Tentang kehendak Tuhan...
Masih inget banget masa-masa pilih jurusan kuliah, berhadapan sama tawaran untuk terlibat proyek-proyek besar, pilih pasangan hidup, sampe rencanain cita-cita dan harapan; semuanya dilandaskan sama pertanyaan besar: ini rencana Tuhan bukan, ya?
Gak ada di antara kita yang mau kerjain hal-hal yang gak sesuai sama maunya Tuhan, tapi kalo kita tracing back, pertanyaan itu pernahkah benar-benar terjawab? Pernah kah Tuhan benar-benar berbisik dan jawab pertanyaan-pertanyaan itu ke kita?
Aku pribadi belum pernah. Jadi, yuk sama-sama refleksiin arti dari "kehendak Tuhan".
"Kehendak Tuhan" kadang-kadang didefinisikan sebagai satu hal yang berbeda dengan "kehendak manusia" (atau diri kita sendiri). Tapi, apa iya kehendak Tuhan itu gak bisa sejalan dengan kehendak kita? Misalnya aku yakin aku mau masuk jurusan A, tapi orang tuaku dari jurusan B; kalau kehendak Tuhan adalah hal yang pasti berlawanan dengan apa yang aku mau, maka kehendak Tuhan pasti aku masuk jurusan B. Begitukah maksud dari "mengikuti kehendak Tuhan?" mengabaikan talenta dan kemampuan dirimu sendiri? Apa iya kehendak Tuhan gak bisa muncul melalui insight dalam hati dan pikiran kita?
Kalau semuanya sudah Tuhan atur, maka bagaimana bisa dikatakan bahwa saya benar-benar bebas?
Dalam beberapa kesempatan berdiskusi dengan rekan, muncul gagasan ini. Kalau ada Tuhan, maka manusia gak bebas lagi. Manusia jadi terasing dari dirinya sendiri, karena Tuhan udah tahu apa yang akan terjadi di masa depan, apa yang akan kita lakukan besok. Ketika berhadapan dengan Tuhan, kebebasan jadi gak ada artinya lagi, toh pada akhirnya semuanya sudah Tuhan atur dan tentukan.
Ini memberikan gambaran Tuhan jadi seperti bos, dan kita seolah-olah adalah "objek-Nya". Artinya, kalau Tuhan bosnya, maka kita harus tunduk, senang atau tidak senang. Kita sebagai bawahan akan berada dalam bahaya terasing dari aspirasi, kesenangan, dan keyakinan kita sendiri. Apa iya ini relasi yang kita hayati bersama dengan Tuhan? Apa ini model relasi Yesus dengan murid-murid, atasan dan bawahan?
Pemikiran tersebut berangkat dari seorang filsuf modern, Jean-Paul Sartre yang dibantah oleh seorang teolog bernama Franz Magnis Suseno. Dalam bukunya berjudul Menalar Tuhan, dia menuliskan bahwa relasi manusia dengan Tuhan bukan relasi hirarkis/atasan dan bawahan. Tuhan membangun hubungan dengan manusia atas dasar relasional,
Yesus membangun hubungan dengan murid-murid dengan relasi sahabat, bukan tuan dan hamba.
Relasi Tuhan dan manusia dibangun atas dasar cinta:
Karenanya Tuhan tidak menciptakan manusia yang lumpuh, tapi manusia yang mungkin bisa disapa oleh sapaan Ilahi dan dapat menjawab sapaan itu dengan bebas.
Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. (Mat 6:33)
Seperti ayat di atas, mencari Kerajaan Allah bukan pekerjaan satu malam, tapi seumur hidup. Maka pertanyaan "apakah ini kehendak Tuhan?" dalam setiap pengambilan keputusan, bukanlah pertanyaan yang membutuhkan jawaban pasti, tapi adalah sebuah refleksi dan pertanyaan seumur hidup. Pertanyaan itu adalah pertanyaan dari jiwa yang haus akan kehadiran Tuhan, dan hati yang terus mencari kehendak-Nya. Mungkin kita gak akan dapetin jawabannya seketika, tapi pertanyaan itu adalah bukti kalau kita gak bisa hidup sendiri, dan senantiasa membutuhkan keterlibatan Tuhan. Bahwa kita, seumur hidup, berusaha mendengar suara-Nya, sapaan-Nya, dan melibatkan Tuhan dalam setiap pengambilan keputusan. Teruslah bertanya!
To God be the glory~
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: