Jikalau kau cinta, benar-benar cinta.
Saya pernah jatuh cinta. Semua kita pernah, bukan? Berada di dekat si doi, masih ingat gak sih gejolak rasa itu? Awal-awal jatuh cinta, sekalipun ada berjuta manusia, mata kita hanya tertuju pada yang ‘satu’ itu. Awal-awal jatuh cinta, hati kita berbunga, tak tahu apa namanya, tapi intinya selalu deg-degan walau hanya dibalas ‘mata ketemu mata’. Berdua dengannya? Tak terbayang rasanya! Kala bertemu dengannya, tanpa kata pun kita begitu bahagia. Kalau kata salah seorang juru masak senior yang terkenal, “Meriah, bukan?”.
Tapi, coba bayangkan. Kamu bertemu dengannya, berdua saja, tapi rasa dag dig dug itu sudah hilang. Bayangkan bila rasa yang mendalam itu juga hilang. Tawar saja, hampa. Cinta, ternyata hilang. Kalau kata lagu lama sih, “Hampa terasa diriku tanpa dirimu.” Eh, tapi nyatanya, saat masih bersama dan dekat saja rasa hampa itu sudah bertandang. Hmm, apa masih menarik bila kita katakan, “Meriah bukan?”
Cinta memang indah. Tapi cinta tanpa rasa bukanlah ide yang menarik. Diberikan segalanya, kalau tanpa hatinya, apa artinya? Tahu banyak tentang dia, kenal banyak dirinya, tapi tanpa rasa, apa gunanya? Dingin, bahkan sekalipun panas, ternyata isinya konflik dan bukan rasa yang menghangatkan. Meriah bukan? Sedih memang. Tidak mengenakan.
Memang begitu. Cinta tak akan lengkap tanpa rasa. Perasaan yang sulit dijelaskan, tapi sudah jelas karena kita tahu apa rasanya cinta. Betapa indahnya bila kian hari cinta bisa kian bertumbuh dan rasa bisa kian menguat. Indah. Karena cinta memang tak cukup hanya tahu tentang sesuatu, tidak cukup. Ada tidak rasanya? Boleh sih banyak bukti, tapi, selama membuktikan cinta, apakah kita membumbuinya dengan rasa? Baiklah, tolong jangan berhenti baca di sini. Marilah kita mulai dengan beberapa pertanyaan yang sedikit lebih kritis.
Photo by Ben White on Unsplash
Katanya ...
Katanya cinta Tuhan, ya?
Iya, saya sering bilang begitu, sih. Tapi, apa betul saya juga merasa begitu?
Katanya cinta Tuhan kan?
Iya, saya berdoa setiap hari. Tapi, doa itu tentang siapa? Dia, dia, atau kita sendiri?
Lagi, katanya cinta Tuhan, toh?
Saya bersedekah, melayani di gereja, memberikan persembahan, membaca Alkitab seutuhnya dalam setahun, apa lagi? Oh, jadi itu cinta ya?
Kita tentu gak nyaman bila bersama dia yang dulu begitu dekat, sekarang tiada rasa. Mungkin kalian pernah, merasa begitu mencintai Tuhan, apapun rela kita beri. Tapi, apa kabar hari ini? Ya, syukur kalau sedang baik-baik saja, atau justru sedang sayang-sayangnya, atau juga makin sayang. Tapi, apa mungkin kalian seperti saya? Rasa ini rasa-rasanya menjadi tiada. Atau, setidaknya begitu berkurang.
Mungkin tetap doa, mungkin tetap baca Alkitab, mungkin juga tetap dengar khotbah, juga tetap ‘pelayanan’, tetap bersedekah, tetap memberi persembahan, dan tetap-tetap lainnya. Mungkin saja kok. Tapi, ada rasa gak ya? Ya begitulah.
Kepada manusia, kita merasa betapa indahnya cinta. Tetapi, kepada Tuhan, sering kali rasa itu hilang. Saya sepakat dengan lirik salah satu lagu, “Rasa bisa kita cipta.” Tapi, bagaimana ada rasa bila hubungan begitu-begitu saja. Banyak kali kita berdoa hanya tentang kita, juga hanyalah formalitas atau pelengkap hidup, bukan kebutuhan. Bagaimana ada rasa sayang, bila segala kejadian sulit kita cap sebagai kutuk, bukannya pendewasaan? Bagaimana ada rasa cinta, bila yang kita pikirkan hanyalah tentang hidup kita?
Rasa cinta pada Tuhan mungkin tidak hilang. Mungkin saja, rasa yang sama itu hanya menemukan ‘tuhan’ yang baru. Bisa jadi itu diri kita sendiri, bisa juga ‘tuhan’ itu adalah barang dan pencapaian di dunia ini. Bisa kok. Kita tuna rasa, biasa saja ketika menyakiti. Toh hidup hanya tentang kita, peduli apa dengan perasaan Tuhan? Aduh, betapa berantakannya hidup ini.
Saya belajar menghidupi bahwa Allah yang hidup tak bisa dilayani dengan mati rasa. Ia layak dicinta dalam segala pikiran, perasaan, dan perbuatan. Rasa memang bisa kita cipta dengan terus berhubungan dan memusingkan ‘perasaan-Nya’. Tergantung kita sekarang. Sulit memang. Tapi, tergantung kita.
Bersama Dia janganlah seperti kencan tanpa rasa, hampa. Seperti dekat, seperti intim, padahal palsu.
"Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku." - 1 Korintus 13:3 TB
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: