"It gets darker and darker, and then Jesus is born." - Wendell Berry
Sebagai satu dari sekian banyak orang yang karirnya terdampak pandemi, ini masa yang aneh. Saya menganggur 8 bulan. Iya, 8 bulan. Masa-masa itu terasa campur-aduk, karena ada rasa senang dan lega banyak waktu istirahat maupun bertemu pacar dan orang-orang rumah, tapi juga rasa cemas, marah, bahkan depresi karena mencari kerja di masa ini luar biasa susahnya. Terbersit pertanyaan putus asa: Masih bisakah saya mendapatkan pekerjaan lagi?
Kini dalam rasa syukur setelah memperoleh pekerjaan baru, saya melihat kembali masa itu. Ruang antara pekerjaan lama dengan yang baru, dalam pencarian yang begitu meremukkan mental. Banyak penolakan, juga penyesalan akibat keputusan-keputusan sulit yang diambil dalam ragu, menempatkan saya di ruang yang menyesakkan penuh pertanyaan. Apa yang harus dilakukan? Sampai kapan sanggup bertahan? Masa menunggu yang begitu mencemaskan, penuh ketidakpastian, sampai akhirnya kelegaan muncul lewat kejelasan.
Rasa cemas demikianlah yang mungkin menghampiri umat manusia di akhir tahun ini; masa yang biasanya disambut gembira. Menjelang pergantian tahun, biasanya banyak kesempatan libur dan tawaran hura-hura. Masa penuh perayaan, tapi kini malah diselimuti duka karena pandemi beserta segala ketidakpastian yang mengiringinya. Tahun ini terasa gelap dan janggal, sebab tidak semestinya periode akhir tahun sedemikian jauhnya dari suasana euforia.
Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash
Tanpa banyak kita sadari, periode menjelang Natal dalam kalender gerejawi sejatinya amat bisa menangkap suasana murung dan cemas hari-hari ini. Masa yang kerap dihampiri dengan gairah kemeriahan, mungkin karena ingin segera merasakan vibes sukacita Natal, namun seharusnya malah mengembalikan kita pada refleksi dan pertanyaan, sambil menyambut kecemasan yang wajar karena memang kita sedang menunggu kedatangan Kristus. Masa itu bernama Adven, masa empat Minggu sebelum Natal, biasanya bermula di akhir November.
ADVEN: DIMULAI DALAM GELAP
Fleming Rutledge, seorang pendeta gereja Episkopal, menyatakan bahwa dia selalu memberikan penekanan ini: Adven dimulai dalam gelap (Rutledge, 2018, p. 72). Saat saya mendengarkan ini dalam rekaman khotbahnya, saya kaget.
Adven, sepemahaman saya dulu, adalah masa yang bergerak dalam semarak. Masa yang dalam budaya sekuler dipenuhi diskon-diskon memikat, hiasan-hiasan yang terpampang di ruang publik, juga senyum yang melebar menjelang libur akhir tahun dan pertemuan hangat dengan orang-orang terdekat. Oh, tentu saja juga pohon Natal yang terpasang di mana-mana bahkan sejak November.
Gereja pun tak luput dari keinginan terlibat dalam gegap gempita meluap-luap. Inilah masa menyusun panitia dan mempersiapkan Natal yang semarak, kalau bisa menarik banyak massa, terutama orang baru maupun jemaat yang biasanya jarang datang. Tentu saja, persiapan kemeriahan itu, bahkan kadang acara perayaannya sendiri, kerap terselenggara di masa empat Minggu Adven, yang seharusnya masih masa menanti.
Namun ternyata Adven sesungguhnya adalah penawar terhadap budaya kita di periode jelang Natal. Budaya gegap gempita yang sayangnya, termasuk oleh umat Kristen, sering tidak disadari sebagai bentuk kooptasi konsumerisme dan sistem kapitalisme global atas Natal. Budaya yang mendewakan gratifikasi instan, ingin segera mencapai berita sukacita tanpa melalui proses berdarah-darah dalam masa kelam, sedih, dan kecewa. Sesuatu yang bahkan, walau disangkali, merasuk kuat dalam segala upaya kita mempersiapkan Natal.
MENANTI, MENGAMATI, MENUNGGU….. DAN BERSAKSI
Photo by Joshua Earle on Unsplash
Masa Adven (dari kata Latin adventus, terjemahan kata Yunani Koine parousia yang artinya adalah datang atau kedatangan), masa yang telah hadir dan terbentuk di abad-abad awal Kekristenan, sesungguhnya tidak untuk dihampiri dengan riang. Di Gereja Timur misalnya, masa ini terbentang lebih lama, yaitu 7 minggu, diperingati dengan 40 hari puasa, berpantang, dan pengakuan dosa (Nativity Fast).[1] Malah, masa ini wajar dihampiri dengan rasa cemas, marah, dan pahit, walau akan dibungkus dalam pengharapan yang mengagetkan.
Salah satu tokoh kunci di masa Adven adalah Yohanes Pembaptis, sang pembuka jalan. Seseorang yang begitu berani bersuara menegur, bahkan dengan cara yang begitu kasar bila dibandingkan dengan kesantunan otoritas agama yang juga dikritiknya, namun juga menjalaninya dengan penuh cemas; benarkah yang kusiapkan jalannya ini Mesias? Mampukah Dia mewujudkan apa yang selama ini dijanji-janjikan melalui nubuat para nabi? (Mat. 11:3) Layakkah aku bahkan untuk membuka tali kasutnya, bila bertemu nanti? (Yoh. 1:27)
Upaya mengabarkan sekaligus menunggu ini mewakili postur khas Adven: Menanti dengan aktif. Menghuni ruang antara kelahiran Kristus dan kedatangan-Nya kembali dengan upaya aktif bersaksi mengenai Dia yang telah datang, sekaligus dalam penyerahan menanti kedatangan kembali Kristus Sang Raja Semesta, walau dengan cemas. Postur menunggu yang merangkul cemas dan harap bersamaan. Tentu saja, Dia tahu waktu-Nya dan setia menggenapi janji-Nya, walau cara-Nya tak terselami. Ya, Dia yang akan menaklukkan rezim dosa dan menghadirkan langit dan bumi baru.
Sungguh, Adven begitu tepat menggambarkan kehidupan umat Kristen di dunia ini yang penuh penantian, harap-harap cemas, juga refleksi soal apa-apa saja yang kita perbuat jelang datangnya Kristus. Kata yang mengarahkan kita pada sebuah masa peringatan Kristiani yang menekankan pentingnya upaya perlawanan terhadap budaya populer yang banal.
MENYAMBUT NATAL YANG DATANG TIBA-TIBA
Tahun ini, bagi banyak dari kita, begitu gelap. Pandemi, turbulensi sosial-politik, persekusi minoritas (termasuk yang baru-baru ini terjadi di Sigi), kesenjangan yang makin tampak jurangnya di hadapan pandemi, korupsi yang bahkan dilakukan oleh yang mengaku “anak Tuhan”, rusaknya lingkungan oleh manusia yang bermain Tuhan, pelecehan seksual, kemunafikan tokoh agama maupun aktivis sosial, konflik keluarga, rasa kesepian, hingga pergumulan mental karena tidak tahan semuanya. Justru di masa inilah makna Adven yang sejati berteriak-teriak meminta diperhatikan. Adven menuntut kita untuk terus berharap bahkan dalam gelap.
Fleming Rutledge pernah bercerita soal pengalamannya melihat ibunya yang selalu baru memasang pohon dan hiasan Natal setelah Minggu Adven keempat. Saat dalam heran Rutledge bertanya, ibunya menjawab, “Christmas should come in a burst” (Rutledge, 2018, p. 218). Natal seharusnya datang dengan tiba-tiba. Benar, sudah begitu banyak nubuat terkait. Tapi coba bayangkan konteks Yahudi yang saat itu dalam jajahan imperium, dengan segala pemberontakan yang gagal, dalam perasaan rendah diri sebagai bangsa, lelah menanti janji kedatangan Mesias, mulai kehabisan harapan.
Lalu tiba-tiba Yesus lahir, di tempat yang begitu hina, jauh dari segala kemegahan nubuat tentang Mesias yang membebaskan dan menyelamatkan.
Maka Adven sepatutnya adalah masa yang menyiapkan kita menunggu dalam kegelapan, merangkul cemas dalam harap yang begitu tak terduga dan mengagetkan. Pengharapan yang tidak sia-sia, karena Sang Terang akan datang justru dari kegelapan, dalam kehinaan. Masa yang juga menyiapkan kita menjelang Maranatha, kedatangan tiba-tiba berikutnya. Kedatangan yang memampukan berharap, di tengah begitu melelahkannya kondisi dunia saat ini, bahwa air mata akan dihapuskan.
Karena itu, menunggulah, berharaplah, teruslah bertindak, walau dalam amarah, duka, kegeraman, dan pertanyaan. Sebab Dia yang menang dan berkuasa, sejenak lagi, akan datang dengan mengagetkan.
Datanglah, Kau yang beserta kami. Kami menanti dengan cemas.
[1] http://www.orthodoxytoday.org/articles6/ReardonAdvent.php
Referensi:
Rutledge, Fleming (2018). Advent: The Once and Future Coming of Jesus Christ. Eerdmans.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: