Trust Issue dan Abraham Yang Percaya

Best Regards, Live Through This, 17 May 2021
Amsal 3:5-6 (TB) Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.

Siapa di antara kita yang pernah merasa dikecewakan? Mungkin sebagian besar pembaca pernah merasa kecewa, entah terhadap seseorang, sebuah momen yang tidak sesuai harapan, atau bahkan dengan diri kita sendiri. Mengapa kita bisa kecewa? Kebanyakan orang akhirnya kecewa ketika kehilangan rasa percaya terhadap suatu hal. Misalnya saja ketika kita janjian untuk bertemu dengan teman kita, tetapi dia tidak datang tepat dari waktu yang ditentukan. Jika hal ini terjadi berulang kali, pastilah kita kecewa karena kita merasa dia tidak menghargai janji yang telah dibuat sebelumnya. Sebaliknya, jika kita yang tak dapat menepati waktu, teman kitalah yang akan kecewa kepada kita. Kekecewaan itu juga bisa terjadi ketika kita kerap memasang ekspektasi terhadap segala hal di dalam kehidupan, tetapi ketika semua yang kita harapkan tersebut tidak terjadi, kita cenderung kecewa dan tingkat kepercayaan kepada yang bersangkutan mulai menjadi (sedikit) berkurang. Kehilangan rasa percaya yang terlalu sering bisa membuat luka pada diri kita dan menjadikan kita tidak percaya kembali. Kondisi itu familier di zaman sekarang sebagai trust issue, sebuah kondisi ketika seseorang sulit mempercayai orang lain. Trust issue ini biasanya disebabkan oleh masa lalu yang penuh hal-hal traumatis; meskipun tidak harus selalu berupa hal-hal seperti kekerasan; ketika kita diabaikan secara terus-menerus oleh orang tua, itu juga membuat kita mistrust terhadap orang lain.



Namun bagaimanakah ketika kita memiliki trust issue kepada Tuhan Allah? 


Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang kerap kali saya sampaikan kepada diri sendiri. Ketika menjalani kehidupan yang begitu berat, saya sering meragukan Allah di dalam setiap langkah kehidupan ini, apalagi di masa-masa sulit seperti pandemi yang tak kunjung selesai hingga sekarang. Di tengah segala hal yang rasanya tidak mungkin, di dalam berbagai hal yang rasanya menyedihkan dan bercampur dengan kekecewaan, apakah Allah ada dan tetap setia terhadap segala janji-Nya? Masalah yang rasanya tak kunjung berhenti membuat saya kerap meragukan Allah dan perjanjian-Nya. Belum lagi ketika saya merasa sedih, kecewa, gagal dan tidak layak. Akhirnya saya sampai di sebuah masa bergumul dengan trust issue kepada Allah. Padahal saya tahu, DIAlah pemilik kehidupan setiap kita. Bahkan—mengutip Mazmur 139—Pemazmur berkata bahwa Allah mengetahui kita jauh sebelum kita ada dan DIA mengetahui hari-hari yang akan kita jalani jauh sebelum kita lahir ke dunia. Namun, mengapa saya begitu sulit percaya kepada Allah?


Di tengah trust issue itu, ada kisah seorang tokoh Alkitab yang Tuhan pakai untuk kembali meneguhkan iman saya. Namanya adalah Abraham. Jauh sebelum melanjutkan tulisan ini, saya merasa bahwa ke depan akan ada banyak hal yang terdengar begitu klise bila kita coba melihat kembali kepada realitas kehidupan dan badai yang begitu berat dalam kehidupan masing-masing. Namun, kiranya kita bisa terus belajar dan mempergumulkan iman seperti yang Abraham lakukan.



Siapa yang tidak mengenal Abraham (atau Abram, sebelum Tuhan mengganti namanya)? Dialah tokoh Alkitab yang dijuluki sebagai bapa orang beriman. Abraham juga menjadi bapa leluhur bagi para penganut agama Abrahamik (Nasrani, Islam dan Yahudi). Mengapa Abraham disebut sebagai bapa orang beriman? Karena Abraham memiliki iman yang begitu besar kepada Tuhan Allah dan ia mempercayai segala kehidupannya kepada Dia, sang pemilik kehidupan. Sejak berada di sekolah minggu, mungkin kita telah mengetahui cerita-cerita tersohor dari Abraham. Dia dipanggil Allah pergi dari tanah kelahirannya menuju ke tempat yang ia tak ketahui. Sejak menjawab panggilan Allah tersebut, Abraham telah percaya dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Kedekatan antara Abraham dan Allah dikisahkan dengan sangat indah. Kita juga tahu bersama ketika Abraham di umurnya yang telah lanjut belum memiliki keturunan, Allah berjanji padanya akan memberikannya keturunan yang banyaknya seperti bintang di langit (Kejadian 15).



Kita juga tahu ketika Allah menguji iman Abraham dengan menyuruhnya menyerahkan Ishak, anaknya yang tunggal, untuk dipersembahkan sebagai korban bakaran bagi Allah di gunung Moria (Kejadian 22). Padahal kita tahu bahwa sulit bagi Abraham mendapatkan seorang anak di usianya yang lanjut, ditambah lagi Sara, istrinya, juga sudah mati haid pada saat itu. Berkaca dari kisah Abraham ini, saya rasa tepat bagi Abraham menerima julukan sebagai bapa orang percaya. Di tengah segala proses penempaan imannya, Abraham memilih untuk percaya sepenuhnya kepada Allah.

Agar bisa percaya kepada seseorang, kita tentu membutuhkan waktu untuk mengenal lebih dalam. Begitu pula dalam relasi kita bersama Tuhan.

Abraham sudah kenal siapa Tuhan Allah melalui waktu dan proses yang Allah berikan. Mencoba memosisikan diri sebagai Abraham, saya yakin dengan segala peristiwa yang terjadi, Abraham pun terus bertanya kepada Allah. Di tengah ketidakmengertian Abraham, ia memilih untuk tetap percaya. Hebat sekali iman Abraham ini, bukan? Dalam Kejadian pasal 15 ayat 2 dan 3 misalnya, Abraham pun berada di dalam keraguan terhadap janji Allah ketika Allah sendirilah yang mengatakannya kepadanya. 


Abram menjawab: "Ya Tuhan ALLAH, apakah yang akan Engkau berikan kepadaku, karena aku akan meninggal dengan tidak mempunyai anak, yang yang akan mewarisi rumahku ialah Eliezer, orang Damsyik  itu." Lagi kata Abram: "Engkau tidak memberikan kepadaku keturunan, sehingga seorang hamba ku nanti menjadi ahli warisku." (Kejadian 15 : 2-3)



Ya, Abraham terus bergumul bersama Allah. Abraham terus membangun dialog bersama Allah walau saya pun merasa Abraham tidak mengerti maksud dari Allah. Seringkali kita mencoba menyelami Allah yang begitu luas dengan mempersempit cara kerja Allah sesuai dengan jalan pikiran kita. Seringkali kita mencoba menyamakan cara Allah bekerja dengan kemauan kita sendiri sehingga ketika rasanya Allah tidak bekerja, sesungguhnya kita hanya tidak menyedari pekerjaan Allah. Kita kurang membangun dialog antara diri sendiri dengan Allah sehingga tak jarang kita memiliki trust issue terhadap-Nya. Nextdalam Kejadian 15 ayat 6, setelah Allah mengadakan perjanjian tersebut kepada Abraham, "Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran." (Kejadian 15 : 6) Abraham diproses dengan sedemikian rupa hingga benar-benar bisa percaya kepada Allah. Melangkah lebih maju, dalam perjanjian baru, rasul Paulus juga kembali membahas iman yang besar dari seorang Abraham kepada jemaat di Roma. Dalam Roma 4 : 1-25, ia hendak menjelaskan bahwa Abraham dibenarkan karena imannya yang begitu besar kepada Allah. Paulus melihat begitu besarnya kepercayaan Abraham kepada Tuhan Allah. 


Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya, bahwa ia akan menjadi bapa banyak bangsa, menurut yang telah difirmankan: ”Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.” Imannya tidak menjadi lemah, walaupun ia mengetahui, bahwa tubuhnya sudah sangat lemah, karena usianya telah kira-kira seratus tahun,dan bahwa rahim Sara telah tertutup. Tetapi terhadap janji Allah ia tidak bimbang karena ketidakpercayaan, malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah, dengan penuh keyakinan, bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan. (Roma 4 : 18)



Lebih lanjut, rasul Paulus hendak mengajarkan pada setiap orang yang membaca surat ini (termasuk kita), yaitu fakta bahwa kita sudah dibenarkan oleh iman Kristus melalui kematian dan kebangkitan-Nya bagi kita:

"Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka pada waktu yang ditentukan oleh Allah." - Roma 5 :6

Rasul Paulus juga menyadarkan kita bahwa justru "di dalam kelemahan dan kesengsaraan kita seharusnya dapat bermegah. Karena dari kesengsaraan  itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita." (Roma 5:3-5). Abraham memberikan kesaksian kepada kita bahwa ia percaya betul kepada Allah karena ia mengenal betul Allah sebagai sang pemberi dan penggenap janji. Di dalam kesengsaraan, iman yang terus dipelihara menimbulkan ketekunan. Walau rasanya realitas kehidupan memperlihatkan segala yang buruk, Allah tetap setia pada setiap janji-Nya. Janji-Nya kepada kehidupan kita semuanya termuat di dalam Alkitab yang ada di tangan kita masing masing. Namun, yang jadi persoalan selanjutnya adalah apakah kita percaya betul kepada Allah sang pemberi janji.

 


Marilah kita berefleksi bersama, ketika realitas kehidupan membuat kita kecewa dan tidak percaya kepada janji-janji Allah, bagaimana respons kita? Apakah kita masih terus percaya kepada Allah? Sampai saat ini, saya masih terus mempergumulkan hal ini. Namun, yang saya tahu pasti adalah Allah tetap setia bagi kita. Meskipun sebagai orang berdosa kita tidak setia kepada Allah, kecewa kepada-Nya dan menjauh dari-Nya, Dia tetap setia menunggu kita kembali kepada-Nya. Janji Tuhan bagi setiap kita betul-betul nyata. Namun, terkadang tidak semua hal dapat kita pahami. Jalan yang ditetapkan-Nya seringkali membingungkan karena kerap tak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Abraham pun bingung ketika rasanya sudah begitu tua untuk memiliki keturunan. Ada kemungkinan Ia juga kebingungan ketika Allah menghendaki anaknya sebagai korban bakaran. Namun, di tengah ketidakpastian dan ketidaktahuan akan masa depan, Abraham menyerahkan kehidupannya kepada Sang empunya hidup. Ia memilih percaya berjalan bersama Allah di tengah keraguan.

Ketika kita tahu dengan siapa kita berjalan,

ketika kita sadar tangan siapa yang menggenggam kita,

ketika kita sadar suara siapa yang menuntun kita,

ketika kita merasakan siapa yang memeluk kita 

dan menyambut diri kita apa adanya di tengah realitas kehidupan yang rasanya membuat kita tak kuat lagi melangkah...

di situlah iman kita kepada Allah semakin besar.

Semua itu hanya karena anugerah Allah yang melayakkan kita untuk mengenali diri-Nya. Kita mengenali suara-Nya yang lembut memanggil kita dari tempat persembunyian kita, merasakan pelukan-Nya ketika harus berulang kali bersedih dan gagal. Kita merasakan genggaman tangan-Nya setiap kali kita ragu dan bimbang. Ya, Allah telah mengirimkan Penolong yang bernama Yesus, dan seorang Penolong lainnya yang kita sebut sebagai Roh Kudus. Allah Tritunggal inilah yang menjadi teman seperjalanan di dalam peziarahan kehidupan kita. 



Sebuah lagu dari Buku Nyanyian Gita Bakti No 252 berjudul Berpeganglah Pada Janji Juruslamat [https://www.youtube.com/watch?v=ntlyzVWYCI8] menguatkan kita untuk percaya pada Tuhan dan setiap janji-Nya bagi kita. Oleh firman-Nya, kita memenangkan keadaan yang terasa sulit untuk dilampaui dengan kekuatan diri sendiri. Janganlah bimbang bila ketakutan datang menyerang, karena di sepanjang masa Dia terus beserta. 


Jangan bimbang, berpeganglah pada janji Jurus’lamat. 

Jangan bimbang, percaya pada janji Tuhanmu. 


Soli Deo Gloria

LATEST POST

 

Akhir Oktober biasanya identik dengan satu event, yaitu Halloween. Namun, tidak bagi saya. Bagi saya...
by Immanuel Elson | 31 Oct 2024

Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2 Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow&n...
by Kartika Setyanie | 28 Oct 2024

Kalimat pada judul yang merupakan bahasa latin tersebut berasal dari slogan sebuah klub sepak bola t...
by Jonathan Joel Krisnawan | 27 Oct 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER