Belajar dari Pergumulan Yakub: Berdamai dengan Allah sebelum Berdamai dengan Keluarga (Part 1)

Going Deeper, God's Words, 15 May 2019
Allah selalu menginisiasi sebuah perubahan

Keluarga yang sehat dibangun dari konflik-konflik yang diselesaikan. Itu adalah hal yang saya pelajari dari melihat berbagai macam konsep “keluarga” yang berhasil, entah itu dalam artian keluarga inti dengan hubungan darah, hingga konsep keluarga dalam komunitas-komunitas seperti gereja dan organisasi. Dalam setiap hubungan suami-istri yang bertahan hingga akhir, relasi orang tua-anak yang saling menyayangi, hingga anggota gereja dan organisasi yang melengkapi satu sama lain, saya melihat adanya kemiripan: keberanian untuk mengakui dan menantang konflik kemudian menyelesaikannya.

Untuk menciptakan iklim di mana miskomunikasi bisa segera dibereskan tanpa rasa sungkan, butuh proses yang tidak jarang amat lama, karena ada ego-ego yang harus ditundukkan dan diselaraskan satu sama lain.

Pertanyaannya adalah apa yang bisa kita lakukan, dan bagaimana kita bisa menyiapkan diri supaya dapat menjadi suatu komponen yang membangun dalam sebuah keluarga, di tengah segala ketidaksempurnaan diri.

Ada sebuah proses penyelesaian konflik dalam Alkitab yang setelah saya refleksikan ternyata begitu membimbing saya dalam menyelesaikan konflik diri dengan keluarga. Kisah itu berasal dari tokoh yang darinya nama bangsa Israel sebagai umat pilihan Allah diperoleh: Yakub.

Untuk itu saya akan membagi refleksi pribadi saya ini menjadi dua bagian. Pertama, saya akan mulai dengan mencoba membagikan pergumulan Yakub dengan segala kekacauan dirinya, konflik-konflik keluarga dan pribadi yang dihadapinya, hingga sampai akhirnya dia menemukan rekonsiliasi. Berikutnya adalah bagaimana refleksi akan pergumulan Yakub ini begitu nyata dalam konflik-konflik yang saya alami dalam keluarga darah inti. Beragam trauma, kemarahan, dan penghindaran yang akhirnya membawa saya pada satu pemahaman: selesaikan dulu konflikmu dengan Allah, dan Allah akan membimbingmu untuk berani mengarungi kehidupan yang penuh dengan konflik.

Photo by Ruben Mishchuk on Unsplash

1.Yakub Sebelum Pergumulan dengan Allah: Latar Belakang

Berbicara tentang asal mula bangsa Israel sebagai umat pilihan Allah dalam Alkitab, mau tidak mau kita akan berbicara tentang Yakub, cucu Abraham dan anak Ishak yang menjadi asal mula nama Israel.

Memandang ceritanya di Kitab Kejadian, mungkin kita akan heran.

Kenapa?

Pembacaan kitab Kejadian akan memberikan kita gambaran tentang betapa mulianya Abraham dan Ishak sebagai pribadi-pribadi yang tunduk pada Allah. Abraham yang begitu setia terhadap panggilan dan perintahNya, serta Ishak yang hidupnya sukses dalam lingkup berkat Allah.

Namun, saya yakin pembacaan kita akan Yakub sejak awal akan membuat kita seba.

Sejak lahir, Yakub sudah “cari gara-gara” dengan saudaranya sendiri, Esau, yang dengannya dia akan terus berkonflik. Tangan Yakub bayi sudah memegang tumit Esau saat lahir (Kej. 25:25). Dia pun dinamai Yakub karena tingkahnya yang memegang tumit (heel-holding) sebuah lambang kelicikan orang yang cenderung berusaha mengalahkan melalui manipulasi. Dari sini sudah dapat kita duga bahwa perjalanan hidupnya dipenuhi konflik.

Yakub yang bertumbuh besar terus menerus menggunakan kelihaiannya untuk memanipulasi, menghindar, mengelak, menipu, dan merekayasa untuk memperoleh posisi-posisi yang menguntungkan bagi dia. Dua kali dia menipu Esau untuk memperoleh privilege (Kej. 27:36). Tak heran bila Esau meraung-raung marah, dendam sampai berniat untuk membunuhnya (Kej, 27:41). Tentu saja Yakub, tipikal sifatnya, kabur dalam ketakutan, melarikan diri untuk mencari aman dari konflik yang begitu besar.

Photo by DAVIDCOHEN on Unsplash

2.Yakub Dalam Pengembaraan: Hati yang Tak Tenang

Yakub, dalam pengembaraannya, terus menggunakan kemampuannya untuk bertahan hidup sekaligus lari dari pergumulan dengan keluarganya. Dia merasa di atas angin, karena sudah diteguhkan sebagai pemilik berkat dan merasa luar biasa puas dengan keabsahannya, meskipun itu diperolehnya dengan curang. Ada harapan dalam hatinya supaya Allah yang penuh rahmat memaafkan perbuatannya.

Tapi lama kelamaan, setelah bertahun-tahun pengalaman yang di dalamnya sudah termasuk kehidupan di rumah Laban dan dinamikanya, dia sadar bahwa ada kekhawatiran yang mengganjal dalam dirinya. Dia menyadari bahwa rasa damai dalam dirinya tidak akan hadir sampai relasinya dengan Esau diletakkan pada kondisi yang seharusnya: dalam rekonsiliasi dan pemulihan. Kenyataan bahwa ada konflik membuncah yang tak terselesaikan itu membuatnya sungguh takut.

Dia pun mulai mencoba menghadapi masalahnya, tapi bukan dengan keberanian kosong, justru dalam kalkulasi yang amat hati-hati dia mencoba mengulur waktu dan menggunakan “alat-alat rayuannya” dari miliknya.

Cara itu gagal. Di Kej. 32: 6 dia mendapati bahwa Esau juga berniat menemui dia beserta empat ratus orang pasukannya. Pemikiran bahwa Esau masih menyimpan dendam begitu membuatnya gentar, membuat dirinya akhirnya berdoa dalam ketakutan memohon Allah, masih tetap dengan motif egois untuk kepentingan keselamatannya (Kej. 32:9).

Dari sini terlihat bahwa upayanya untuk mengatur strategi maupun berdoa dulu sebelum mengalami perjumpaan dengan Esau gagal menenangkan hatinya. Dia begitu sibuk memikirkan keselamatannya, bahkan tidak berpikir soal bagaimana konflik bisa selesai dengan baik. Dia tidak punya pilihan lain: dia harus melawan konfliknya secara frontal.

Photo by Michael Petrila on Unsplash

3.Yakub yang Bergumul dengan Allah: Allah yang Menginisiasi Perubahan

Setelah semua pasukan dan keluarganya dikirimkan untuk menemui Esau, kita sama-sama tahu kisah pergumulan Yakub dengan Allah, yang tercatat dengan baik dalam Kejadian 32:22-32. Di sini saya melihat bagaimana Allah menjumpai Yakub dan mengajaknya bergumul, untuk merendahkan hati Yakub dan membuatnya sadar bahwa perjumpaan-perjumpaan (encounter) untuk menyelesaikan konflik adalah hal tak terelakkan. Bahkan Allah sendiri menginisiasi teladan pergumulan itu, langsung melawan Yakub!

Ayat 26 dengan indah menyampaikan transformasi Yakub atas pergumulannya dengan Allah itu terjadi: Yakub menyadari keilahian yang dihadapinya, membuatnya bertekun dengan gigih untuk menundukkan hatinya kepada Allah, memohon berkatNya dengan kesadaran bahwa dia tidak bisa apa-apa tanpa Allah. Ayat 28 menyatakan konfirmasi Allah yang merestui hal ini, mengubah namanya menjadi Israel, yang artinya adalah mempunyai kekuatan dengan Allah.

Photo by Vincent van Zalinge on Unsplash

Yakub, dalam pergulatan singkat itu, disadarkan, dan dilingkupi keberanian menghadapi kesalahannya di masa lalu, karena Allah mau memimpinnya. Kejadian 33:2-3 menangkap perubahan itu, di mana ia yang awalnya paling belakang sendiri, kini maju ke depan, dengan berani menghadapi konsekuensi kesalahannya untuk menyelesaikan konflik dengan bertanggung jawab. Kisahpun ditutup dengan manis; rekonsiliasi dengan Esau yang tak diduga-duga menyambutnya dengan begitu hangat (Kejadian 33:4).

Bahan Perenungan

Dari kisah ini, agaknya ada beberapa poin yang layak kita renungkan:

1. Bila Yakub, yang dalam kekacauannya telah Tuhan pilih dan sertai, mengapa kita tidak yakin bahwa Allah akan membimbing kita menghadapi segala konsekuensi atas konflik-konflik hidup kita? Pada akhirnya semua adalah karena anugerah-Nya, bukan?

2. Ketika kita menghadapi masalah dengan cara-cara kita sendiri, sudahkah kita mencoba membiarkan Tuhan mengambil alih kendali hidup kita?

3. Pergumulan Yakub dengan Allah menunjukkan transformasi diri Yakub yang begitu indah, membawanya untuk berani menyelesaikan konflik relasi dengan sesamanya. Maukah kita yang sudah diperdamaikan dengan Allah juga maju, membangun relasi-relasi “keluarga” yang dibangun atas konflik-konflik yang diselesaikan dengan berani?

Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi perenungan saya ketika melihat bagaimana Tuhan memandu saya menghadapi konflik keluarga, yang akan saya bagikan pada bagian selanjutnya.

Part selanjutnya:

Belajar dari Pergumulan Yakub: Sebuah Refleksi Pribadi mengenai “Rumah” //Part 2

LATEST POST

 

Akhir Oktober biasanya identik dengan satu event, yaitu Halloween. Namun, tidak bagi saya. Bagi saya...
by Immanuel Elson | 31 Oct 2024

Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2 Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow&n...
by Kartika Setyanie | 28 Oct 2024

Kalimat pada judul yang merupakan bahasa latin tersebut berasal dari slogan sebuah klub sepak bola t...
by Jonathan Joel Krisnawan | 27 Oct 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER