Belajar dari Paulus yang walaupun "kaya raya" dalam banyak hal baik, dia melepaskan semuanya.
Jujur saja, sering kali kalau mendengar khotbah-khotbah tentang kesuksesan, saya bisa merasa lelah. Ada beberapa orang yang suka menekankan bahwa Tuhan tidak ingin kita mengalami kesusahan, melainkan Dia menginginkan kita menjadi kaya. Namun bagi saya pribadi, ketika kita sudah berbicara tentang tujuan hidup, itu bukan lagi sekadar apakah kita harus menjadi kaya atau sukses. Bagi saya, mengecewakan aja, sih, ketika ada orang-orang yang masih cenderung sering bicara tentang berkat tapi menutup mata pada kebutuhan hubungan pribadi antara Tuhan dengan umat-Nya. Oke, tidak salah, kok, ketika gereja juga membahas mengenai kesuksesan. Toh setiap orang (harapannya) bisa memaknainya dalam terang firman Tuhan. Namun, menjadi kurang tepat saja ketika khotbah kesuksesan itu menekankan bahwa kita “HARUS” menjadi sukses sesuai kacamata dunia: banyak uang, karier yang tinggi, dan harta yang berlimpah.
Coba bayangkan berapa banyak anak muda yang akan menjadi frustrasi ketika dijejali kotbah menjadi sukses menurut standar tertentu. Ya, karena di usia kita yang sekarang, kita belum memiliki pencapaian yang merupakan arti sukses dalam khotbah-khotbah tadi.
Photo by Mathieu Stern on Unsplash
Mari kita belajar dari Paulus yang walaupun "kaya raya" dalam banyak hal baik, dia melepaskan semuanya karena telah menemukan harta yang lebih berharga daripada apa yang dia miliki:
“Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan. Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." - Filipi 4:12-13
Lha terus, kenapa kita masih terus membicarakan bahwa standar kesuksesan hanya sebatas tentang berkat berupa materi? Ada orang-orang yang mungkin sedang berada di fase tidak sedang kaya raya secara materi, tapi kelak dia jadi kaya raya. Lha terus masa' kita mau menghakimi dia supaya bisa sukses? Terus kalau berbicara tentang tujuan hidup, banyak lho orang-orang yang pelayanan misi ke pedalaman, tapi apa yang mereka sebut sebagai kekayaan yang sejati bukan terletak pada besarnya harta yang mereka miliki. Bagaimana pula dengan orang-orang yang kita kenal (atau bahkan kita sendiri) yang sudah melayani Tuhan, tetapi kalau mau jujur, ada kalanya kita khawatir akan kebutuhan sehari-hari yang bisa saja tidak tercukupi? See? Karena mau bagaimana pun standar yang dunia ini berikan, sebenarnya Tuhan tidak mengukur manusia melalui harta atau kesuksesan yang dimilikinya, kok.
Aku percaya rancangan-Nya jauh lebih mulia daripada hanya sekedar melimpahkan kita secara materi. Aku percaya Tuhan sanggup melakukan segala sesuatu, aku percaya Dia sanggup mencukupkan dengan cara-Nya, bukan cara kita. Namun yang lebih penting adalah apa yang Tuhan kehendaki untuk kita lakukan. Iya, Alkitab memang bilang kalau Tuhan memelihara, tetapi pasti ada juga masanya orang-orang bisa mengalami kekurangan dalam hidupnya. Apakah di saat itu kita tidak lagi percaya Tuhan dan mengutuki Tuhan? Lihat Ayub. Jangan-jangan selama ini kita sedang mengomentari "kehidupan Ayub" (baca: yang sedang kesulitan tetapi itu bukan akhirnya). Kalau pun tidak berakhir seperti Ayub, Tuhan pasti punya maksud di baliknya, kan? Manusia tidak berhak menghakimi. Tuhan tentu hanya merancangkan yang indah untuk kita, dan tidak ingin kita kekurangan. Hanya saja, perlu hikmat dan relasi pribadi dengan-Nya untuk memahami apa artinya “rencana yang indah” bagi Dia. Karena yang dilihat manusia pastinya tidak sama dengan apa yang dilihat Allah.
Photo by Debby Hudson on Unsplash
Bukan berarti pula kita berhak membenarkan keinginan untuk hidup dalam kemalasan. Manusia perlu memahami bahwa tujuan Tuhan bukan menjadikan kita kaya raya dari segi materi (kalau pun bisa demikian, anggaplah itu berkat tersendiri yang tidak boleh disimpan sendirian). Seperti Paulus, kiranya kita belajar untuk memaknai hidup ini dengan lebih lagi. Tidak sekedar materi. Ada orang yang tidak kaya raya tapi dia hobi memberi karena dia memang terpanggil dan memiliki hati untuk itu.
Tuhan tidak menginginkan kita menjadi hamba uang (1 Timotius 6:10). Iya, menjadi kaya juga tidak salah tapi apakah sungguh itu yang Dia mau untuk setiap kita? Jika kita diberkati dengan kekayaan yang melimpah, tanyakanlah apa yang Tuhan ingin kita lakukan dengan semua itu.
Selamat menggumuli tujuan Tuhan untuk hidup kita.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: