Salah satu keributan yang paling umum dilakukan oleh mama’s boy ketika sudah menikah adalah ketika istri dan mamanya berselisih paham, si mama’s boy akan selalu membela ibunya.
Family Drama – tidak dipungkiri bahwa ini merupakan hal yang sudah pasti ada dalam setiap keluarga. Sejak pandemi COVID-19, kehidupan setiap keluarga pasti memiliki sisi dramanya masing-masing atau kalau boleh saya bilang dalam bahasa yang lebih Alkitabiah adalah salib dalam keluarga. Lalu, setiap keluarga tentu memiliki bermacam-macam salib yang harus mereka pikul. Ada yang berupa sakit yang diderita oleh salah seorang anggota keluarga, ada yang bergumul dengan ekonomi yang sangat berat, ada yang bergumul belum diberi momongan, ada pula yang bergumul dengan suami yang suka mabuk. Itu hanya beberapa contoh.
Salah satu drama yang cukup populer dalam pernikahan adalah adanya perselisihan antara menantu perempuan dengan ibu mertuanya. Ini yang ingin saya bahas.
https://unsplash.com/@horizonstudios
Dalam sebuah pernikahan, baik istri maupun suami tentu ingin menjadi prioritas dalam hidup pasangannya. Setelah menikah, tentu lumrah jika kedua belah pihak akan berusaha atau sudah seharusnya memprioritaskan keluarga kecilnya. Mengapa? Karena kehidupan rumah tangga adalah sesuatu yang harus diusahakan bersama, masih harus bersama-sama membangunnya. Sesuatu yang tidak terbangun dalam satu malam. Bayangkan, dari yang tadinya benar-benar tidak saling kenal lalu sekarang memutuskan untuk hidup bersama.
Namun, ada satu kendala besar ketika seorang mama’s boy menikah. Mama’s boy yang saya hendak gambarkan adalah seorang pria yang masih sangat tergantung pada mamanya. Bukan berarti, kita tidak boleh menyayangi orang tua kita, tetapi kita perlu tahu, segala sesuatu yang berlebihan akan menjadi toxic. Sama halnya dengan anak yang manja (karena diberikan kasih sayang yang berlebihan dan tidak sesuai sikon).
Salah satu keributan yang paling umum dilakukan oleh mama’s boy ketika sudah menikah adalah ketika istri dan mamanya berselisih paham, si mama’s boy akan membela ibunya. Dia tidak akan mencari solusi atau menengahi dan segala sesuatu selalu salah istrinya. Itu satu ciri, ciri yang lain: dia akan membandingkan istrinya dengan ibunya (entah masakan atau kebiasaan), dia juga tidak segan untuk mengatakan bahwa ibunya adalah segalanya, bahkan lebih penting dari anaknya sendiri – di depan istrinya yang sudah tentu akan menyakiti hati sang istri.
Mengacu pada Kejadian 2:24,
Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.
Kiranya ayat ini cukup jelas berbicara bahwa ketika menikah, pasangan adalah prioritas utama. Bersatu menjadi satu daging yang berarti sudah seperti diri sendiri.
Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, karena kita adalah anggota tubuh-Nya (Efesus 5:28-30).
Tentang ‘meninggalkan ayahnya dan ibunya..’, sudah pasti ini berarti seorang harus bisa mandiri. Jika ingin menikah, seorang pria harus bisa bertanggung jawab. Seorang mama’s boy akan mengartikan ayat ini secara harafiah: masa memisahkan ibu dari anaknya, dst.
Nyatanya, bukan itu yang dimaksud. Dan seringkali mama’s boy lupa (seolah hanya mereka yang punya mama), bahwa istri/calon istri mereka juga memiliki orang tua yang mereka kasihi. Jadi mereka tidak mungkin menyuruh si suami untuk membenci mamanya, bukan itu yang dimaksud. Namun, biasanya para istri tahu untuk memprioritaskan keluarga kecilnya dahulu. Ketika seorang istri sudah memiliki anak, mereka otomatis akan berfokus pada anak/keluarga kecilnya tapi seorang mama's boy tidak semudah itu berubah.
Lalu apa yang harus dilakukan? Jika sudah menikah dengan mama’s boy, mau tidak mau kita harus menerima itu sebagai salib. Namun, bagi yang belum terlambat, temen-temen bisa mengenali gejala mama’s boy sejak dari pacaran. Kita bisa mulai berdiskusi tentang hal-hal dan rencana masa depan. Di situ akan tahu, apa yang terpenting buat hidup si cowok. Satu contoh saat acara keluarga juga bisa terlihat. Dia akan lebih sering bersama mamanya padahal sementara itu ada kekasihnya yang juga perlu ditemani. Ini bukan tentang pemikiran, "ya si cewek harus berbaur dong bla bla.." Bukan. Tetapi, si cowok harus mengerti bahwa dia harus bisa membawa/memperkenalkan ceweknya dengan baik, memperlakukannya dengan baik di hadapan keluarga besarnya. Ingat bahwa ini bukan hubungan yang mereka sudah jalin atau sudah sejak lama (si cewek dengan keluarga si cowok). Segala sesuatu masih perlu dibangun dan diusahakan bersama. Keadaan seperti ini lama-kelamaan akan membuat si cewek merasa insecure bahkan sejak dari pacaran. Seorang wanita butuh merasa aman dan dicintai. Dia butuh untuk yakin bahwa si pria akan selalu ada buat dia.
Jangan berpikir, "Ah kalau udah menikah dia pasti berubah." Tidak semua pria begitu. Jangan gambling. Saya terlalu percaya, sifat seseorang sebelum menikah sama dengan sifatnya setelah menikah. Bagi para pria, kalau mau memperlakukan pasangannya baik, perlakukanlah baik sejak dari pacaran. Setiap orang pasti diajarkan dari kecil untuk menghormati orang tua dan menyayangi orang tua, tapi sedikit yang diajarkan untuk mengasihi pasangannya. Itu bukan sesuatu yang umum dibicarakan antara orang tua dan anak.
Kiranya, tulisan ini bisa memberi pencerahan untuk kita semua. Buat temen-temen yang merasa sepertinya menjalin relasi dengan mama’s boy masih ada kesempatan untuk memikirkan ulang. Karena lebih baik gagal menikah daripada gagal dalam rumah tangga.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: