Akankah Natal berprotokol di hatiku?
Jingle Bells
Jingle Bells
Jingle all the way
Oh what fun it is to ride
In a one horse open sleigh
Natal telah tiba! Saatnya lonceng berdering!
Begitu antusiasnya kita sebagai umat Kristiani saat Natal telah tiba. Berbagai persiapan dari jauh-jauh hari, mulai dari perlengkapan untuk dekorasi ruangan, aksesoris yang akan dipakai sebagai fashion kita, kado, hingga persiapan perayaannya. Semua dipersiapkan semaksimal mungkin, agar memberi “sukacita” dan menjadi berkesan.
Mengingat pandemi yang belum usai, banyak orang mengurungkan niatnya untuk merayakan Natal dengan perayaan secara meriah yang mengundang banyak kerabat. Tentu momen Natal kali ini menjadi sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini akan lebih baik jika kita memperingati momen Natal bersama keluarga di rumah saja.
Sedih, kecewa, marah? Secara sadar atau tidak, pasti kita merasakannya, ada yang mungkin mengungkapkan dan ada pula yang tidak. Entah kita harus mengungkapkanya pada siapa, toh tidak ada yang ingin pandemi ini melanda. Satu hal yang dapat mendasari kita untuk tetap mematuhi protokol kesehatan, agar pandemi ini cepat berakhir dan kita dapat beraktivitas di luar rumah seperti sediakala. Semua ini akan ada kesudahan yang indah pada waktu-Nya.
“Apakah tidak ada sukacita pada Natal kali ini?”
Natal menjadi peristiwa kelahiran Kristus ke dunia yang memberi sukacita bagi umat-Nya. Pertanyaannya, “Apakah kita dapat sungguh merasakan sukacita dengan batasan-batasan karena pandemi ini?” Rasanya sulit.
Aku merasakannya. Dengan latar belakang yang baru mulai bergereja selama kurang lebih 4 tahun, di mana sebelum bergereja aku dan keluarga tidak merasakan “sukacita dalam perayaannya”, kini harus kembali Natalan di rumah saja, sehingga perasaan sedih menyelimuti.
Meski di Indonesia sendiri tidak sampai lockdown dan dapat saja merayakan Natal bersama di gereja atau dengan kerabat dekat (yang tentunya disertai penerapan protokol kesehatan yang ketat), tetap saja ada kekhawatiran, apalagi aku pernah memiliki riwayat infeksi paru-paru, sehingga sangat rentan apabila aku memaksakan diri untuk ikut merayakan di gereja ataupun dengan teman-teman di luar rumah. Terlebih baru-baru ini kembali terjadi peningkatan kasus yang terkonfirmasi positif Covid-19.
Jujur aku merasa iri ketika melihat teman-teman memiliki daya tahan tubuh yang lebih kuat, sehingga mereka dapat bertemu on-site dan merayakan Natal secara sederhana. “Lha, aku cuma ikut lewat online aja. Rasanya sangatlah berbeda.”
Beberapa waktu lalu selama pandemi, orang tua menganjurkan aku untuk berjemur, hingga tak lama ini mereka 2 kali berani mengajakku ke mall. Sayang, ketika rutinitas berjemur baru berselang beberapa waktu, harus terhenti lantaran satu dua hal. Karena sudah beberapa waktu aku tidak berjemur, orang tua khawatir saat aku mengatakan ingin mengikuti perayaan Natal bersama teman-teman gereja. Mereka khawatir lantaran riwayat infeksi paru-paru yang pernah kualami. Akhirnya aku mengurungkan niat tersebut dan berpikir “Apakah aku tidak mengasihi diriku sendiri dan orang lain, jika aku memaksakan diri turut merayakan Natal bersama? Bagaimana jika aku terkonfirmasi Covid-19 karena keegoisanku? Tentu aku akan merepotkan keluarga maupun orang-orang di sekelilingku. Biaya perawatan dan obat-obatannya pun tidak sedikit”.
“Mengapa aku harus memiliki riwayat infeksi paru-paru? Kan jadinya di situasi pandemi seperti ini, banyak batasan yang harus dipikirkan secara matang ketika aku ingin keluar dan bertemu dengan orang lain, dibandingkan orang lain yang ingin keluar hanya tinggal mematuhi protokol kesehatan saja.”
Pertanyaan tersebut muncul dalam benakku ketika menghadapi kenyataan bahwa lebih baik aku merayakan Natal di rumah. Teman-teman nampak begitu antusias saat akan merayakan Natal bersama, hingga sebenarnya aku pun iri.
Akan tetapi, dalam perjalanan waktuku, entah mengapa perlahan aku dapat merasa sedikit tenang ketika harus melewati momen Natal dengan di rumah bersama keluarga. Ternyata kenyataan ini tidak hanya dirasakan olehku, tak sedikit pula orang tua yang melarang anaknya merayakan Natal di luar rumah. Hebatnya lagi, ada teman-teman yang justru sengaja memutuskan Natalan di rumah. Mereka mengatakan “Toh ibadah Natal juga disiarkan streaming, jadi kita tetap bisa menyaksikannya,” hingga akhirnya aku bergumam, “benar juga”.
Bisa jadi karena beberapa tahun setelah aku dan keluarga telah dapat ke gereja, secara tidak sadar aku juga jadi lupa memaknai Natal bersama keluarga, dan bahkan lupa dengan makna Natal sebagai kelahiran Sang Juruselamat, karena lebih terlena dengan kemeriahan Natal. Itulah yang aku renungi.
Ignite People, bukankah Yesus pun lahir dengan penuh kesederhanaan? Dia dibungkus kain lampin dan dibaringkan di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi-Nya, Yusuf, dan Maria di rumah penginapan (Lukas 2 : 7). Padahal Dia adalah Allah Yang Maha Tinggi, namun untuk Maria melahirkan dan membaringkan-Nya saja, tidak ada tersedia tempat yang layak.
Seorang Anak telah lahir dan diberikan untuk kita (Yesaya 9 : 6 (9-5)). Dia merelakan Putera-Nya menjadi manusia hanya untuk kita.
Pertanyaannya...
Apakah kita akan melalui Natal dengan protokol kesehatan atau justru Natal berprotokol di hati kita?
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: