita sadar bahwa perbuatan baik yang kita berikan kepada teman, sembako yang kita bagikan kepada warga sekitar, maupun bantuan-bantuan lain dalam program gerejawi tidak didasarkan tuntutan kita mendapatkan balasan baik pula. Maka kini berjuanglah dengan hidup dalam kasih Allah dan biarkan belas kasihan menggerakkan diri kita untuk melakukan karya baik tanpa kepura-puraan.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: