Aku setuju bahwa dalam beberapa hal, lebih baik jika kita melontarkan kata tanya "bagaimana" (bergerak maju) daripada kata tanya "mengapa" (bergerak mundur).
Sebagai contoh, "Bagaimana saya seharusnya menghadapi orang tua/saudara/teman seperti itu ya?" - daripada mempertanyakan "Mengapa saya harus terlahir di keluarga demikian, bertemu dengan saudara dan teman seperti demikian?" yang jelas tidak berujung kemana-mana, selain kemarahan dan rasa sakit.
Pun dengan bertanya, "Mengapa saya bisa menghilangkan kunci rumah?" atau "Mengapa saya bisa menabrak?" justru hanya akan menambah penyesalan atas hal-hal yang sudah terjadi dan tidak dapat diubah. Maka, lebih baik bertanya, "Bagaimana cara supaya saya menyimpan kunci lebih baik?" atau "Bagaimana supaya saya bisa lebih berhati-hati dalam berkendara?" Terdengar lebih positif, bukan?
Namun dalam hidup ini, ternyata ada banyak hal tertentu yang jika tidak digali "mengapa", malah terasa lebih menyakitkan.
Sebagai contoh, jika bertemu dengan orang-orang yang begitu keras kepala, atau ekstrimnya disebut toxic (pribadi menyebalkan namun sangat butuh dikasihi), bahkan jika itu adalah pasangan/sahabat kita atau diri kita sendiri. Ah, seringkali hanya karena satu kata, bisa memicu konflik yang berkepanjangan. Dan ternyata, pola menyakitkan itu terus-menerus berulang, tanpa menemukan titik cerah di balik kata tanya bagaimana. Sudah mencoba berbagai cara, namun tetap saja, relasi tak kunjung baik. Setiap kali menyentil isu tertentu, emosi bisa tiba-tiba meluap seolah ada sesuatu yang tak terungkap.
Entah bagaimana, sebagian besar orang memilih menggunakan semacam painkiller. Mengabaikan rasa sakit yang sesungguhnya dengan reaksi-reaksi seperti "Ya sudah, memang saya/dia orangnya begini/begitu, jangan tanya kenapa, titik." (represi dan kompromi) atau "Ok tidak apa-apa, aku dari dulu memang selalu salah." (self-blaming) atau yang lebih sering kita dengar "I'M OK, saya tidak ada masalah" (denial). Semuanya adalah defense-mechanism yang justru membuat luka itu semakin tertimbun, tanpa betul-betul dipulihkan. Mungkin untuk sementara rasa sakit itu reda layaknya kita meminum obat penawar rasa sakit. Namun, sumber kesakitan itu tetap ada, yang jika terus dibiarkan, bisa saja semakin infeksi dan luka semakin melebar.
Seorang teman memiliki luka mendalam terhadap keluarganya, ia sampai mengatakan setiap kali menelepon orang tuanya, rasanya emosi tiba-tiba meledak. Padahal jauh dalam lubuk hatinya, ingin sekali mengampuni.
Maka itu, di sinilah kata tanya MENGAPA berperan, "Mengapa saya/dia bisa bersikap/bereaksi demikian?"
Jadi, menurutku, ada banyak hal dalam hidup ini yang juga perlu dianalisa ke belakang untuk akhirnya bisa maju ke depan. Selama tujuannya bukan untuk menambah rasa sesal, melainkan untuk menggali dan menambah kekuatan ketika maju.
Layaknya seorang tokoh Psikologi, Bapak Sigmund Freud yang mengemukakan bahwa dari sebongkah gunung es, yang tampak oleh mata hanyalah sebagian kecil dari apa yang tidak tampak di dasar laut. Di sinilah peran kata tanya "Mengapa" untuk memunculkan bagian-bagian di bawah sadar ke kesadaran. Karena jika terlalu banyak yang tersembunyi, pribadi kita mungkin sedang sakit, yang bisa mengakibatkan orang-orang sekeliling kita juga merasa sakit.
Maka, kita bisa mencoba 3 hal ini untuk bertanya "MENGAPA" ke diri sendiri:
1. Ambil waktu untuk menulis semua memori yang dirasa melukai, bisa terhadap pasangan, teman, atau keluarga (yang biasanya menjadi sumber kepahitan). Atau bayangkan seolah-olah kita akan menyampaikan sebuah surat isi hati kita kepada mereka. Tulis semua detil yang masih terkenang di memori. Tidak perlu dengan kata-kata yang indah. Luapkan segala kekecewaan dan amarah yang ada. Mungkin dalam prosesnya, kita bisa menulis sambil menangis, bagus. Itu artinya kita sedang berusaha tidak menggunakan painkiller, melainkan berusaha mencari sumber penyakit itu.
2. Datanglah ke seorang ahli, seperti konselor Kristen yang mampu menolong kita menggali sampah tertimbun itu. Bawalah secarik surat itu sebagai modal awal untuk membuka diri. Aku katakan konselor, karena mereka belajar teknis menggali sambil menolong diri kita sendiri dalam memunculkan kesadaran-kesadaran yang diperlukan untuk menjalani relasi dalam hidup ini. Aku katakan Kristen, supaya kita memiliki nilai dan prinsip yang sesuai dengan Firman Tuhan. Dalam prosesnya, kita akan bertemu dengan berbagai tipe konselor, carilah yang membuat kita dapat terbuka secara nyaman.
3. Berdoalah. Jujur di hadapan Tuhan bahwa kita butuh pertolonganNya. Sehebat apapun konselor, kita tetap butuh Sang Konselor Yang Agung. Dia yang akan memampukan kita jujur terhadap diri sendiri, mengampuni diri sendiri, dan mengampuni orang lain secara ajaib. Berdamai dengan diri sendiri dan masa lalu kita. Lakukan ini secara terus-menerus, karena hati yang sudah tersayat, bagaimanapun butuh perawatan secara terus-menerus. Namun jika sudah pulih setahap demi tahap, bukan lagi mengkonsumsi painkiller, melainkan suplemen yang terus mengingatkan kita untuk mengasihi.
Salam damai