Pain is a gift of God to let us know that something is not right, that something in our life needs attention and fixing. - Stephen Arterburn
"Aku nggak terima kalau diginiin."
"Aku terluka karena terus disakiti."
"Sampai kapan dia terus nyakitin aku? Udah dimaafin, eh, malah nyakitin lagi."
Mungkin beberapa di antara kita pernah mendengar kata-kata seperti ini, atau bahkan pernah mengalaminya secara langsung. Kata-kata tersebut biasa terucap ketika seseorang mengalami hal yang tidak menyenangkan atau telah dirugikan orang lain. Apalagi ketika orang yang telah merugikan dan/atau melukai kita tidak sadar bahwa tindakannya merugikan dan membuat orang terluka. Lebih menyakitkan lagi kalau peristiwa tersebut terjadi berulang-ulang dalam kehidupan kita.
Acap kali beberapa orang memberikan nasihat agar kita dapat mengampuni dan melupakan, dengan tujuan untuk meringankan beban sakit hati yang dirasakan. Tentu saja hal tersebut melegakan dan meringankan beban hati kita. Namun pertanyaannya, apakah dengan tindakan mengampuni, dapat membuat luka hati kita sembuh? Lagipula, mungkinkah kita melupakan momen yang membekas itu begitu saja?
Photo by Alex Shute on Unsplash
Sering kali, orang yang pernah kita maafkan justru menyakiti kita berulang kali—entah sengaja atau tidak. Jika benar demikian, mungkinkah mereka menganggap bahwa kita terlalu bermurah hati, jadi mereka sangat mudah bertindak seperti itu? Jujur saja, hati kita tetap merasa sakit dan terluka sekalipun sudah memaafkan mereka, dan berusaha berdamai dengan keadaan. Beban hati memang berkurang, tetapi luka masih tetap saja belum sembuh.
Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa mengampuni tidak menjamin kesembuhan hati kita, tetapi dapat membantu untuk meringankan beban luka di hati kita. Luka hati akan tetap ada, dan akan semakin parah apabila kita tidak berniat untuk menyembuhkannya. Lantas, bagaimana cara agar kita dapat sembuh dari luka hati yang dirasakan?
Dalam bukunya yang berjudul "Healing is A Choice", Stephen Artenburn menuliskan bahwa luka hati manusia adalah sebuah anugerah Tuhan, yang dapat menuntun kita untuk tetap bertindak benar, serta dapat menyadarkan kita terhadap sesuatu yang salah yang telah terjadi. Sungguh berat bagi pikiran kita untuk menerima bahwa luka adalah anugerah, mengingat tak ada yang patut disyukuri dari hadirnya sebuah luka. Mungkin sebagian besar berpikir, "Kalau luka itu anugerah Tuhan, berarti, mungkinkah Tuhan mengijinkan kita ada untuk "dilukai"?"
Jawabannya adalah seperti yang tertulis di kitab Amsal, yang menyatakan bahwa besi menajamkan besi, manusia menajamkan sesamanya (Amsal 27:17). Secara tidak langsung, kita diizinkan untuk terluka, agar kita dapat rendah hati, dan dapat mengetahui hal yang salah (yang saat itu terjadi), baik yang tersakiti maupun yang disakiti. Selain itu, luka batin menjadi salah satu cara Tuhan untuk menyadarkan kita betapa rapuhnya manusia dan hati yang dimilikinya. Karenanya, kita memerlukan Tuhan, agar Dia berkenan melayakkan kerapuhannya untuk mendatangkan penyingkapan diri-Nya sebagai Pencipta dan Penopang, serta menolong untuk mengenal identitas kita secara utuh.
Photo by 愚木混株 cdd20 on Unsplash
Luka hati yang tak kunjung sembuh adalah sebuah alarm bagi kita agar bertindak rendah hati di hadapan orang-yang-menyakiti kita. Memang sulit untuk merendahkan hati kita; walaupun telah bertindak benar, kita cenderung ingin mencari pembelaan terhadap orang-orang tersebut. Namun, ketika kita merendahkan hati, meminta tolong pada Tuhan untuk dimampukan dalam mengampuni dan mengasihi mereka, luka di hati pun akan berkurang. Pada akhirnya, pelan-tapi-pasti rasa sakit akibat luka hati tersebut tak lagi kita rasakan—bahkan saat kita mengingat peristiwa yang terjadi. Ya, kita diciptakan dengan memori yang mampu merekam segala hal yang terjadi, termasuk yang membekas di hati, bukan?
Luka hati tak dapat menyembuhkan dirinya sendiri. Waktu pun tak dapat menyembuhkan luka hati, bahkan justru membuat luka semakin bernanah akibat tak pernah mendapat penanganan. Itu sebabnya keputusan untuk menyembuhkan luka hati ada di tangan kita, apakah kita terus membiarkan luka itu, atau mengobatinya? Ya, luka itu memang sakit saat diobati, tetapi proses tersebut akan membawa pada pemulihan yang membebaskan—bahkan menumbuhkan kita di dalam anugerah. Semua tergantung dari pilihan kita, dan kerendahan hati yang disertai pertolongan Tuhan adalah kuncinya.
Memang tidak mudah bagi kita untuk merendahkan hati di tengah-tengah kerugian yang kita alami. Namun, kita dapat meminta pertolongan Tuhan untuk dapat melakukannya.
Sayangilah dirimu, sayangilah hatimu.
Walau ada kalanya sulit untuk dipahami dan diimani, Tuhan besertamu di dalam proses pengampunan itu.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: