Perjumpaan Dua Masker

Best Regards, Fiction, 13 August 2020
Apakah kau memiliki tujuan sepertiku?

Baru saja menempati etalase apotek, sebuah masker medis mendapati dirinya tidak sendirian. Ia melihat ada masker lain yang ditempatkan tidak jauh darinya. Masker lain itu dibungkus hanya menggunakan plastik berperekat. Tidak seperti dirinya yang dikemas menggunakan box.

“Perkenalkan, aku Sansa.” Sapa si Masker Medis. “Penghuni baru di sini.” tambahnya.

Sansa mengamati teman barunya lekat-lekat. Ia begitu terpesona dengan penampakan temannya itu. Selama ini, belum pernah ia melihat masker kain seperti itu. Meskipun hanya terbungkus plastik, plastik itu hanya untuk membungkus satu masker. Wah-wah, betul-betul eksklusif! Masker itu juga terbuat dari kain bermotif batik nan indah. Ia menebak bahwa masker batik pasti berasal dari kain pilihan terbaik. Harganya pun pasti di atas rata-rata. Bisa dipastikan golongan orang berduit lah yang akan membelinya.

“Namaku Madys.” Jawab si Masker Kain menanggapi Sansa.

Dalam hatinya, Madys merasa begitu gembira dengan kehadiran Sansa. Selama ini ia merasa begitu kesepian karena tidak ada sesama masker yang menghuni etalase apotek. Hingga akhirnya sapaan Sansa, si Masker Medis itu mengakhiri kesendiriannya.

Madys berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk mendeskripsikan temannya itu, "beruntung".

Ya, kata berimbuhan “ber-“ itu dipakai olehnya untuk menggambarkan apa yang ia lihat ketika bertemu dengan Sansa pertama kalinya. Bagaimana tidak, Sansa begitu beruntung diciptakan menjadi masker buatan pabrik yang sudah sejak dulu menjadi diva dunia kesehatan. Entah siapa penciptanya, tetapi masker seperti dia sudah ada sejak satu dekade yang lalu. Ditambah dengan branding Sansa yang sudah didengar oleh telinga khalayak. Sudah pasti akan banyak orang yang akan meliriknya. Ia pun dikemas dengan box glossy yang elegan. Sungguh tidak dapat dibandingkan dengan dirinya.

Keduanya saling menatap untuk beberapa waktu lamanya. Beberapa saat berlalu, akhirnya Sansa mengambil inisiatif untuk melanjutkan perkenalan mereka.

“Sudah berapa lama di sini?” 

“Baru tiga bulan,” Madys menjawab dengan antusias.

“Sudah tiga bulan? Di masa pandemik seperti ini?”

“Menurutku itu belum terlalu lama.” Antusiasme Madys mengisut.

“Yang benar saja!” Sansa mendengus. “Manusia butuh masker, tidak seharusnya kita terlalu lama di tempat ini, bukan?” 

“Iya sih, ” jawab Madys.

“Eh, tunggu…” Sansa mencerna jawaban Madys sebelumnya. “Belum terlalu lama katamu? Bagaimana kau dapat berkata demikian?” Ia keheranan.

Madys mulai mengenang masa lalunya. Dulu, ia adalah kain batik murah yang sudah tiga tahun tergulung asal-asalan di salah satu sudut sebuah toko kain. Tidak terjamah. Tak seorang pun meliriknya, apalagi menawarnya. Hingga beberapa bulan yang lalu ia melihat seorang nenek menatapnya dari kejauhan. Tersenyum, lalu menghampirinya. Nenek itu mengibaskan debu yang menempel padanya dengan jari-jarinya yang sudah mengeriput.

Tidak disangka, sang nenek membeli batik “tak berharga” itu tanpa menawar. Membawanya pulang, lalu mencucinya dengan deterjen dan wewangian. Nenek itu menjemur, mensetrika, melipat kemudian meletakkannya di samping meja mesin jahit. Sebagai kain batik, ia bertanya-tanya, "Hendak dijadikan apa diriku."

Tak perlu waktu lama mencari tahu jawabannya. Malam harinya, sang nenek berdoa sambil memeluk kain batik itu. Dalam doanya, ia mencurahkan isi hati. Uang yang ada padanya sudah menipis, dan ia memakai sebagian uang itu untuk membeli kain batik. Esok pagi, kain batik ini akan ia sulap menjadi masker-masker batik. Untuk menyambung hidup.

Pagi itu, sang nenek mulai membuat pola, memotong, lalu menjahit setiap bagian hingga membentuk sebuah masker.

Madys, begitulah sang nenek memberi nama untuk masker-masker modis buatannya. Usai dikemas, nenek itu menjual masker tersebut ke beberapa apotek lalu meninggalkannya.

“Tiga bulan menjadi masker memang tidak sebanding dengan tiga tahun hanya sebagai kain.” Sansa merespons dengan kekaguman.

 “Benar, untuk itulah aku menuggu.” Madys terdiam sejenak. “Menunggu untuk menghidupi hidup.” tambahnya.

“Apa maksud pernyataanmu itu?” Sansa bertanya-tanya.

“Nenek yang tidak kuketahui namanya itu sudah menjadikanku berharga lebih dari sekadar lipatan kain.”

“Lantas?,” desak Sansa.

“Dengan segala keterbatasanku, walau hanya masker kain batik, aku ingin membalas kebaikan manusia dengan menjaga kesehatan mereka.” Madys terdiam beberapa saat.

“Bah, kau ini…” Sansa tidak melanjutkan kalimatnya yang mungkin dapat menyakiti hati Madys.

“Bagaimana denganmu, Sansa? Apakah kau memiliki tujuan sepertiku?”

“Aku?,” sekali lagi Sansa mendengus. ”Ya! Aku pun memiliki tujuan sepertimu,” jawabnya.

“Benarkah? Ceritakan padaku tujuanmu itu!” Madys mendesak.

“Tentu saja! Meskipun jalannya berbeda denganmu.”

“Berbeda bagaimana?”

“Kau tahu… Aku bahkan tidak pernah menemukan manusia seperti nenek yang kau ceritakan itu!”

Sansa menarik napas panjang dan memulai kisahnya. Manusia memang berjasa dalam membuat branding nama lalu mengemasnya sedemikian rupa. Dengan kecerdasannya, manusia telah memperoleh apa yang mereka inginkan. Kendati demikian, sejak masih berbentuk lembaran, lalu diproses di pabrik, didistribusikan hingga menjadi penghuni etalase apotek, ia hanya menjumpai manusia yang mulutnya seluas alam semesta. Ya, mereka berbicara sekenanya. Seenaknya. Sesukanya. Tanpa dipikir lebih dulu. Tanpa memikirkan hati manusia lainnya. Mulut manusia seakan dipakai hanya untuk mengeluh, menuntut, dan mengkritik.

“Lalu apa hubungannya dengan tujuan hidupmu?” tanya Madys sambil terkikik.

“Sebagai masker, aku ingin memberangus mulut mereka.”

“Memberangus?”

“Ya, aku memang diciptakan untuk melindungi kesehatan manusia dari cemaran debu bervirus.” Sansa terkikik singkat, kemudian melanjutkan. “Namun, aku juga memiliki kerinduan untuk melindungi bumi dan segala isinya agar tidak tercemar oleh ucapan manusia yang sia-sia.”


 

 

RELATED TOPIC

LATEST POST

 

Akhir Oktober biasanya identik dengan satu event, yaitu Halloween. Namun, tidak bagi saya. Bagi saya...
by Immanuel Elson | 31 Oct 2024

Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2 Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow&n...
by Kartika Setyanie | 28 Oct 2024

Kalimat pada judul yang merupakan bahasa latin tersebut berasal dari slogan sebuah klub sepak bola t...
by Jonathan Joel Krisnawan | 27 Oct 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER