Maka kata-Nya kepada perempuan itu: ”Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau, pergilah dengan selamat!” Lukas 8: 48
Hai, Ignite People! pada kesempatan kali ini, saya mau membahas sebuah isu yang kayaknya lagi trending nih di kalangan anak-anak muda. Pastinya kalian sudah tidak asing, ya, dengan istilah mental health, tapi apa, sih, sebenarnya itu?
Mengutip dari website resmi WHO, mental health bisa diartikan sebagai keadaan sejahtera mental yang memungkinkan seseorang mengatasi tekanan hidup, menyadari kemampuannya, belajar dengan baik dan bekerja dengan baik, serta berkontribusi pada komunitasnya.[1] Dari pengertian di atas, kita bisa melihat bahwa mental health yang sehat akan menolong kita dalam menjalani kegiatan sehari-hari. Namun, bagaimana bila yang terjadi adalah sebaliknya, ketika mental health kita sedang tidak baik-baik saja?
Dalam artikel ini, saya ingin mengajak kita semua untuk sama-sama belajar dari seorang perempuan yang sakit, yang kisahnya tercatat dalam Lukas 8: 43-48. Saya harap kita bisa meluangkan waktu sejenak untuk membuka Alkitab kita dan membacanya, ya.
Photo by Tim Wildsmith on Unsplash
Pada waktu itu, penyakit pendarahan adalah hal yang dianggap najis di dalam masyarakat Yahudi.[2] Jangankan pendarahan selama bertahun-tahun, orang Yahudi kuno punya pandangan bahwa perempuan yang sedang haid pun dianggap najis dan harus memisahkan diri—sampai korban penghapus dosa dan korban bakaran dipersembahkan oleh imam (Imamat 15:19-33). Perempuan pendarahan itu diasingkan dari kehidupan bermasyarakat, sebab bila ia menyentuh orang lain, maka orang yang disentuhnya akan ikut menjadi najis.[3] Jadi, bisa kita bayangkan betapa menderitanya perempuan ini. Fisiknya saja sudah mengalami penyakit yang luar biasa, yang bahkan mengancam nyawanya.[4] Namun, perempuan ini tidak hanya sakit secara fisik, tapi secara mental. Sebab, berdasarkan pengertian dari WHO tadi, perempuan ini tidak bisa menjalankan perannya di dalam komunitas, dan ia jauh dari kata sejahtera. Meskipun perempuan pendarahan itu hidup, sesungguhnya ia telah “mati” dari dalam.[5]
Ignite People, bila sahabat atau kekasih kita menjauhi kita, tentu saja kita akan sakit, sedih, atau tidak jarang berujung kepada depresi dan isu mental lainnya. Bayangkan, bila hal itu saja bisa berakibat buruk pada kesehatan mental kita, apalagi bila kita sampai dijauhi seluruh komunitas, seperti apa yang dialami perempuan yang baru saja kita baca. Keterasingan dari komunitas tentunya bisa menjadi penyebab masalah mental yang sangat berat.[6]
Sekilas, perempuan ini hanya pasrah dengan keadaannya, padahal sebenarnya ia telah berjuang untuk sembuh. Dalam bagian lain di dalam Alkitab, tepatnya di dalam Markus 5: 26, dikatakan bahwa perempuan ini telah menghabiskan segala kepunyaannya untuk bisa sembuh. Sayangnya, hasilnya adalah nihil.
Lantas, bagaimana perempuan yang telah kehilangan segalanya ini bisa kembali pulih? Alkitab kita telah memberikan jawabannya: Perempuan ini datang ke tengah komunitas yang siap untuk menghakiminya. Mari kita ambil waktu sejenak untuk membayangkan diri kita sebagai wanita ini. Bayangkan, di sekeliling kita ada banyak orang yang sudah menatap kita dengan mata yang penuh penghakiman. Bukankah kita akan menjadi takut?
Photo by Melanie Wasser on Unsplash
Alkitab mencatat bahwa perempuan ini justru tetap hadir di dalam kerumunan orang banyak itu. Imannya telah menggerakan dia untuk bertemu dengan Tuhan Yesus. Mungkin, dalam benaknya, ia berpikir bahwa momen ini (bertemu dengan Tuhan Yesus) adalah kesempatan terakhir untuk ia bisa sembuh dari pendarahannya. Ketika berada di dalam kerumunan, perempuan ini pun menyentuh ujung dari jubah yang dipakai Tuhan Yesus, dan setelahnya dia sembuh seketika. Setelah itu, Tuhan Yesus pun menyadari ada kuasa yang keluar dari diri-Nya, sebab ada seseorang yang menyentuh-Nya, dan Ia pun bertanya, meminta pengakuan dari orang yang telah menyentuhnya tersebut. Ignite People, apakah kita menyadari bahwa ada sesuatu yang unik? Sebab pada waktu itu dikatakan bahwa banyak orang yang berdesak-desakan dengan Tuhan Yesus, jadi tentulah banyak yang menyentuh-Nya, tapi mengapa kuasa itu hanya keluar kepada perempuan itu?
Sesungguhnya, ketika perempuan itu menyentuh Tuhan Yesus, perempuan itu menyentuh-Nya dengan iman, bukan sekedar sentuhan fisik semata. Imannya kepada Tuhan Yesuslah yang telah menyembuhkannya.[7]
Sebenarnya masih banyak yang bisa digali dan yang bisa saya sampaikan dari kisah ini. Kisah di atas memang tercatat singkat di dalam Alkitab, tetapi memiliki kekayaan iman yang luar biasa. Saya harap, saya bisa menulis bagian kedua dari artikel ini, di mana kita akan melihat ayat 47-48 dengan lebih dalam.
Akhir kata,Ignite People, masalah mental kita bukanlah masalah yang tidak bisa kita atasi. Tidak ada masalah yang lebih besar daripada Tuhan kita, Tuhan Yesus. Bila kita benar-benar memiliki iman di saat seolah-olah sudah tidak ada harapan, di situlah kita bisa melihat pekerjaan Tuhan yang begitu besar dan mulia, yang melampaui pikiran kita. Ignite People, berharaplah kepada Allah! Sebab kita akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolong dan Allah kita![8]
[1] “Mental Health,” diakses 2 Oktober 2023, https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/mental-health-strengthening-our-response.
[2] R. T. France et.al., Luke, Teach the text commentary series (Grand Rapids, Michigan: Baker Books, a division of Baker Publishing Group, 2013), 152–153.
[3] Philip Graham Ryken, Luke, vol. 1, Reformed expository commentary; a series (Phillipsburg, N.J: P&R Pub, 2009), 408.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] “Gangguan Kesehatan Mental - Penyebab, Gejala, Pengobatan,” diakses 2 Oktober 2023, https://www.klikdokter.com/penyakit/masalah-mental/kesehatan-mental.
[7] France et.al., Luke, 153–154.
[8] disadur dari Mazmur 42: 6b
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: