Jika Alkitab hanya dipandang sebagai cerita moral, maka hanya dua buah yang dihasilkan, yaitu rasa bersalah atau minder dan kesombongan.
Tetapi Nuh mendapat kasih karunia di mata Tuhan. Inilah riwayat Nuh: Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh itu hidup bergaul dengan Allah. - Kejadian 6:8-9
Ketika masih bersekolah Minggu, saya sering mendengarkan cerita tokoh-tokoh Alkitab. Mulai dari Nuh, Daud, Musa, Yakub, dan sebagainya. Tokoh-tokoh tersebut menjadi teladan yang diceritakan dan sering menjadi tokoh sentral yang mengambil spotlight dalam cerita-cerita itu. Begitu pula ketika saya membaca kisah Nuh, sering kali saya masih menggunakan "kacamata" yang didapatkan dalam sekolah Minggu. Apa kacamata itu? Yaitu bahwa Nuh adalah orang yang beriman, percaya Tuhan, dan patut menjadi teladan kita. Apakah itu benar? Jawabannya iya dan tidak, karena memang Nuh taat kepada perintah Allah—walaupun tidak sepenuhnya didasarkan pada pengertian manusianya.
Kita sah-sah saja menganggap Nuh hidupnya baik dan menyebutnya pahlawan iman, tetapi menganggapnya sebagai tokoh utama cerita moralitas saja dapat berdampak tidak baik. Saya ingat ketika masih kecil ketika mendengarkan kisah itu, saya tidak membayangkan diri sebagai Nuh, melainkan bagaimana jika saya termasuk pada orang-orang yang ikut tenggelam. Jika Alkitab hanya dipandang jadi cerita moral, sebuah cerita yang isinya tidak boleh ini, tidak boleh itu, maka hanya ada dua buah yang dihasilkan. Pertama, rasa bersalah dan minder karena merasa diri tidak sebaik yang ada. Kedua, akan ada perasaan sombong karena merasa hidup sudah beriman dan lebih baik dibandingkan orang-orang lain di gereja. Pelan tapi pasti, dua sikap ini akan menjadi parasit dalam kehidupan gereja karena akhirnya kita menilai keselamatan manusia berdasarkan perbuatan manusia. Kisah yang dituliskan dalam Alkitab tidak ada bedanya dengan cerita-cerita guru seperti Dalai lama, Mahatma Gandhi, Mario Teguh, dan motivator-motivator lain. Ironis, bukan?
Photo by Robert Thiemann on Unsplash
Jika Nuh hanya dilihat berdasarkan ketaatannya saja, kita akan cepat kecewa ketika mengetahui fakta bahwa dia adalah pemabuk yang telanjang setelah baru saja menyaksikan insiden air bah (Kejadian 9:18-29). Bagaimana dengan tokoh lain? Daud sering dijadikan contoh sebagai "orang yang berkenan di hati Allah", tapi dia tidak lepas dari dosa perzinahan (Kisah Para Rasul 13:22; 2 Samuel 11:1-12:25). Abraham? Berbohong kepada Abimelekh tentang istrinya (Kejadian 20:1-18). Yakub? Dia penipu ulung yang menipu saudaranya Esau (Kejadian 25:19-34). Setelah menyadari kerentanan mereka terhadap dosa, mungkin benak kita jadi bertanya-tanya: jikalau mereka punya kekurangan, mengapa Allah tetap memakai mereka?
Tokoh-tokoh di dalam Alkitab tetap adalah manusia berdosa, sesuai dengan apa yang tertulis dalam Roma 3:10, "Tidak ada yang benar, seorang pun tidak." Itulah sebabnya pembenaran Allah menjadi satu-satunya alasan bagi Nuh untuk diselamatkan. Demikian pula dengan tokoh-tokoh lain, semua mereka dibenarkan oleh Tuhan.
Ada sebuah kesaksian menarik dari Darren Arofonsky, sutradara Noah yang rilis pada tahun 2014. Arofonsky memberikan kesakian yang menarik tentang Nuh, sang tokoh di dalam film tersebut. Ketika masih anak-anak, Arofonsky mendengar kisahnya dan merasa takut, sama seperti yang saya sharing-kan di bagian awal artikel ini. Namun, Arofonsky mengatakan bahwa ketakutannya adalah bagaimana kalau dia “tidak cukup saleh” untuk masuk ke dalam bahtera Nuh.
Photo by Emma Leigh on Unsplash
Bukankah ketakutan serupa juga sering menjadi pergumulan kita? Ketakutan seperti ini—acap kali—adalah ketakutan yang didapatkan dari khotbah-khotbah yang sifatnya mengedepankan moralitas:
"Bagaimana ya kalau aku gagal taat sama Tuhan?"
"Bagaimana kalau hidupku ga cukup baik?"
"Gimana kalau aku ga bisa sesuci orang-orang di gereja yang rajin ibadah?"
"Gimana kalau omonganku ga ada apa-apanya dibandingin omongan orang-orang gereja yang suka bicara firman Tuhan?"
Sesungguhnya, tiket untuk masuk ke "bahtera Nuh" tidak didapatkan dari keberhasilan kita memenuhi timbangan perbuatan baik buruk. Hanya dengan tinggal di dalam Kristus—"bahtera Nuh" yang sesungguhnya—kita menemukan keselamatan yang sejati, bukan dari apa yang orang lain harapkan untuk kita miliki. Walaupun demikian, Dia juga rindu agar kita menghidupi keselamatan itu di dalam kehidupan sehari-hari, dan tidak hanya berhenti setelah ibadah Minggu usai.
Ignite People, jika saat ini kita sedang dipenuhi kegelisahan, ketakutan, dan kekhawatiran, maukah kita menyerahkan kendali bahtera kita kepada Yesus dan mengizinkan-Nya menjadikan bahtera tersebut sebagai milik-Nya? Ketika Yesus mengendalikan bahtera kita, Dia tidak menjamin tidak ada badai di dalam kehidupan kita. Bukankah ketika sedang menyeberang ke Galilea bersama para murid-Nya, perahu yang ditumpangi Yesus dilanda ombak dan badai (Matius 8:23-27)? Beriman kepada Yesus bukan berarti persoalan hidup akan hilang sekejap, begitu pula dengan penyakit dan konflik lainnya. Air mata pun mungkin saja masih akan tetap mengalir ketika kita memercayakan kendali hidup kepada-Nya. Akan tetapi, di dalam bahtera Yesus, kita akan berjalan bersama Allah hingga badai itu diredakan dan pelangi kemuliaan Allah dinyatakan kepada kita. Apakah dalam kesempatan ini ada kerinduan di dalam hati kita untuk kembali pulang, bernaung di dalam bahtera Yesus Kristus? Kiranya Roh Kudus berbelas kasihan dan bekerja di dalam diri kita. Amin.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: