Menggelisahkan otak untuk mencari cara untuk berkontribusi bagi perbaikan lingkungan sekitar sesuai kemampuan kita, dan berjejaring dengan orang-orang yang juga mengalami kegelisahan serupa.
Pemeliharaan Allah. Providensia.
Ketika berbicara pemeliharaan-Nya, aku sering memikirkan mengenai bagaimana Tuhan menyertai kehidupanku dari lahir hingga saat ini.
Aku lahir di keluarga Kristen taat. Aku dibesarkan dengan ajaran-ajaran dan nilai-nilai Kristiani yang kuat, dimasukkan dalam sekolah Kristen dari SD hingga SMA. Aku dijaga Tuhan dalam kecukupan, apa yang aku butuhkan selalu terpenuhi oleh orang tua. Tuhan pula memeliharaku dalam kehidupan sekolah sehingga aku bisa mendapat pendidikan yang baik, di sekolah yang baik, dengan ranking yang baik. Tuhan memelihara interaksiku sehari-hari dengan memberikan lingkungan pergaulan yang dipenuhi orang-orang santun dan taat pada Tuhan. Tuhan pula yang mengizinkan aku kuliah di tempat yang baik dan bisa lulus sarjana untuk kemudian mendapatkan pekerjaan yang mencukupkan keseharianku.
Aku terpelihara, aku terjaga, dan aku disertai-Nya hingga saat ini.
Shutterstock.com
Tunggu sebentar.
Aku mulai gelisah. Kenapa pemeliharaan Tuhan jadi begitu “aku” begini? Kenapa ketika berbicara pemeliharaan, perspektifku selalu amat personal? Ya, memang, setiap orang percaya punya pengalaman yang personal mengenai Allah yang memelihara hidupnya. Tapi kenapa aku jadi berhenti dan berpuas diri di situ?
Kenapa pola pikirku yang demikian semakin lama semakin terasa egois? Jangan-jangan konsepku mengenai pemeliharaan-Nya telah terdistorsi begitu jauh? Apa bedanya aku dengan Sang Farisi yang mengucap syukur atas hidupnya yang “bersih-bersih saja”?
Ketika aku melihat orang sekitar yang kurasa begitu hina di mataku, seberapa sering aku melengos dan berkata dalam hati “untung aku tidak seperti itu”? Ketika kulihat bencana alam di suatu tempat, atau serangan teroris, misalnya, seberapa sering aku berpikir, “Puji Tuhan aku tidak ada di sana, Tuhan masih pelihara hidupku” dan semacamnya?
Kenapa ucapan syukurku begitu self-centered dan tidak menggerakkanku untuk berbuat bagi sesama? Perenungan bertahap dalam perjalanan hidupku ini membuatku tertegun. Tak kusadari, selama ini konsepku mengenai pemeliharaan Tuhan sebenarnya adalah sebuah konsep mengenai privilege. Sebuah konsep akan keunggulan yang mewujud pada ungkapan syukur yang egois, atau bahkan tanpa ungkapan syukur sama sekali.
I was born with privileges I took for granted.
Shutterstock.com
Apakah aku masih punya hak untuk berkata “pemeliharaan Tuhan sungguh sempurna” ketika melihat kemiskinan dan ketimpangan sosial di sekitarku terus menerus ada tanpa aku bisa melakukan apa-apa?
Beranikah aku berkata demikian ketika aku membaca angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang tak kunjung turun? Bagaimana sikapku saat korupsi di lingkungan sekitarku merajalela?
Layakkah aku bersyukur di saat begitu banyak orang ingin bunuh diri karena merasa tidak sanggup menghadapi hidup ini? Sanggupkah aku mensyukuri keseharian ketika aku masih terus mendengar berita tentang diskriminasi atas nama agama, suku, orientasi seksual, dan perbedaan-perbedaan lainnya yang berujung pada penyiksaan dan pembunuhan?
Seorang filsuf, Friedrich Nietzche, pernah berkata demikian, “There was only one Christian and he died on the cross.”
Bagaimana kalau dia ternyata benar?
Tuhan, beserta pemeliharaan-Nya, sudah “mati”, karena kita yang sebenarnya memiliki privilege, menghentikan penyaluran berkat-Nya pada kita sendiri. Tuhan Yesus, yang bangkit, dan kemudian menguatkan dan memberdayakan murid-murid-Nya untuk bersaksi dan berkarya di dunia dengan pimpinan Roh Kudus, telah mengalami kematian relevansi karena kasih-Nya yang perlu ditanam dan dipupuk di bumi ini, kita konversi menjadi kebencian dan eksklusivitas.
Sungguh, mungkin kita hanyalah seorang penyalib Yesus. Ah, kurasa kita semua perlu bertobat karena menyalibkan Dia dengan bangganya. Kita, yang begitu takut mengorbankan privilege sehingga kita terus memeganginya demi rasa syukur semu atas keunggulan relatif diri terhadap orang lain.
Kita, yang begitu ingin memiliki seluruh dunia ini sebagai bukti “pemeliharaan-Nya” tanpa sadar bahwa kita telah membinasakan diri sendiri.
Shutterstock.com
Pertobatan baru bisa dimulai ketika kita benar-benar merenungkan dan menyadari bahwa Yesus sendiri mengorbankan privilege yang dimiliki-Nya untuk menjalani hidup yang penuh pengorbanan. Yesus juga mengundang kita, seperti halnya Dia mengundang sang pemuda kaya untuk mengorbankan segala privilege-nya, menjual segala miliknya, berikan kepada orang-orang miskin dan tertindas, lalu mengikut-Nya.
Tuhan meminta kita, yang mengaku “terpelihara” ini, untuk menjangkau orang-orang yang mungkin sering kita asumsikan “tidak terpelihara”.
Apa yang kita yakini sebagai pemeliharaan Tuhan jangan sampai hanya alat untuk bermegah ketika kita lupa untuk membagikan pemeliharaan itu kepada orang lain. Karena pemeliharaan-Nya yang sejati seharusnya tidak hanya menenangkan, namun juga menggelisahkan.
Menggelisahkan hati untuk peka dan berdoa atas pergumulan orang-orang yang haknya dirampas oleh yang lebih mampu.
Menggelisahkan otak untuk mencari cara untuk berkontribusi bagi perbaikan lingkungan sekitar sesuai kemampuan kita, dan berjejaring dengan orang-orang yang juga mengalami kegelisahan serupa.
Menggelisahkan tubuh untuk mengambil langkah dan bertindak lewat wadah-wadah yang memungkinkan suatu perbaikan tatanan sosial.
Janji Tuhan yang paling pokok pada akhirnya adalah janji pemeliharaan yang mewujudkan langit dan bumi yang baru, dengan tatanan sosial yang memuliakan Allah, ketika kasih dan keadilan terwujud. Mungkin kita merasa tidak mampu mewujudkannya, dan mungkin itu semua terasa terlalu muluk untuk terjadi dalam kehidupan kita, sehingga kitapun ingin kembali ke dalam tempurung, berpuas hati atas “pemeliharaan”, dan menunggu-nunggu “surga” itu datang.
Paling tidak, aku sendiri merasakan begitu depresifnya perasaan insignifikan itu, dan mungkin itu pula yang membuatku lebih sering memilih untuk mengucap syukur secara semu. Tapi di saat yang sama kita diajar untuk beriman, bahwa tiada yang mustahil. Kita diajar untuk belajar percaya bahwa rencana-Nya akan menyata sepanjang sejarah manusia, bahwa “di bumi” akan menjadi seperti “di surga” pada waktu-Nya. Pengharapan itulah yang menguatkan jemaat mula-mula dalam penderitaan mereka dan sepatutnya menguatkan kita.
Shutterstock.com
Gelisahlah, kawan-kawan. Gelisahlah sampai terasa terlalu gatal untuk tidak bergerak. Biarkan Roh Kudus mengganggu dan merongrong kita terus menerus. Kiranya kegelisahan Sang Anak Manusia yang tidak tahan melihat kehancuran manusia dalam dosa menular sedikit demi sedikit dalam pola pikir kita, dan terus kita tularkan sampai menjadi virus yang mematikan bagi penguasa-penguasa di bawah langit.
Selamat digelisahkan oleh pemeliharaan-Nya!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: