Saya tidak rela anak-anak muda pengikut Kristus menyangkal iman mereka sekadar untuk mendapatkan sesuatu yang tidak kekal.
Masa muda dianggap sebagai masa yang paling memberi kesan. Jiwa muda yang terus bereksplorasi, berkarya dan berkreasi membuat masa muda semakin berwarna. Kebebasan berekspresi sebagai bentuk pencarian dan penemuan identitas diri juga ikut menemani kehidupan di masa muda.
Tak jarang, kehidupan anak muda juga kerap dihiasi gejolak rasa cinta yang tumbuh antar rekan kerja atau kuliah. Rasa itu tumbuh kian cepat tanpa bisa dikendalikan, yang pada akhirnya membawa kedua insan pada jenjang yang lebih tinggi di mana keduanya berkomitmen untuk saling mengasihi dan menjaga. Ah, indahnya!
Sebentar, tunggu dulu. Tidak seindah itu, Kawan. Bagaimana kalau ternyata kedua insan itu berkomitmen dalam perbedaan? Maksudnya? Bukankah perbedaan itu justru yang menyatukan? Tidak. Perbedaan di sini adalah perbedaan cara dan tempat ibadah. Ya, dengan kata lain mereka berbeda keyakinan.
Saya prihatin ketika melihat banyak kaum muda Kristen harus menjual iman mereka hanya karena cinta kepada pasangan yang tidak seiman. Saya melihat sendiri bagaimana teman-teman saya meninggalkan Kristus hanya karena berpacaran dan akhirnya menikah dengan mereka yang tidak seiman. Menyedihkan.
Berpacaran, menurut saya, adalah sebuah proses untuk saling mengenal. Namun, bukan hanya sebatas mengenal, berpacaran juga menjadi proses untuk menguji kasih dan kesetiaan kepada pasangan kita. Sementara menguji, kita juga perlu terus menggumulkan apakah benar dia pribadi yang pantas untuk menjadi pasangan hidup kita—bersamanya kita akan menghabiskan sisa waktu hidup kita. Oleh karena itu, berpacaran adalah sebuah tahap yang sangat penting sebagai persiapan untuk masuk pada sebuah ikatan pernikahan.
Pernikahan adalah peristiwa yang sangat kudus dan sakral, maka dalam berpacaran, sebagai salah satu proses mempersiapkan pernikahan, setiap pribadi harus saling menjaga kekudusan dan tetap memiliki batasan-batasan tertentu. Oleh karena itu, masing-masing pribadi harus memiliki visi dan tujuan yang sama di dalam kerangka mengerjakan kehendak Allah atas apa yang sedang mereka jalani dan akan mereka capai.
Mereka harus tahu mau dibawa ke mana hubungan mereka tersebut. Bukan hal mudah untuk menyatukan pikiran, hati, dan tujuan dengan pasangan kita. Kadang terasa manis, kadang juga terasa pahit. Sampai pada akhirnya kita dapat menemukan jawaban, “Benar, dialah pribadi yang sudah Tuhan sediakan untukku.”
Saya teringat kembali beberapa peristiwa bagaimana seorang anak Tuhan yang aktif dalam pelayanan dan hidupnya mencerminkan anak Tuhan yang baik, justru meninggalkan Tuhan karena pasangannya berbeda iman dengannya. Semudah itu mereka menukar kasih yang sejati dari Tuhan dengan kasih yang sewaktu-waktu dapat memudar.
Mungkin di awal mereka mengatakan, “Ah, tidak apa-apa, nanti aku akan membawa dia menjadi pengikut Kristus” Namun kenyataannya justru terbalik; mereka sendirilah yang meninggalkan Kristus. Iman mereka hanya sebatas di mulut saja, karena mereka tidak benar-benar serius terhadap imannya. Mereka tidak bergumul dan memaknai proses berpacaran itu sebagai cara memuliakan Tuhan. Mereka memilih jalan pintas sebagai ekspresi kenikmatan hubungan yang sebenarnya mereka paksakan: memaksa menyatukan terang dengan gelap.
Pada dasarnya terang dan gelap tidak pernah bisa bersatu. Jadi jika seandainya kelak mereka bersatu, maka kebersatuan mereka akan sia-sia belaka. Mereka mungkin bersatu pada tingkatan tertentu, tetapi sampai kepada pusat hati nurani dimana terletak dasar kerohanian, mereka tidak bisa bersatu karena mereka tidak bisa menikmati keindahan relasi dengan Allah sebagai sumber kasih atas hubungan yang mereka jalani. Allah tidak bisa menetap di dalam relasi yang tidak diperkenan-Nya.
Saya tidak bermaksud untuk meyudutkan atau menghakimi mereka yang saat ini berpacaran dengan pasangan yang tidak seiman. Namun, sejujurnya saya prihatin ketika melihat pemuda atau pemudi Kristen harus menggadaikan Kristus untuk hal-hal yang fana. Melihat keadaan di kalangan anak muda yang semakin tidak menentu ini, saya tergugah untuk merenungkan kembali panggilan saya untuk melayani kaum muda. Saya memikirkan apa yang dapat saya lakukan untuk menjadi bagian dari kaum muda dalam menjangkau jiwa-jiwa yang belum mengenal Kristus. Saya tidak rela anak-anak muda pengikut Kristus menyangkal iman mereka sekadar untuk mendapatkan sesuatu yang tidak kekal.
Berpacaran adalah proses untuk memantapkan pilihan dan sebagai pijakan awal untuk mempersiapkan sebuah ikatan pernikahan yang kudus di dalam Tuhan. Karena sebagai pijakan awal itulah, semuanya harus sudah didasarkan pada kehendak Allah dan dipersiapkan di dalam koridor untuk menyenangkan Allah. Semuanya harus dijalankan menurut visi dan tujuan yang jelas di mana setiap pasangan harus dapat saling merasakan dan menikmati relasi yang indah dengan Allah.
Oleh karena itu, bijaksanalah dalam menentukan pasangan hidup. Kristus harus tetap menjadi yang utama dan terutama di dalam segala hal. Menikmati cinta Kristus itu terlalu mahal untuk ditukarkan dengan kenikmatan cinta sementara. Kiranya Kristus Sang Sumber Cinta senantiasa memberi hikmat dan pengertian supaya kita tidak salah langkah dalam mencari pasangan dan menjalani relasi dengannya.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: