Toxic Positivity dan Kristus yang Menderita

Best Regards, Live Through This, 21 March 2020
Penderitaan Kristus membuat kita sadar bahwa Ia adalah Allah yang tidak anti dengan kesedihan.

Momen paskah dihayati dengan begitu rupa oleh umat Kristiani, dari berbagai aliran dan golongan. Setidaknya di Indonesia, kita mengenal dua kelompok besar kekristenan : Protestan dan Katolik.

Meski sama-sama menghayati Kristus yang tersalib, Katolik dan Protestan berbeda dalam menghayati Kristus yang tersalib itu. 

Besar di lingkungan Protestan Reformed, saya mengamati penekanan kelompok Protestan pada umumnya ketika merayakan Paskah, adalah kebangkitan Kristus yang memberi pengharapan akan keselamatan kekal, walau memang tidak melupakan aspek penderitaan, tetapi penekanan kaum Protestan adalah kebangkitanNya.

Berbeda dengan saudara kita umat Katolik Roma, yang justru memberi penekanan sangat kuat pada penderitaan dan pengorbanan Kristus, karena itu corpus / patung Kristus tersalib pada lambang Gereja Katolik dipertahankan. Pemaknaan keseluruhan teologi Katolik Roma juga sangatlah integral dengan pengorbanan dan penderitaan Kristus.

Salib Protestan (kiri) tidak ada corpus karena Protestan menekankan pada kebangkitan, sedangkan Katolik (kanan) ada corpus karena penekanan pada penderitaan Kristus. (https://2.bp.blogspot.com/-SiDmbKVRJTE/TbzYEaasYLI/AAAAAAAAA-o/HAZLV3PxpGg/s1600/Untitled-1.jpg )

Jika ada satu hal yang dapat kita pelajari dari saudara kita yang Katolik, adalah tentang menghayati pengorbanan Kristus.

Mari kita visualisasikan sejenak tentang apa yang terjadi pada malam sebelum Yesus diserahkan untuk dijatuhi hukuman.

Yesus ditemani 3 muridnya datang ke taman Getsemani, lalu berdoa kepada Bapa :

Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kata-Nya: "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini   lalu   dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.  "

Matius 26 : 39 (TB)

Yesus, saat itu, berada pada titik terendahNya. Ia merasakan ketakutan, duka, dan kecemasan. Jika saya boleh memvisualisasikan, barangkali tubuhNya berkeringat, tangan dan bibirNya bergetar.

HatiNya penuh berserah pada kehendak Sang Bapa, tapi sisi manusiawiNya merasakan duka yang amat dalam.

Apakah Yesus tidak tahu Ia akan dibangkitkan ? 

Oh, Ia jelas tahu.

Dan Yesus berkata: "Anak Manusia   harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat,   lalu dibunuh   dan dibangkitkan  pada hari ketiga.  " - Lukas 9 : 22 (TB)

Ada satu bagian dari cerita ini yang menarik tentang respon Petrus :

"Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau."  - Mat 16 : 22 (TB)

Dan kita tahu kelanjutannya

Maka Yesus berpaling dan berkata kepada Petrus: "Enyahlah Iblis.  Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia." - Mat 16 : 23 (TB)

Sebagian dari kita mungkin akrab dengan nada respon Petrus di zaman modern ini. Yup, jika Petrus hidup di zaman modern ini, saya yakin responnya kepada perkataan Yesus masuk kategori "toxic positivity".

Toxic Positivity : generalisasi berlebihan terhadap kondisi bahagia yang menghasilkan penyangkalan terhadap pengalaman dinamika emosi manusia (https://rencanamu.id/assets/file_uploaded/blog/1577972639-toxic-posi.jpg )


Sayangnya, Yesus tidak mengapresiasi "motivasi" Petrus. Justru sebaliknya, Ia dihardik dengan perkataan yang keras "Enyah kau Iblis!"


Kristus yang "Bersahabat" dengan Penderitaan dan Kesedihan Manusia

Mengapa Kristus harus menderita ? Bukankah Ia adalah Tuhan ? 

Ini adalah pertanyaan bernada apologetik yang sering kita dengar, jawaban kita biasanya dari sudut pandang orang Yahudi : bahwa untuk penebusan  dosa diperlukan "korban". Kristuslah korban itu.

Tapi saya kira jawabannya lebih dari itu. Misi Kristus bukan sekedar jadi korban sembelihan.

Ia bukan pula sekedar menjadi sahabat bagi mereka yang menderita. Melainkan, Ia bersahabat dengan kesedihan itu sendiri, dengan penderitaan itu sendiri. 

Tak hanya sekedar paham, lebih dari sekedar ber-empati, tetapi juga menghidupi realita itu sendiri. Realita bahwa kesedihan dan penderitaan adalah bagian yang tak terelakkan di dunia yang tidak ideal ini. 

( https://senkofuneral.com/wp-content/uploads/2018/07/shutterstock_345397208-1150x647.jpg )

Kristus sadar sepenuhnya bahwa dapat merasakan kesedihan dan penderitaan adalah bagian yang integral dalam inkarnasiNya menjadi manusia.

Dengan Menghayati Penderitaan-Nya, Yesus Kristus sedang mengajarkan bahwa : It's Okay Not to be Okay.

Ketika dunia sarat dengan motivasi kebahagiaan semu atau toxic positivity, bersikap menolak dan denial terhadap kesedihan dan penderitaan, Kristus justru hadir untuk merasakan kesedihan dan penderitaan itu sendiri.

Kristus tidak denial terhadap emosi kesedihan, di Taman Getsemani Ia tidak sedang menyangkali kesedihanNya, Ia justru bergumul dan menghadapi kesedihanNya sendiri, tanpa mensugesti diri bahwa diriNya sedang baik - baik saja.

https://jesusliftedup.com/wp-content/uploads/2019/01/pic-Jesus-pray-Gethsemane-7.jpg

Jika kita percaya Allah hadir dalam rupa Kristus, kita selayaknya juga mengimani bahwa Allah kita tidak anti terhadap kesedihan, dan Ia juga tak mengelak bahwa dunia ini penuh penderitaan.

Marilah kepada-Ku  ,   semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan   kepadamu. - Mat 11:28 (TB)

Jadi, meskipun kita berpengharapan dalam Kristus, orang Kristen juga tidak dilarang bersedih. Jauhi toxic positivity. Hadapi dan gumuli kesedihan kita, bawalah di hadapanNya, bersedihlah bersamaNya. Akui saja tanpa harus mensugesti diri.

Dengan membereskan kesedihan kita, kita akan lebih menghargai dan memahami arti dari kebahagiaan yang sesungguhnya.

Selamat Paskah.

LATEST POST

 

Akhir Oktober biasanya identik dengan satu event, yaitu Halloween. Namun, tidak bagi saya. Bagi saya...
by Immanuel Elson | 31 Oct 2024

Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2 Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow&n...
by Kartika Setyanie | 28 Oct 2024

Kalimat pada judul yang merupakan bahasa latin tersebut berasal dari slogan sebuah klub sepak bola t...
by Jonathan Joel Krisnawan | 27 Oct 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER