Aku dan kamu berharga, aku dan kamu layak dicintai, aku dan kamu mampu berperan positif.
Penjajah dan Korban itu adalah “Aku”
Merdeka kerap kali diartikan sebagai kebebasan untuk bertindak atau menghidupi sesuatu hal yang menjadi value dalam kehidupan kita. Tak jarang orang menggunakan kata merdeka untuk menandakan bahwa mereka tidak lagi berada dalam belenggu penjajahan. Hal yang identik dengan merdeka dan penjajah tentu tidak lain adalah bangsa kita ini. Seluruh umat dimuka bumi pun mengetahui bahwa bangsa kita ini pernah dijajah berabad-abad lamanya hingga pada akhirnya di tahun 1945 seluruh rakyat memutuskan untuk keluar dan mengusir sang penyusup.
Sejenak mari meninggalkan kisah pilu bangsa ini dan beralih ke masa sekarang yang katanya sudah merdeka. Banyak orang beranggapan bahwa penjajah hanyalah bangsa asing yang mencoba berkuasa atas bangsa kita. Selain itu ada juga yang beranggapan bahwa penjajah adalah orang yang dapat bertindak seenaknya atas suatu komunitas atau kumpulan orang. Namun kita lupa, bahwa kita, diri kita sendiri pun juga sering menjadi penjajah. Bukan untuk orang lain tetapi untuk diri kita sendiri.
Bersikap berkuasa dan bertindak semena-mena adalah predikat yang tersemat pada diri seorang penjajah. Konsep tersebut pun juga berlaku Ketika kita menjadi penjajah bagi diri kita sendiri. Semakin dewasa, pandangan kita terhadap apapun juga semakin luas. Tak terkecuali pandangan mengenai standar-standar yang ada di masyarakat. Kita sering mendengar opini opini terkait standar masyarakat yang bahkan kita tidak tahu awal mula terciptanya bagaimana.
Semakin mendalami dan semakin mendengar standar tersebut, membuat kita banyak menghakimi diri kita. Hal itu tentu saja merupakan sebuah kekerasan. Tak jarang aku menghidupi dua peran sekaligus, yaitu peran sebagai penjajah dan peran sebagai korban. Peran sebagai penjajah tersemat pada diriku sendiri ketika aku tidak memberikan rasa penghargaan sedikitpun untuk sesuatu yang aku punya. Aku terlalu banyak memandang diriku sendiri dengan kacamata dunia yang ternyata hal itu malah seolah menghakimi. Peran sebagai korban juga sering tersemat pada diriku ketika aku merasa diriku sendiripun terlalu banyak menuntut “aku” untuk menyerupai standar dunia.
Penerimaan akan diri sendiri yang kurang mungkin tidak hanya aku yang merasakan. Ribuan bahkan jutaan perempuan diluar sana pun juga merasakan. Hal itu juga pernah diungkap oleh Najwa Shihab dalam salah satu video di channel youtubenya. Perempuan kerap kali dituntut untuk dapat melakukan multiperan, bekerja, berpendidikan, berkeluarga, dan banyak kali kata kerja dengan imbuhan “ber”. Tuntutan dari luar diri tersebut pun sering kali masuk ke dalam perasaan dan bersedimentasi didasar hati. Akibatnya rasa puas diri sulit dimiliki perempuan serta konsep hidup untuk bersyukur pun jarang dapat perempuan rasakan.
Standar dunia yang disematkan pada perempuan tidak hanya perihal peran tetapi juga perihal penampilan. Perempuan banyak mengalami krisis kepercayaan diri karena merasa bahwa dirinya tidak cukup baik untuk diperhitungkan menjadi salah satu pengisi bumi. Standar keren, cantik, pintar, menarik, dan masih banyak lagi kerap kali menjadi bahan utama penilaian dari seseorang ke orang lain. Hal hal yang demikian tanpa sadar membentuk aku menjadi pribadi yang berusaha sebisa mungkin untuk mengikuti pandangan-pandangan tersebut.
Penghakiman-penghakiman terhadap diri sendiri atau menjajah diri sendiri tersebut tanpa sadar merupakan hal empuk yang tak terhindarkan. Setelah berlaku sebagai penjajah, muncullah perasaan bersalah sehingga merasa menjadi korban dunia dan merasa tidak layak mendapatkan apapun. Perasaan tersebut terus berkembang hingga berdampak pada tingkat kepercayaan diri yang menurun, peluang yang semakin menyempit, hingga depresi ringan yang membuat overthinking menyergap.
Melalui tulisan ini aku ingin mengajak perempuan dimanapun berada untuk menghargai apa yang kita miliki. Membiarkan diri kita menikmati dan mensyukuri kepunyaan kita tentu saja merupakan suatu kewajiban, maka dengan bertingkah seperti penjajah tentu tidak koorperatif bagi diri kita sendiri. Mari melatih hati dan pikiran untuk menerima seluruh kekurangan kekurangan dan mengoptimalkan kelebihan yang kita miliki serta yang tidak kalah penting adalah membuat serta menentukan standar kehidupan kita sendiri, sehingga kita tidak perlu terpaku dengan standar dunia.
Standar kehidupan akan terus berlangsung dan akan terus ada. Berhenti dan berani menjadi berbeda merupakan tindakan paling bijaksana supaya kita, perempuan, tidak kehilangan diri kita sendiri. Berhenti keras dan menjajah diri kita sendiri dengan pikiran-pikiran yang menghakimi serta mari kubur dalam dalam peran konyol dalam diri kita yaitu peran penjajah. Pada Lukas 12:7 disebutkan bahwa “..bahkan rambut kepalamu pun terhitung semuanya. Karena itu jangan takut, karena kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit”, ini merupakan bukti cinta Tuhan buat kita, maka kita tidak perlu insecure sedikitpun.
Aku dan kamu berharga, aku dan kamu layak dicintai, aku dan kamu mampu berperan positif.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: