Tetapi, sekarang saya disadarkan, bahwa saya mencintai sesuatu yang tidak ada. Saya jatuh cinta pada bayangan. Dan sekarang, cahaya yang paling terang sudah menyala dan menyingkirkannya.
Pemuda dari Gereja A bertemu dengan pemudi dari Gereja B di sebuah acara Komisi Pemuda; yang satu peserta, yang satu panitia. Mereka kemudian memutuskan berpacaran. Nothing can go wrong, right?
“Percaya sama aku, semua akan baik-baik saja,” saya mendengar suaranya dari ruangan yang remang-remang. Kami sedang menyantap makan malam bersama di sebuah tempat yang cukup fancy di bilangan Jakarta Pusat, ketika mendadak lampu mati dan bau gas mulai menguar. Beberapa pengunjung di meja lain mulai meninggalkan meja – sedangkan hidangan kami baru separuh termakan. Saya mulai panik. “Tenang saja,” ujarnya.
Laki-laki itu adalah orang yang saya percaya hatinya. Sedemikian, hingga saya bisa menyingkirkan kemungkinan mati konyol terpanggang di restoran mewah hanya karena ia mengatakan untuk tetap tenang. Kami menghabiskan makanan di piring masing-masing dan berjalan keluar restoran. Segera setelah kami melangkah keluar, mereka langsung memasang tanda CLOSED dan saya melihat seorang staf mengambil alat pemadam kebakaran dari kotak di dinding. Itu adalah salah satu kenangan paling berkesan di awal hubungan kami.
Saya dan teman-teman di persekutuan pemuda kadang saling ledek ketika akan datang ke acara pemuda lintas-Gereja, “Yuk, kesempatan cari jodoh se-azas!”. Dan memang, belajar dari hubungan sebelumnya, saya jadi rindu berpacaran dengan orang yang karakter gerejanya mirip dengan saya. Dan saya merasa mendapatkan gambaran itu di dalam diri lelaki ini.
***
Apakah di antara kalian ada yang pernah mengalami ditembak tapi nggak jadian? Ya, ini juga yang saya alami dengannya. Dalam kesempatan makan larut malam kami yang lain, ia kemudian mengungkapkan rasa sukanya, tapi kami tidak jadian. Ini salah satu momen paling absurd dalam kehidupan dating saya.
“Tunggu ya, ada sesuatu yang mau aku persiapkan. Trust me and be patient,” ujarnya. Saya dipulangkan ke rumah, dan malam itu saya mengalami insomnia teraneh dalam hidup.
***
Tetapi dia tidak berubah. Dia masih lelaki gentle, bijak dan sopan yang saya kenal. Dia hampir tiap hari datang menjemput, memperkenalkan dirinya dengan baik ke keluarga saya dan sering membawakan berbagai makanan untuk orang tua saya di rumah. Dia masih pria yang sama, yang selalu membawakan tas dan membukakan pintu mobil untuk saya.
Masa penantian saya berakhir di satu malam, ketika ia mengantarkan saya pulang setelah mengajak saya makan malam dengan keluarganya. Tiba-tiba ia menahan saya di mobil dan berucap,
“Will you be my girl?”
“Yes. Will you be my boy?”
“…no.”
“Why?”
“Because, I will be your man.”
***
Suatu malam, kami sedang duduk berbincang di halaman rumah ketika ia menanyakan hal ini,
“Kita pergi liburan yuk, naik pesawat kemana gitu…”
“Berdua saja?”
“Iya.”
“Nggak, deh.”
“Kenapa? Kamu nggak percaya sama aku?”
“Eh- nggak gitu, tapi…itu bukan sesuatu yang bisa diterima sama keluargaku.”
“Kasih waktu aku tiga bulan; orang tua kamu pasti bakal ijinin kita pergi,”
Ia menyahut dengan yakin. Setelah ia pulang, saya terpekur cukup lama di ruang makan, menatap kotak-kotak kue favorit mama dan kakak saya yang ia bawakan sebelumnya. Sampai larut malam
***
Sampai hari ini saya tidak paham apa pemicunya, tetapi ia kemudian menunjukkan dua sisi kepribadiannya. Ia makin agresif secara fisik – setiap kali kami pergi keluar bersama, ia akan menyentuh saya di berbagai bagian yang tidak seharusnya. Beberapa kali, ia mencoba membuka resleting atau kancing baju yang saya kenakan, meski saya tegur. Tetapi saya mulai berkompromi karena tidak ingin ia merasa ‘tertolak’ – ia memiliki sejarah panjang sebagai korban bully yang pahit, sehingga saya merasa tidak tega padanya.
Kemudian ketika ia makin berani dan meminta hal-hal seksual pada saya, ia selalu berkata, “Jangan terlalu banyak berpikir – percaya saja, aku tahu batas kok.”
‘Batas’
Kata itu sekarang terdengar terlalu absurd di telinga saya. Karena ia tahu prinsip saya adalah tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah, dia kemudian mencoba bermain-main di ‘perbatasan’. Setelah mendapatkan jarak dan waktu dari hubungan kami, saya mulai bisa membaca polanya – semua kejutan manis – perhiasan, baju, makanan… setiap kali ia memberikan itu pada saya, ia juga meminta hal lain. Hal yang sama sekali tidak sepadan.
Tetapi hari-hari itu, saya hanya bisa merasa sayang padanya. Ia masih pria yang sama, yang pergi ke gereja di hari Minggu, yang memimpin doa makan kami ketika kami pergi keluar, saya membatin. Kami bahkan bisa membahas Firman Tuhan bersama-sama. Saya bingung dan terpecah – are you an angel, or a devil? Terkadang, saya kecewa pada diri sendiri – saya lulus dari kampus dengan titel ‘mahasiswa terbaik’, saya bisa merintis bisnis sendiri, tetapi mengapa bersamanya saya jadi sangat bodoh?
***
“Ingat ya, kamu itu aktivis gereja – menurutku nih, cobaan kamu dalam relationship bakal lebih berat dari yang lain…”
Tanpa ada angin dan hujan, seorang teman berkata demikian pada saya. Tetapi saya merasa ‘bisa’ menanganinya. Saya percaya akan bisa mengubahnya menjadi laki-laki yang ‘lebih baik.’ Ya kan?
Saya meraih jurnal pribadi saya, dan membalik halamannya ke catatan di hari dimana ia mulai meminta sebuah perlakuan seksual dari saya. Terkadang, saya suka mengobservasi diri sendiri seperti Jane Goodall mengobservasi monyet-monyetnya; saya akan mencatat semua gejala empiris yang terjadi di lapangan. Dan hari itu, saya sudah membuat sebuah tabel berisi hal-hal yang berubah dari diri saya:
- Makin terobsesi
- Sulit fokus pada pekerjaan
- Merasa takut ditinggalkan
- Kurang percaya diri
Gawat, batin saya. Merekam kembali memori di awal kedekatan kami, sosoknya dulu justru menjadi energi positif yang mendorong saya makin kreatif dalam bekerja. Kok, jadi beda ya?
***
“Kamu jadian, tapi kok nggak lebih hepi daripada waktu jomblo sih?” Seorang teman gereja lagi-lagi menggoda saya. Saya hanya tertawa dan meyakinkannya bahwa semua baik-baik saja, tetapi hati saya ngilu. Ia benar. Hari-hari itu saya merasa tertekan karena sikap pacar yang mendadak berubah. Ia makin berjarak, tetapi ketika dikonfrontasi, ia hanya berkata, “Aku sedang menggumulkan sesuatu, aku minta waktu ya. Percaya deh sama aku.”
***
Di tengah situasi yang tidak enak itu, saya memutuskan tetap mendampingi dia ke acara gerejanya, sebuah bakti sosial ke panti asuhan. “Ini siapa?” Seorang teman gerejanya bertanya. “Oh, ini…teman.”
Teman???
Saya harus menanamkan kuku dalam-dalam ke lengan agar menahan diri saya untuk tidak menangis.
***
“Dia minta kamu percaya sama dia?” Seorang teman gereja mendapati saya menangis sendiri di sebuah ruangan yang tak terpakai. “Balesin nih. Bilang aja, ‘Saya cuma percaya sama Yesus, satu-satunya pria yang hati-Nya nggak bolak-balik.’ Nggak kaya dia. Huh.”
Saya tak kuasa menjawab. Pikiran saya melayang, kembali pada sebuah puisi yang saya berikan sebagai hadiah ulang tahunnya 3 hari lalu. Ia membacanya, lalu raut wajahnya berubah menjadi sangat ganjil. Dan ia hanya berkata, “Terima kasih.”
***
“Do you realize, all the nice things I did for you, it’s actually just because I wanted to get into your pants?”
Keesokan harinya, kami bertemu di sebuah ruang terbuka di area mall yang sepi. Tempat yang sempurna untuk putus cinta.
“Maaf. Aku benar-benar laki-laki berengsek. Sebenarnya… aku nggak siap memulai hubungan baru; selama ini aku cuma menginginkan seks dari kamu. Tetapi ketika membaca puisi yang kamu tulis buat ulang tahunku… aku sadar, kamu ternyata sayang beneran sama aku.”
Saya menatap matahari yang sedang senja di langit di belakang kepalanya. Nanar.
“Kamu…pernah sayang nggak sih, sama aku?”
“Pernah.” Ia menyahut sambil memalingkan kepalanya. “Kamu tahu, apa rencana awalku? I was going to ask you to have sex-“
“Terus, kalau aku bilang ‘iya’ kita nggak jadi putus?”
Ia terdiam sejenak. Saya langsung paham jawabannya. Saya langsung paham apa yang salah. Saya sudah sayang pada seseorang yang hanya mengharapkan seks dari saya. Dan ini adalah sakit hati level baru yang belum pernah saya cicipi sebelumnya. Ternyata begini rasanya. @#*&!
“Ya sudah, terus kenapa kamu berubah rencana?”
“Aku…didatengin Tuhan.”
“Apa?”
“Berhari-hari aku insomnia karena merasa bersalah sama kamu. Tapi di jam-jam tertentu, aku merasa Tuhan datang dan buat aku mengantuk. Dan tiap kali itu terjadi, aku mimpi hal yang sama: Kita putus.”
“Berapa kali?”
“Tiga. Mimpi pertama, aku acuhkan. Mimpi kedua, aku bernegosiasi sama Tuhan. Tapi setelah mimpi ketiga… aku tahu, aku harus melakukan ini. Maaf ya.”
Ia meraih kepala saya ke dadanya dan mencium kening saya berulang-kali. Saya hanya bisa menangis lagi. Caranya mencium kening saya mengingatkan saya pada hari-hari awal pacaran kami, ketika saya masih merasa hangat, dikasihi, dan ia masih menjadi energi kreatif dalam hidup saya.
Tetapi, sekarang saya disadarkan, bahwa saya mencintai sesuatu yang tidak ada. Saya jatuh cinta pada bayangan. Dan sekarang, cahaya yang paling terang sudah menyala dan menyingkirkannya.
Setelah meminta maaf lagi, ia ‘mempersilakan’ saya untuk marah, bahkan menampar atau memukulinya jika mau. Tetapi seperti ayam yang kelu, saya hanya bisa merintih, “Nggak mau. Ak-aku… akan memaafkan kamu.”
Tahu nggak, orang yang patah hati itu berubah menjadi hantu? Jalan rasanya seperti nggak menapak, pikiran melayang-layang. Semuanya jadi blur. Saya ingat jejak lunturan eye shadow dan eye liner saya di bajunya yang putih, saya ingat matanya yang kosong ketika saya tinggalkan di lobi mall, saya ingat kunjungan berulang ke klinik psikolog dan sesi konseling dengan pendeta yang saya jalani. Hingga hari ini, saya masih merasa setengah hantu setengah manusia, tetapi grafiknya makin baik. Makin hari, saya makin ‘manusia’ dan ia makin menjadi ‘hantu’.
Saya masih sering ingat padanya, saya sering bertanya-tanya, apakah ia juga pulih dari masalahnya, apakah ia mendapat dukungan dari teman-temannya seperti yang saya rasakan, apakah keluarganya baik-baik saja. Tetapi semua sudah selesai.
Hidup yang saya jalani saat ini masih penuh pertanyaan – tapi pengalaman ini mengajarkan saya akan besarnya hati Tuhan. Berbeda dari si mantan, saya Kristen sejak lahir; tetapi rasanya saya belum pernah mengalami lawatan pribadi seperti yang dialami mantan saya. Di sisi lain, saya harus mengakui, ketika ‘disibukkan’ dengan pacaran, kadang saya melupakan kehidupan spiritual saya sendiri. Mungkin itu sebabnya Tuhan mengetuk ‘pintu’ lain – mantan saya.
Tuhan telah turun tangan dan menyelamatkan saya terjerumus lebih dalam; tetapi saya percaya, Ia juga menyelamatkan mantan saya di saat yang sama. Ia punya rencana yang indah juga untuknya dan saya, di jalan kami masing-masing. Meskipun saat ini saya hanya bisa merasa sakit di hati, tetapi setidaknya kali ini saya tahu, Yesus adalah pria yang tidak akan merobek rasa percaya saya. Berbagai pertanyaan yang menggentayangi pikiran, saya coba kesampingkan. Mungkin hidup ini tidak selalu harus memahami, tetapi mempercayai hati yang tepat. Hati Tuhan.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: